EPOCH ~ 31

152 13 0
                                    

Eltham menyodorkan secangkir teh hangat pada Arhskyla. Dia tersenyum saat mendengar kata terima kasih dari cewek yang satu jam lalu membuat perasaan nya ketar-ketir itu.

Dia yang saat itu hendak pulang setelah menemani Calila sedari pagi, tidak sengaja melihat Arhskyla keluar dari sebuah ruangan. Untung saja Eltham memiliki rasa penasaran yang tinggi hingga keputusan mengikuti cewek itu dari belakang adalah hal tepat.

Eltham mendarat kan bokong nya tepat di sebelah Arhskyla, dia menyenderkan punggungnya ke sandaran sofa. Setelah Arhskyla kembali menangis di pelukannya, dia membawa Arhskyla ke rumahnya.

"Rumah lo sepi," ujar Arhskyla setelah beberapa kali meneguk teh yang Eltham buatkan untuknya. Sesaat Arhskyla memandang ke sekeliling, lalu meletakan cangkir teh yang masih banyak isinya itu ke meja di depannya.

"Setiap sabtu, minggu rumah ini memang selalu sepi. Paling nanti ada beberapa orang yang bersih-bersih," jawab Eltham santai.

"Kebalikan dari rumah bokap gue." Arhskyla melepas flatshoes nya dia menaikkan kakinya ke sofa, dengan posisi duduk bersila dia ikut menyandarkan punggungnya seperti yang Eltham lakukan.

Dari samping Eltham menatap Arhskyla penasaran, jari telunjuknya mengetuk-ngetuk permukaan sofa. "Lo gak ada niatan buat cerita ke gue?"

Arhskyla menoleh padanya, wajah cewek itu seperti menimang-nimang baik buruknya jika bercerita kepadanya. Eltham menegakkan duduknya saat melihat anggukan kepala Arhskyla, dia menyilang kan kakinya di atas sofa menghadap Arhskyla.

Cewek dengan mata masih sembab habis menangis itu menarik nafasnya dalam-dalam, dia terlihat berat mengatakan hal selanjutnya. "Mama gue meninggal dalam keadaan hamil... Orang yang baru aja gue temuin di rumah sakit adalah Dokter yang pernah periksa kehamilan mama sebelum nya."

Eltham mendengarkan baik-baik apa yang akan Arhskyla ceritakan tanpa ada niatan menyela sedikit pun.

Arhskyla menyinggung kan senyum sinis nya. "Mungkin kalau gue gak tahu kebenaran ini, selamanya gue bakal percaya mama bunuh diri karena depresi setelah perceraiannya. Tapi enggak setelah tahu kalau mama meninggal dalam keadaan hamil. Gue kenal betul mama orangnya kaya gimana, mama gak mungkin sejahat itu gantung diri untuk ngehilangin dua nyawa sekaligus."

Arhskyla memijit pelipisnya saat rasa pening menyerangnya. Kemudian dia kembali melanjutkan ceritanya, "Dokter itu masih ingat jelas kalau mama kelihatan bahagia juga sedih saat tahu ada nyawa lain di tubuhnya. Katanya mama gue pasien yang berkesan bagi dia, jadinya dia masih ingat semua itu." Arhskyla merubah posisi duduk bersila nya menghadap Eltham. "Dan tolol nya gue baru sadar sama keanehan-keanehan kematian mama Minggu lalu. Gue yakin kematian mama bukan karena bunuh diri, tapi pembunuh yang berkedok bunuh diri."

Eltham menyatukan alisnya, jari telunjuknya masih mengetuk permukaan meja. "Ada berapa orang yang lo curigai saat ini?"

"Tiga orang. Gue yakin mereka berkomplot, satu orang di antaranya gak tinggal serumah bareng gue," Arhskyla menjawab dengan keyakinan di matanya. "Gue gak minta nyawa di balas nyawa, yang gue inginkan adalah kehancuran bagi mereka. Kehancuran yang bahkan gak akan bisa bikin mereka tersenyum sedikit pun selama sisa hidupnya. Sampai sekarang gue masih belum tahu apa yang bisa buat hidup mereka hancur."

"Gimana dengan penjara?" Arhskyla langsung menggeleng kan kepalanya.

"Gue gak percaya sama hukum di negara ini. Mereka punya duit dan koneksi yang bisa meringankan hukumannya."

"Kita bisa bongkar kasus ini ke media, dan buat semua orang ada di pihak kita. Dengan begitu hukuman mereka gak akan bisa di ringankan karena uang dan koneksi."

Meski ragu, Arhskyla akhirnya mengagguk, "akan gue pikir kan."

"Mari kita anggap itu sebagai rencana utama. Tapi bagaimana cara dapatkan bukti-bukti kejahatan mereka? Sekarang kita cuman anak SMA biasa."

"Gue... gue bisa buat salah satu diantara mereka ngaku," ucap Arhskyla, dia terlihat sedikit ragu kali ini.

"Lo kelihatan ragu Arhskyla." Arhskyla diam tak menjawab, dia terlihat sibuk dengan pikirannya sendiri. "Atau kita serahin hal ini ke orang kepercayaan kakek gue, dia bisa___"

"Enggak!" potong Arhskyla cepat. "Cukup sekali aja kita libatkan kakek lo dalam masalah Ares, selanjutnya jangan. Gue yakin gue bisa buat orang itu ngaku."

Eltham mengagguk tak membantah. Mereka kembali terdiam satu sama lain, tapi keheningan itu terintrufsi oleh suara perut keroncong yang cukup nyaring. Dua-duanya refleks menatap ke sumber suara, yaitu perut Eltham.

Cowok itu meringis malu, dia memalingkan wajahnya lalu berdehem menetralkan rasa malunya, "sekarang stop dulu mikirin hal itu. Perut gue minta diisi."

Arhskyla ikut berdehem, entah kenapa dia ikut merasakan malu, "oke."

"Lo bisa masak?" tanya Eltham setelah menyingkirkan jauh-jauh rasa malunya.

"Gue pianis."

"Terus?"

"Gue dilarang ngelakuin hal-hal yang beresiko mencederai tangan."

Eltham mengulum senyumnya, dia merasa geli dengan penuturan Arhskyla dengan tampang seriusnya. "Iya, iya, tangan adalah hal yang paling berharga bagi seorang pianis."

"Nada bicara lo terdengar menyebalkan." Arhskyla menyatukan alisnya. Entah perasaan nya saja atau bukan, Eltham seperti meledeknya yang tidak bisa masak.

"Enggak ko biasa aja."

"Emangnya lo bisa masak?"

"Bisa dong... Gue kan bukan seorang pianis."

Benarkan Eltham sedang meledeknya. "Emangnya salah kalau cewek gak bisa masak?" tanya Arhskyla sinis, dia cukup tersinggung.

Eltham terkekeh, dia menyisir rambut Arhskyla untuk menyalurkan rasa gemasnya. "Gak salah, gue cuman ngerasa lo imut aja saat bilang 'gue pianis' bawaannya jadi ingin goda lo."

"Yaudah." Arhskyla menurunkan kakinya, lalu memakai kembali flatshoes nya.

"Yaudah apa Arhskyla?"

"Yaudah ayo ke dapur, katanya lo bisa masak!" kata Arhskyla dengan nada menahan kekesalan, kekesalannya bertambah saat Eltham tertawa.

"Jangan merajuk, nanti gue khilaf buat langsung culik lo ke kamar."

"Eltham!"

"Iya sayang, iya."

*#*#*#*

'Drtttt drtt'

Lamunannya terhenti saat mendengar getaran ponselnya, dia mematikan bara di rokok yang sedari tadi menyala tanpa dihisap, lalu meraih ponselnya yang bergetar. Pria itu langsung membuka pesan yang menjadi alasan ponselnya bergetar. Dia mengembangkan senyumnya saat melihat orang suruhannya mengirimkan foto-foto terbaru kegiatan putrinya.

"Sudah lama sekali tidak melihat dia menunjukkan eksistensinya."

Senyum di wajahnya luntur saat mengingat jika dia lah penyebab semuanya jadi seperti ini. Dia lah pelaku utama semua kekacauan yang menimpa keluarga kecilnya, karena kebodohannya keluarga kecilnya yang dulu sempurna kini telah hancur.

Pria itu menyandarkan punggungnya ke sandaran sofa. Di balik pintu kaca itu, dia menatap kolam renang yang pernah menjadi tempatnya tertawa lepas bersama istri dan kedua anak kembarnya.

Penyesalan memang selalu datang di akhir. Kesalahannya terlalu fatal, dia tidak bisa di maafkan.

Yang bisa ia lakukan sekarang adalah menunggu hari itu tiba, hari dimana semuanya berakhir, sebentar lagi, tidak akan lama.

Dalam penantiannya itu, mati terasa lebih baik dari pada harus hidup dengan semua penyesalan dan kebencian dari anak-anak nya sendiri. Anak? Dia bahkan tidak yakin jika mereka masih mau mengakuinya sebagai orang tuanya.

#####

EPOCH ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang