1

988 42 4
                                    

Rani membuka korden kamarnya, ia menatap matahari yang sudah bersinar terang. Rani berjalan menuju walk in closet miliknya dan mengambil seragam sekolah, lalu berjalan ke kamar mandi yang berdinding kaca.

Setelah selesai, Rani berjalan menuju meja rias dan memoleskan sun screen dan skincare lainnya. Ia memakai pelingdung sinar matahari di seluruh tubuhnya, ia tidak ingin kulitnya menghitam karena paparan sinar matahari.

"Kok masih sepi sih?" ucap Rani ketika melihat sekolah yang masih sangat sepi. Ia melihat ke arah jam tangannya, padahal sudah menunjukkan jam setengah tujuh pagi.

Rani berjalan menyusuri kooridor yang sepi, ia membawa bekal yang sudah disiapkan. Namun tiba-tiba, bekal yang ada di tangan Rani terjatuh ke tanah. Ia melihat bola basket yang menerjang bekalnya, Rani mengambil bola itu bersamaan dengan tangan lelaki yang kini ada dihadapannya.

"Lo yang ngelempar bola ini? Lo punya mata nggak sih? Bekal gue tumpah nih!" ucap Rani dengan penuh amarah.

"Yaudah, gue minta maaf. Lagian lo bisa beli lagi di kantin, lo udah gede jadi nggak usah sok bawa bekal segala," jawab lelaki itu. Ucapan itu menusuk hati Rani, ia tidak terima diledek seperti ini.

"Makanan di kantin tuh nggak higienis tau! Lagian lo siapa sih? Berani sama gue?"

"Alay banget lo, dasar anak mami," ucap Bian lalu meninggalkan Rani yang mematung.

"Dasar cowok sinting!" umpat Rani lalu pergi.

Rani berjalan menuju kelasnya dengan marah, ia tidak suka bertemu dengan cowok itu. Sahabat-sahabat Rani menatapnya bingung, mereka tidak tahu mengapa wajah Rani sudah tertekuk seperti kanebo kering. Insha, Fina, dan Emil tidak berani menegur Rani ketika marah. Karena amukan Rani sangat berbahaya dan menyeramkan.

"Minum dulu, Ran," ucap Insha sembari menyodorkan botol minumnya ke arah Rani.

"Makasih."

"Lo kenapa? Pagi-pagi udah marah aja. Habis dimarahin karena belanja kemarin?" tanya Fina.

"Gue ketemu sama cowok nyebelin di lapangan tadi, dia nimpuk gue pakai bola basket. Alhasil bekal gue jatuh," ucap Rani dengan kesal, ia tidak terima bekalnya jatuh sia-sia.

"Wah gila tuh cowok, belum tau siapa kita rupanya. Nanti jam istirahat kita cari tuh cowok, oke?" ucap Emil lalu teman-temannya mengangguk setuju.

Materi yang diberikan guru lumayan sulit, Rani kesusahan untuk mencerna. Mungkin karena ia masih proses adaptasi dari SMP ke SMA, ia mencoba fokus kepada materi yang diberikan guru tetapi tidak bisa. Akhirnya, Rani memutuskan untuk memainkan ponselnya.

Bel istirahat berbunyi, Rani dan teman-temannya berjalan memutari sekolah untuk mencari Bian. Mereka sudah memutar ke gedung kelas sepuluh tetapi tidak ada, artinya cowok itu bukan kelas sepuluh.

"Di gedung kelas sepuluh nggak ada, coba ke gedung kelas sebelas apa?" tanya Fina dengan menatap Rani lalu menganggukkan kepalanya.

Rani berjalan menyusuri kelas per kelas, akhirnya cowok yang dicarinya ketemu juga.

"Ini nih cowoknya," ucap Rani.

"Oh, jadi lo yang jatuhin bekal sahabat gue? Berani banget, belum tahu kita siapa?" tanya Emil dengan meletakkan tangan ke pinggangnya.

Bian yang semula duduk, kini bangkit dan menatap Rani tajam. Teman-teman Bian ikut bingung, mereka tidak tahu permasalahan ini. Mata Bian menatap Rani dengan tajam, ia tidak suka tingkah laku Rani yang seenaknya sendiri.

"Gue kan udah minta maaf tadi, lo nggak dengar? Budek apa gimana?" tanya Bian sembari menahan emosinya agar tidak memuncak.

"Lo ngatain gue? Berani banget!" jawab Rani kesal.

"Lagian lo siapa sih? Anak kelas sepuluh aja gayanya udah sok banget, sana dek pergi. Lo nggak cocok disini," ucap Dafa dengan menatap Rani lalu teman-temannya.

"Jaga ya mulut lo!" sahut Fina kesal.

"Udahlah, ngapain ngurusin cewek-cewek nggak jelas, nggak tau tata krama lagi. Pergi aja yuk," ucap Gandi lalu melangkahkan kaki pergi.

Tangan Rani mengepal dengan sendirinya, rasanya ingin memukul Bian. Apalagi ekspresinya yang membuat Rani kesal, Biam seperti tidak menghargai Rani dan teman-temannya. Masa mereka tidak tahu siapa Rani?

"Tunggu aja pembalasan gue," ucap Rani.

Hari mulai senja, jam menunjukkan pukul empat sore. Rani dan teman-temannya sengaja tidak pulang dahulu, mereka ingin memarahi Bian dan temannya. Rani tidak terima diledeki seperti itu, Rani merasa ia harus dihormati karena berada di kalangan ekonomi kelas atas.

Setelah lama menunggu, Bian dan teman-temannya berjalan menuju parkiran. Rani langsung berlari bersama teman-temannya, ia tidak ingin Bian lolos kali ini.

"Yaelah, cewek ini lagi. Ada apa sih, dek? Lo terpesona sama kegantengan Bian?" tanya Farel dengan menatap Rani.

"Cih, jijik banget gue suka sama temen lo yang kampungan itu! Lihat motornya aja udah beda level sama gue, yakali gue mau sama dia."

"Kalau ngomong tuh dijaga," balas Bian sembari memegang tangan Rani keras.

"Udah jangan gitu, lo nggak level berantem sama cewek. Gue yakin kok, kalau adek-adek nggak jelas ini cuma mau narik perhatian kita aja. Secara lo kan kapten basket," ucap Dafa.

"Kita balik aja, nggak usah ngurusin cewek nggak jelas kayak gini," ucap Farel lalu menyalakan mesin motornya dan pergi dari hadapan Rani.

Rani hanya diam, kekesalannya semakin memuncak. Ia berjanji jika tidak akan berhenti mengusik Bian dan teman-temannya. Rani akan membuat hidup mereka tidak tenang, sampai mereka memohon maaf kepada Rani.

Hari ini sangat menguras tenaga dan emosi Rani, ia meletakkan tasnya di atas meja belajar lalu mengganti seragam dengan baju rumah. Kamar Rani terbuka dengan sendirinya, ia melihat mamanya masuk dan membawa oleh-oleh dari Kanada.

"Wah, mama udah pulang ternyata. Ini apa?" tanya Rani dengan antusias.

"Ini oleh-oleh buat kamu sayang, mama beliin tas Louis Vuitton. Ini keluaran terbaru, nggak ada di Indonesia. Coba kamu pakai," Rani langsung mengambil tas itu dan memakainya.

Ia menatap ke arah cermin, tas mini itu tampak cocok digunakan oleh Rani. "Bagus nggak, ma?" tanya Rani lalu mamanya mengangguk cepat.

"Semua yang kamu pakai itu bagus, sayang."

"Makasih ya ma," ucap Rani dengan mencium mamanya.

Inilah kehidupan Rani, bergelimang harta dan fasilitas mewah. Ia sudah biasa dengan barang-barang branded seperti ini, bahkan Rani sudah mempunyai koleksi sendiri. Semua baju dan aksesorisnya dibeli dari luar negeri dan merupakan brand ternama.

"Enak banget ya hidup gue, ATM nggak pernah kurang dari lima juta. Hidup dikelilingi barang mewah kayak gini, gue emang ratu sejagat," ucap Rani dengan tersenyum.


Part 1 is doneee, gimana perasaannya? Gimana melihat gaya hidup Rani yang super mewah? Aku aja nggak bisa membayangkan wkwk, tapi ada dbayangkan aku juga sih. Ah, itulah pokoknya haha 😆

Kepo nggak sama part 2? Kalau kepo, jangan lupa share ke teman-teman kalian biar banyak yang baca BIANTARA, juga jangan lupa vote dan komen yang banyak :) biar aku semangat updatenya ! 🌈

Bantu BIANTARA 100 pembaca ya :)

--Happy Reading 🌻--

BIANTARA [Completed] ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang