EPOCH ~ 04

355 24 0
                                    

"KENAPA KAMU SEJAHAT ITU PADAKU?"

Teriakkan di dalam rumah membuat langkah kedua saudara kembar beda gender itu terhenti. Mereka saling memandang satu sama lain.

"Ini buruk." Arehsky tersenyum gentir pada saudari kembarnya. Genggaman tangan mereka menguat satu sama lain.

"Hmm, dan kita pasti bisa lewatin semuanya," jawab Arhskyla meyakinkan. Mereka kembali melangkah--beriringan memasuki rumah.

Hal pertama yang mereka lihat adalah kekacauan dari isi rumah, barang-barang sudah tidak lagi ada lagi di tempat semestinya.

"Mama," lirih Arehsky.

Wanita yang tengah menangis tergugu di lantai itu mendongak, menatap kedua anaknya dengan lelah. "Maafkan mama."

Arehsky melepaskan genggamannya, ia menghampiri ibunya. Pemuda itu ikut berlutut, merengkuh tubuh gemetar sang mama.

Sementara Arhskyla tetap berdiri di tempatnya, ia terus menatap papanya yang memalingkan wajah. "Di sini papa yang salah. Penghianatan papa gak bisa di maafkan, aku dan Ares akan ikut mama jika perceraian terjadi."

Tangis Arista semakin keras saat mendengar kata perceraian dari mulut putrinya, ia memang tidak lagi memiliki niatan melanjutkan pernikahan dengan seorang penghianat. Tapi tetap saja hatinya semakin sakit saat membayangkan perceraiannya akan terjadi.

"Enggak! Kalian tetap di rumah ini! Gak akan ada perceraian di keluarga ini!"

"KALAU GITU URUS SELINGKUHAN PAPA!" Teriak Arhskyla pada papanya, suasana rumah hening seketika. Arhskyla membuang nafasnya dengan mata terpejam. "Istri kedua papa gak pernah berhenti usik kita. Wanita penggoda itu terus-terusan datang nemuin aku dan Ares buat nunjukin kalau dia udah nikah sama papa!"

Arhskyla bisa melihat keterkejutan dari mata papa nya.

"PELAYAN!" Arhskyla kembali berteriak, tak lama beberapa pelayan berseragam hitam putih datang.

"Bereskan semua baju-bajuku, Ares, dan mama ke koper. Segera!"

Gadis itu kembali menatap papanya yang hanya diam dengan rahang mengeras. "Kita kasih papa waktu untuk membereskan semuanya."

"Aku harap papa bisa lebih bijak lagi."

****

Ingatan satu setengah tahun yang lalu kembali berputar di otaknya.

Arhskyla menyenderkan punggungnya pada kursi-- mengedarkan pandangan ke seisi kelas yang hanya ada dirinya seorang.

Gadis yang sebelumnya di panggil keruang guru itu kembali ke kelas sepuluh menit setelah jam pembelajaran berakhir. Arhskyla memilih diam sejenak di sini, ia terlalu malas jika langsung pulang ke rumah, besar kemungkinan ia akan berpapasan dengan Susan- wanita penggoda yang membuat hancur keluarga nya, karena di jam segini wanita itu baru pulang entah dari mana, Arhskyla sendiri tidak ingin tahu.

Melelahkan.

Arhskyla merebahkan kepalanya di meja dengan lengan bagian atasnya sebagai bantal, gadis itu memandang langit sore dengan datar di balik jendela kelas.

Mungkin ia akan memuji keindahan langit jika hidupnya tidak seberat ini.

Arhskyla benci dengan semua hal yang membuat hidupnya jadi seperti ini. Ia benci, sangat benci. Memuakkan rasanya memendam kebencian tanpa ada penyaluran. Andai saja ia tidak lagi membutuhkan uang Dinathama untuk pengobatan kakaknya, maka ia tidak akan ragu untuk pergi sejauh mungkin dari pria yang menyebabkan mamanya bunuh diri itu.

EPOCH ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang