6

388 27 0
                                    

Bian terus mengirim pesan kepada Rani, ia ingin Rani membalas pesan yang dikirimkannya. Sementara itu, Rani sedang asyik menikmati teh bersama keluarganya. Rani terganggu dengan notifikasi ponselnya, ternyata banyak pesan dari Bian yang masuk.

"Ngapain sih nih anak? Nggak jelas banget," ucap Rani lalu menekan tombol off pada ponselnya.

Emosi Bian sudah memuncak, akhirnya ia memutuskan untuk bertanya kepada teman Rani. Bian menanyakan alamat rumah Rani. Tanpa banyak bicara, ia langsung menancapkan gas menuju rumah itu.

Bian sudah sampai di depan rumah Rani, rumah itu tampak mewah dengan aksen warna emas yang menghiasi. Ia memarkirkan motornya di halaman rumah Rani, lalu berjalan masuk menuju pintu rumah itu. Bian mengetuk pintu rumah Rani, tak lama kemudian Rani keluar dan menatap Bian heran.

"Ngapain lo disini?" tanya Rani dengan menatap Bian.

"Gue mau minta maaf sama lo," ucap Bian lalu menatap Rani yang sedang berdiri di kedepannya. Rani tersenyum sinis. "Jangan geer dulu, gue disuruh sama Bu Dani untuk minta maaf sama lo," sambung Bian dengan cuek.

"Oh, jadi lo nggak ikhlas? Yaudah nggak gue maafin," jawab Rani.

Bian menahan emosinya yang sudah berada di ujung tanduk. Gadis di depannya ini membuat kepalanya hampir pecah, mengapa takdir mempertemukan Bian dan Rani?

"Kok diam aja sih?" ucap Rani.

"Terserah lo, yang penting gue udah minta maaf dan itu hak lo mau maafin gue atau nggak. Gue capek ngejar maaf orang yang sombong kayak lo," kata cowok itu lalu berjalan menjauh dari rumah Rani.

"Awas aja! Gue bakal ngadu lagi sama Bu Dani." Rani menatap Bian, lalu masuk ke dalam rumah mewahnya itu.

****

Rani berjalan memasuki area sekolah dengan menggunakan tas keluaran terbaru yang dibeli mamanya dari luar negeri, semua murid SMA Kertajaya melihat ke arah Rani yang penuh dengan kemewahan. Banyak lelaki yang berharap bisa menjadi pacar Rani.

Rani sudah sampai di kelasnya. Ia melihat bangkunya yang berdebu, Rani mengeluarkan sebuah tisu basah untuk membersihkan bangkunya. Rani sangat tidak suka dengan tempat yang tidak higienis.

"Akhirnya lo sekolah lagi, kemana aja kemarin?" tanya Fina dengan memeluk sahabatnya itu.

"Mama sama papa gue pulang dari luar negeri, terus dia bawa oleh-oleh buat gue. Bagus nggak?" tanya Rani sembari menunjukkan tas berwarna cokelat tua yang dihiasi aksesoris berwarna emas.

"Bagus banget, keluaran terbaru kan?" Rani mengangguk setuju.

Rani dan teman-temannya memang selalu tahu jika ada tas keluaran terbaru, karena mereka sangat menyukainya. Mereka berasal dari keluarga kaya yang suka menghabiskan uang untuk cuma-cuma. Mereka juga pernah liburan ke luar negeri bersama, lalu pulangnya membawa oleh-oleh dan barang belanjaan seabrek-abrek.

Bian sudah sampai di sekolah, ia bingung ketika banyak siswa maupun siswi yang sedang bergerombol. Bian mendekat ke salah satu adik kelasnya, tapi adik kelasnya malah ke-geeran sendiri.

"Gue mau tanya, itu ada apa?" tanya Bian dengan menatap cewek itu.

"Eh, anu kak. Semua pada heboh karena lihat Rani yang pakai tas keluaran terbaru, kalau nggak salah harganya dua puluh juta," ujar cewek itu.

"Makasih ya."

Bian berjalan menuju kelasnya, ia masih memikirkan tentang ucapan cewek tadi. Apa tidak salah jika Rani memakai tas berharga puluhan juta? Kalau Bian yang punya itu, pasti ia tidak akan memakainya dan hanya disimpan dalam almari. Walaupun Bian kaya, orang tuanya tidak pernah mengajari dirinya untuk hidup hedon. Bian hidup sederhana saja.

Rani berhasil menggemparkan seantero sekolah, setiap ia lewat pasti semua murid akan memujinya. Rani bahagia karena menjadi primadona di SMA Kertajaya, ia bahagia karena banyak murid yang suka pada dirinya.

"Anterin gue ke pos satpam dong, bekal gue ketinggalan," ucap Rani lalu Fina mengangguk.

Mereka berjalan menuju pos satpam, tapi Rani tidak sengaja menabrak seorang lelaki yang berdiri di depannya. Wajah Rani sedang berhadapan dengan dada bidang yang ada di depannya. Rani mendongakkan kepalanya, ternyata itu adalah Bian.

"Ih! Ngapain pegang-pegang?" tanya Rani lalu membersihkan seragamnya yang tertempel ke seragam Bian.

"Kalau gue nggak pegang, nanti lo jatuh. Emangnya lo mau jatuh?" jawab Bian.

"Ya enggak, tapi jangan kayak gitu juga. Seragam gue kotor nih kena debu dari baju lo," ucap Rani. "Udahlah, sana minggir gue mau lewat," sambungnya.

Bian hanya diam, ia menggelengkan kepalanya. Ia tidak habis pikir, kok ada cewek seperti Rani. Cewek aneh, judes, nan sombong.

"Lama banget sih, Bi. Lo habis dari mana?" tanya Farel dengan menatap Bian yang berjalan mendekat ke arahnya.

"Tadi ada insiden kecil."

"Insiden apaan?" sahut Gandi penasaran.

"Biasalah, gue ketemu sama adik kelas songong itu. Untung aja dia cewek, kalau perempuan mah udah habis di tangan gue," jawab cowok itu dengan memakan sebuah gorengan.

"Jangan-jangan, kalian jodoh," ucap Dafa dengan tersenyum. Bian langsung menoyor kepala Dafa dan menatapnya tajam. "Ampun bang jago," sambungnya sembari menatap Bian.

"Biasa aja, karena katanya benci bisa jadi cinta. Hayoloh, awas aja kalau nanti lo suka sama adik kelas itu," ucap Gandi.

"Apaan sih." Bian berdiri dari duduknya, lalu berjalan menuju kelas. Ia tidak suka digoda seperti itu, apalagi menyangkut Rani. Bian berjanji, tidak akan menyukai Rani sampai kapanpun. Rani bukan tipenya, dan Bian tidak suka perempuan manja seperti Rani.

Bel pulang sekolah berbunyi, Rani sedang menunggu jemputan supirnya. Ia menunggu di depan gerbang sekolahnya dengan memainkan ponselnya. Suasana sekolah sudah lumayan sepi, Rani menjadi semakin takut jika ada hal yang tidak diinginkannya terjadi. Rani mencoba untuk berpikir positif, ia memejamkan matanya sebentar.

"Lo ngapain tidur disini? Kurang kerjaan banget sih," ucap Bian dengan menatap Rani.

"Apaan sih, gue tuh lagi berdoa! Lagian lo ngapain disini? Pergi sana," usir Rani dengan nada tinggi. Ia tidak suka Bian mengganggu dirinya.

"Yaudah. Oh iya, disini rawan banget kalau udah sore begini. Dadah, gue mau pulang," ucap Bian.

Rani semakin takut, ekspresinya berubah menjadi cemas. Ia takut jika nanti akan diculik oleh orang tidak dikenal, Rani menangis ketakutan. Ia tidak tahu harus berbuat apa sekarang. Baterai ponselnya kosong, ia hanya bisa berharap saja.

Bian masih berada di depan sekolah dengan motornya, ia menatap ke arah Rani yang sedang menangis sendirian. Bian merasa bersalah atas ucapannya tadi, lalu berjalan mendekat ke arah Rani.

"Lo kenapa nangis? Maaf, tadi gue nggak bermaksud kok," ucap Bian sembari menatap Rani.

Tatapan Bian dan Rani bertemu, rasanya nyaman sekali. Rani melamun sembari menatap Bian, matanya tidak beralih sedikitpun. Mata cokelat milik Bian sangat indah, yang mampu membuat bibir Rani seolah tak bisa berkata-kata.

"Gue anterin pulang aja ya? Hitung-hitung sebagai permintaan maaf gue," ucap Bian. Namun Rani tidak menjawab, ia langsung menarik tangan Rani menuju sepeda motornya.



Part 6 sudah selesai nih. Gimana sama part ini? Ada yang kepo nggak kenapa Rani sampai gabisa ngomong kayak gitu? Kira-kira apa yang terjadi selanjutnya ya?

Kepo ngga? Kalau kepo, jangan lupa vote dan komen yang banyak. Juga jangan lupa share cerita ini ke teman-teman kalian yang suka wattpad dan masih bingung milih cerita ☺

Bantu cerita ini 100 pembaca ya <3

--Happy Reading 🌻--

BIANTARA [Completed] ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang