EPOCH ~ 10

228 14 0
                                    

"Gue benci papa," ucap Arehsky tiba-tiba. Cowok yang tengah berbaring di atas rumput yang telah di lapisi kain yang biasa di gunakan untuk piknik itu menghela nafas. "Andai aja dia gak selingkuh, mungkin libur semester ini kita jalan-jalan ke Raja Ampat."

Arhskyla mengedarkan pandangannya ke sekitar untuk memastikan jika mama nya masih di toilet. Dirasa Adista masih mengantri di toilet, ia lalu memfokuskan pandangannya  pada Arehsky yang kini menatap langit menerawang.

"Gue benci lihat mama sedih, tapi gue juga senang mama setuju buat pisah sama bajingan itu." Arehsky memindahkan kepalanya ke pangkuan Arhskyla yang duduk bersila. "Bajing yang rela buang orang yang udah menemani dia puluhan tahun demi wanita penggoda yang gak jelas asal-usulnya."

Arhskyla bisa melihat dengan jelas kebencian di mata Arehsky.

"Mereka gak pantas bahagia di atas tangisan mama." Arehsky bangkit—-duduk menghadap Arhskyla. Ia menyelipkan rambut kembarannya yang terbawa angin ke belakang telinga. "Dek, lo mau kan bantuin gue buat hancurin balik orang yang udah hancurin mama?"

Arhskyla menggenggam tangan Arehsky yang mengusap pipinya. "Kita itu satu, meski sering berantem bukan berarti jalan pikiran kita beda. Keinginan lo, jadi keinginan gue juga. Gue akan selalu ada di samping lo dan mama."

Keduanya saling menatap lurus. "Termasuk ngehancurin papa juga?"

"Ya, termasuk itu juga," jawab Arhskyla tanpa ragu.

*#*#*#*

Awan hitam perlahan mulai hilang digantikan dengan cahaya oren keemasan dari sang surya yang sudah tenggelam separuh. Sisa-sisa dari derasnya hujan yang membasahi bumi memberikan kesan sejuk dan damai.

Orang-orang yang menunggu redanya hujan dibawah atap sekolah mulai membubarkan diri. Sebagian menuju parkiran, sebagian lagi langsung ke gerbang depan, entah itu menunggu jemputan atau mencari kendaraan umum.

Gadis dengan mata indah itu tersenyum tipis saat semakin lama kebisingan orang-orang mulai mereda. Mungkin hanya dia saja siswi yang betah berlama-lama di sekolah setelah jam pelajaran berakhir, tanpa kepentingan apapun.

Ketenangan selalu menjadi hal favoritnya. Dan ruang musik di SMA De Hoogste adalah tempat yang menurutnya lebih memenangkan dibandingkan kamarnya sendiri.

Arhskyla siswi dengan pin emas di lengan kanan seragamnya itu mendudukkan diri di kursi piano yang tertutup rapat.

"This is what I need," gumamnya lirih. Matanya tertuju pada lemari kaca yang menyimpan beberapa kotak yang berisi alat musik milik sekolah. "Saxophone... Kapan gue bisa lihat Ares main itu lagi?"

Tiba-tiba bayangan Arehsky meniup saxophone seperti suara kapal yang hendak berlayar muncul hingga membuatnya tertawa sendiri. Kemampuan Arehsky memang standar dalam bidang musik, berbanding terbalik dengan Arhskyla yang hampir semua alat musik orkestra ia kuasai dengan mahir. Tapi untuk olahraga maka Arehsky yang paling menguasai.

Lamunan Arhskyla buyar saat mendengar suara derit pintu di buka.

"Hai," sapaan canggung dari orang yang mengintrufsi lamunannya membuat Arhskyla memberikan pandangan bertanya.

Orang itu adalah Eltham.

Cowok dengan rambut sedikit basah itu menarik kursi, lalu duduk tak jauh dari Arhskyla. Ia duduk dengan posisi terbalik, kedua tangannya terlipat di bagian atas sandaran kursi. "Lagi ngapain?" tanya Eltham.

 "Lagi ngapain?" tanya Eltham

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
EPOCH ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang