34: Kembali dekat

177 14 0
                                    

"Aku sudah mencoba untuk ikhlas, namun rasanya sangat susah sekali."

****

Rani sudah siap dengan seragamnya. Ia sedang menunggu Bian yang akan menjemput dirinya. Tak lama kemudian, Bian sudah sampai di depan rumah Rani dan mereka berangkat menuju sekolah.

"Lo baik-baik aja, kan?" tanya Bian sembari menatap Rani dari kaca spion sepeda motornya.

"Baik kok. Kenapa lo tanya gitu?"

Bian tersenyum. "Nggak apa-apa. Gue cuma mau memastikan kalau orang yang gue sayang selalu dalam keadaan baik setiap harinya."

Pipi Rani merah merona. Jatungnya juga berdegup lebih cepat dari biasanya. Ia tidak bisa menjawab ucapan Bian karena sangat deg-degan.

Rani sudah sampai di sekolah. Ia turun dari motor Bian dan melepaskan helm dari kepalanya. Sekolah sudah dipenuhi dengan siswa dan siswi yang berdatangan. Bian berjalan menggandeng tangan Rani yang membuat semua mata menatap ke arah mereka.

"Jangan dipegang! Malu dilihat sama yang lain," bisik Rani.

"Bodo amat sama yang lain. Lagipula kalau gue sayang dan cinta sama lo, mereka bisa apa?" jawab Bian yang membuat Rani tak berkutik.

"Udah sana balik ke kelas!" usir Rani.

Bian tertawa melihat Rani yang sedang salah tingkah. "Oke, gue ke kelas dulu ya. Selamat belajar calon masa depanku."

"Bian!" gertak Rani.

Bian makin tertawa keras. "Iya iya. Gue ke kelas dulu ya."

****

Bian duduk di bangku paling belakang. Pelajaran jam pertama adalah matematika, itu pelajaran yang sangat dibenci hampir semua murid. Bian sengaja duduk paling belakang karena ingin tidur.

Pak Bambang menjelaskan rumus dengan begitu cepatnya. Murid-murid yang ada di kelas Bian sangat bingung. Mereka tidak bisa mengikuti yang disampaikan oleh Pak Bambang.

Gandi menatap ke arah Bian. Ia menyenggol tangannya ke lengan Bian karena Pak Bambang mendekat ke arahnya namun Bian tak kunjung bangun.

"Enak sekali kamu tidur disini," ucap Pak Bambang. "Biantara, bangun!" sambungnya dengan suara tinggi.

Bian mengerjapkan matanya.

"Duh? Siapa sih? Masih pagi juga!" jawab Bian setengah sadar.

Pak Bambang menggebrak meja yang ada di hadapannya. Bian tersadar lalu tersenyum seolah tak punya dosa.

"Eh, bapak," ucapnya.

"Apa? Sekarang kamu keluar dan berdiri hormat bendera sampai jam istirahat!"

Bian menatap Pak Bambang dengan tatapan memelas. "Jangan dong, pak. Panas banget di lapangan, nanti kalau misalnya kulit saya terbakar gimana, pak? Saya perawatannya di China loh."

Seisi kelas Bian tertawa. Sedangkan Bian, ia terus menebarkan senyum manisnya.

"Sudah, jangan alasan! Kamu keluar atau mau saya adukan ke kepala sekolah?"

BIANTARA [Completed] ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang