EPOCH ~ 09

263 16 0
                                    

Begitu masuk ke ruang ganti, ia langsung merenggangkan tubuhnya yang terasa pegal setelah beberapa jam berkutat dengan mesin kopi dalam menyiapkan pesanan pelanggan di cafenya.

Meski Fardan pemilik cafe, tapi bukan berarti tugasnya hanya memperhatikan para pegawainya. Dia juga membantu menyiapkan pesanan jika keadaan cafe ramai.

Fardan menengguk air mineral yang sejak tadi di bawanya hingga tandas. Meremas botol kosong itu lalu melemparkannya ke tempat sampah.

Dia melirik jam di pergelangan tangan kirinya, senyum tipis terbit di wajah tampannya.

Dengan cepat Fardan melangkah mendekati cermin samping loker karyawan nya. Ia merapikan rambut dan pakaiannya di depan cermin. Rasa lelahnya telah terganti menjadi debaran yang menyenangkan.

"Sebentar lagi," gumam Fardan.

Cowok dengan kemeja putih itu melangkah keluar ruang ganti kembali ke meja barista. Diam-diam Fardan tersenyum, sebentar lagi pasti dia akan datang. Fardan tengah menantikan kedatangan pelanggan spesialnya, gadis yang selalu datang ke cafe nya setiap Jum'at malam sendirian sejak satu tahun terakhir ini.

Entah sejak kapan gadis yang bahkan Fardan sendiri tidak tahu namanya itu berhasil membuat debaran menyenangkan di jantungnya.

Gadis itu selalu menjadi pusat perhatian setiap kedatangannya, dia sangat cantik dan menawan.

"Bos si neng geulis udah dateng tuh," ujar Fian, salah satu baristanya. Pemuda itu melemparkan tatapan menggoda pada bos-nya, Fian sangat sadar jika orang yang memberinya pekerjaan itu menaruh hati pada gadis yang ia panggil neng geulis. "Pesanannya seperti biasa."

Fardan berdehem, tanpa banyak bicara ia segera meracik minuman berkafein yang dipesan gadis itu. Diam-diam ia mengedarkan pandangannya ke sekitar mencari keberadaan gadis itu. Ia tersenyum kecil begitu melihat keberadaan gadis itu yang duduk di tempat yang sama seperti Jum'at lalu.

Wajah tanpa ekspresi nya selalu terlihat cantik dan misterius secara bersamaan.

"Kenapa gak deketin langsung aja atuh bos? Mencintai dalam diam itu gak enak tau, pasti ujung-ujungnya kesalip sama yang terang-terangan," ucap Fian sedikit berbisik. Ia sendiri lumayan greget karena Fardan sama sekali tidak terlihat ada niatan berani mengambil langkah lebih mengenal gadis itu.

Fardan menggeleng tanpa melunturkan senyum tipisnya. Dia lebih memilih tidak menanggapi perkataan Fian. ya, meskipun lumayan mengusik ketenangannya.

Fian memang benar, tapi ada suatu hal yang membuatnya lebih memilih diam di tempat. Fardan lebih merasa nyaman  mengamati gadis itu diam-diam, dibandingkan mendekatinya secara terang-terangan.

Cowok itu tidak sadar jika hal yang menahannya adalah trauma karena kegagalan rumah tangga kedua orang tuanya.

*#*#*#*

"Dari mana saja kamu?" Pertanyaan dingin itu yang menyambutnya begitu memasuki rumah mewah yang sudah menjadi tempat tinggalnya sejak tahun lalu.

"Keluyuran gak jelas." Simpul Dinathama karena tidak mendapatkan jawaban dari orang yang dia tanya.

"Kalau kamu tidak bisa membuat saya bangga setidaknya jangan buat saya malu," ucap Dinathama tajam.

Nayla menunduk, kedua tangannya meremas amplop putih yang berisi surat panggilan orang tua.

"Mas___" Dinathama mengangkat tangannya agar Susan diam tak membela Nayla.

Pria itu memijit pangkal hidungnya. "Bisa-bisanya saya dapat telepon dari sekolah karena kelakuan buruk kamu. Meski kamu cuman anak tiri, bukan berarti saya tidak akan kena dampak dari kelakuan kamu. Pandangan rekan bisnis pasti akan berbeda jika sampai hal ini tersebar."

EPOCH ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang