50: Bersama

150 11 0
                                    

Bian sedang merapikan seragamnya dan berjalan turun ke lantai bawah rumahnya. Ia bahagia karena ada mama dan papa disana. Momen seperti ini jarang terjadi di dalam hidupnya karena orang tuanya sama-sama sibuk bekerja.

"Pagi, ma, pa," sapa Bian lalu duduk.

"Gimana sekolah kamu? Kapan ambil rapot kelas dua belas semester pertama?" tanya papa Bian.

Bian mengela nafas. "Ya gitu, kalau rapotan sih nggak tau. Mungkin dua minggu lagi," jawab Bian seadanya.

"Papa mau nilai kamu harus baik, supaya bisa masuk Universitas Indonesia."

"Bian nggak mau."

Edy menatap anaknya dengan penuh makna. Bian sudah tau arti tatapan itu. Edy adalah tipikal orang tua yang tidak suka dibantah. Jika sudah berkata A, harus melaksanakan dan tidak menerima penolakan dalam bentuk apapun.

"Kamu calon penerus perusahaan papa, jadi harus belajar yang sungguh-sungguh. Atau kamu mau papa kuliahkan di Inggris?"

Sendok yang ada di tangan Bian terjatuh. Ia sangat tidak suka dipaksa apalagi diatur seperti ini.

"Bian berangkat dulu," ucap Bian lalu pergi.

Sepanjang perjalanan, pikiran Bian sangat kacau. Ia tidak tahu harus bagaimana, ia juga tidak ingin kuliah di luar negeri dan meninggalkan Rani disini.

***

Bian dan Rani sudah sampai di sekolah. Rani menatap wajah Bian, ia merasa ada sesuatu yang aneh dengan pacarnya itu. Rani memegang tangan Bian cukup lama, berharap Bian akan memberi tahu dirinya tentang sebuah hal.

"Tumben pegang tangan gue duluan?" tanya Bian.

Rani menggeleng. "Lo nggak papa, kan?"

"Maksudnya?"

"Gue ngelihat seperti ada beban tersendiri di dalam diri lo. Emangnya ada apa? Cerita aja sama gue."

Bian menggeleng. "Nggak ada apa-apa kok. Gue capek aja kemarin habis main play station sampai malam," jawab Bian berbohong.

"Nggak bohong, kan?"

"Nggak sayang. Udah ayo gue anterin ke kelas."

Rani menatap punggung Bian yang mulai menjauh dari kelasnya. Beribu pertanyaan melayang-layang di dalam benaknya. Ia tidak tahu hal apa yang sedang disembunyikan Bian darinya. Semoga saja ini tidak mengancam hubungannya.

"Woi! Ngelamun aja," ucap Fina.

"Ih! Untung jantung gue nggak copot," protes Rani dengan nada sinis.

"Haha, maaf-maaf."

Emil, Insha, Fina duduk di bangku mereka masing-masing lalu mereka sibuk membicarakan banyak hal.

"Eh iya, inget nggak dulu kita sempet mau bikin youtube? Gimana nih? Jadi nggak?" tanya Insha dengan semangat yang membara.

"Gue sih terserah aja. Gimana sama yang lain?" tanya Emil.

"Gue setuju!" seru Insha.

Rani menatap para sahabatnya yang sedang menatap dirinya dengan tatapan meminta. "Yaudah, gue setuju juga deh."

BIANTARA [Completed] ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang