Bian terus memutar otak agar Rani tidak dijadikan tumbal oleh Irfan. Ia tidak ingin Rani terlibat dalam masalahnya dengan Irfan.
Jam menunjukkan pukul dua belas malam. Bian belum bisa menutup matanya dan terlelap tidur. Beban pikiran ini membuatnya tidak bisa tidur. Menit berlalu menjadi jam. Kini jarum jam sudah menunjuk ke pukul lima pagi.
"Kantung mata gue hitam banget," ucap Bian sembari menatap dirinya ke cermin.
****
Rani sedang duduk memasang sepatu ke kakinya. Ia menunggu Irfan yang menjemput seperti biasanya. Tak lama kemudian, Irfan dan mobilnya sudah berada di depan rumah Rani.
"Selamat pagi," sapa Irfan.
Rani tersenyum. "Tumben banget? Biasanya nggak gini. Lo lagi sakit, ya?" tebak Rani.
Irfan menggeleng lalu mengambil sebuah buket bunga yang sangat indah.
"Nih."
"Bunga? Tumben banget. Lo nggak kesambet kan?"
"Nggak dong, gue kan mau romantis ke pacar gue sendiri. Masa nggak boleh sih?"
Rani mengangguk saja. Ia tidak bisa menyembunyikan perasaan bahagianya. Bagaimana tidak, kebayakan perempuan jika dikasih bunga akan senang dan bahagia. Begitu juga Rani.
"Makasih ya," ucap Rani.
Irfan mengusap rambut Rani. "Sama-sama. Asal tuan puteri bahagia, saya juga bahagia."
Pipi Rani mulai memerah seperti ingin meledak. Irfan tersenyum padanya lalu melajukan mobil menuju sekolah.
Bian melihat Rani yang sedang berjalan sembari membawa bunga. Wajahnya tampak cerah dan bahagia. Sudut bibir Bian terangkat dan menciptakan senyum yang sangat manis.
"Gue bahagia kalau lihat lo bahagia. Meskipun bukan gue yang bikin lo bahagia," ucap Bian.
Jam menunjukkan pukul sepuluh pagi. Bel istirahat sudah berbunyi sejak lima belas menit yang lalu. Kini Rani sedang berada di rooftop bersama para sahabatnya. Mereka sedang asyik membicarakan tentang tas keluaran terbaru dari brand ternama.
Rani berjalan menuju tangga rooftop. Ia hendak kembali ke kelas karena merasa badannya tidak enak. Di tengah perjalanan, ia tidak sengaja berpapasan dengan Bian.
Tatapan mereka saling bertemu. Biasanya Bian akan langsung mengganggu Rani, tetapi kali ini tidak. Bian hanya diam dan tidak menebarkan senyum ke arah Rani sedikitpun.
"Kenapa hati gue sakit saat nggak disapa sama Bian?" tanya Rani di dalam hatinya.
Sementara itu, Bian berjuang sekuat tenaganya untuk tidak menyapa Rani. Ia ingin Rani bahagia bersama Irfan.
"Ada yang galau nih," ucap Dafa.
"Khm-khm. Duh sakit banget ya, nggak disapa kayak gitu," sindir Farel dengan menatap Bian.
Bian menatap kedua temannya. "Apaan sih. Nggak jelas banget," ucapnya lalu pergi menjauh.
****
Hari-hari terus berlalu. Sejak kejadian Bian tidak menyapanya, Rani menjadi kepikiran dengan Bian. Ia ingin tahu apa alasan Bian tidak menyapa dirinya. Apakah Bian sudah sakit hati dengan kata-kata yang pernah diucapkan Rani untuknya?
KAMU SEDANG MEMBACA
BIANTARA [Completed] ✔
Teen FictionBiantara Langit Angkasa adalah siswa SMA Kertajaya yang duduk di kelas 11. Bian sapaan akrabnya, suka bermain basket dan menjabat sebagai ketua tim basket SMA Kertajaya. Arani Sharilla Mahajaya adalah siswi yang duduk di kelas sepuluh, walaupun masi...