EPOCH ~ 07

318 21 1
                                    

Kedua kakak adik yang tengah duduk di sofa ruang tengah itu saling menatap saat bel pintu apartemennya di tekan seseorang.

Arehsky memutar bola matanya saat melihat pandangan Arhskyla yang memerintah padanya. Mau tak mau ia harus mengalah karena Arhskyla tengah mengerjakan tugas, sedangkan dirinya hanya bermain game di ponsel.

Cowok itu meletakkan ponselnya ke meja, lalu bangun dari duduk dan membuka pintu untuk melihat siapa tamu yang datang.

Arhskyla menutup bukunya saat mendengar suara ketukan sepatu yang begitu ia kenali. Dinathama, papa kandungnya. Dia melemparkan pandangan bertanya pada Arehsky, yang kini hanya memandangnya datar.

Kedua laki-laki beda generasi itu melewati nya tanpa kata dengan Arehsky yang berjalan di depan Dinathama. Dari yang ia lihat mereka berjalan menuju kamar sang mama. Genggamannya pada pulpen mengerat, perasaan mendadak tidak baik saat melihat Dinathama membawa tas kerjanya masuk ke kamar Arista.

Semoga saja firasatnya tidak benar.

Arhskyla memilih duduk diam di sofa tanpa ada sedikitpun niat untuk ikut ke dalam. Meski fakta diamnya berbanding terbalik dengan suasana hatinya.

Sudah hampir satu jam berlalu, dan mereka masih berada dalam kamar Arista. Saat Arhskyla bangun dari duduknya, pintu kamar terbuka menampilkan sosok papanya dengan ekspresi yang tidak bisa ia artikan. Suara tangisan terdengar samar di telinganya. Tanpa di jelaskan pun ia paham dengan apa yang telah terjadi.

Arhskyla menahan lengan Dinathama kuat, ia menatap wajah nya dengan kekecewaan yang tidak bisa disembunyikan. "Papa membuang kami? Demi dia papa membuang kami?"

Dinathama menatap Arhskyla dengan rahang mengeras, ekspresinya seolah tidak terima dengan apa yang baru saja keluar dari mulutnya. "Papa tidak membuang siapapun."

Arhskyla menggeleng tak percaya akan pembelaannya. Dinathama mengusap surai coklat gelap Arhskyla dengan lembut sebelum akhirnya gadis itu mundur beberapa langkah menjauh.

"Apasih wanita itu punya sampai-sampai papa rela ngelepas kami?!" Arhskyla mengusap wajahnya kasar. "Aku gak paham lagi dengan jalan pikiran papa."

"Kamu ikut papa, dan Ares ikut mama."

Sulit dipercaya dengan entengnya Dinathama berkata seperti itu.

Dengan sisa ketenangannya ia menjawab, "Disini papa yang salah. Jadi papa gak punya hak sedikitpun untuk mengatur."

Arhskyla langsung pergi ke kamar Adista tanpa menoleh lagi, meninggalkan Dinathama dengan segala pemikirannya.

*#*#*#*

Cowok itu keluar dari mobil dengan helaan nafas lelahnya. Telinganya masih terasa panas, padahal sudah tiga puluh menit berlalu sejak drama perpisahan yang mami nya ciptakan saat ia mengantar ke bandara.

Tips-tips aneh dan berlebihan masih terngiang-ngiang di kepalanya saat mami nya tahu alasan di balik keinginannya pindah sekolah karena seorang cewek. Neneknya yang membocorkan hal itu.

Suasana sekolah masih sepi, tentu saja karena Eltham datang terlalu pagi, yaitu jam enam tiga puluh. Sedangkan jam pertama di mulai jam delapan lewat sepuluh menit pagi.

Eltham melangkah menuju kelasnya dengan tangan kanannya di kantong celana. Saat melewati lorong koridor yang sepi samar-samar ia mendengar suara nyanyian.

"... Near, far, wherever you are

I believe that the heart does go on..."

EPOCH ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang