Starlight akan dijadwalkan bertanding melawan SMA Harapan Bunda pada hari ini. Bian dan teman-temannya sudah siap, mereka tidak sabar memenangkan pertandingan ini secara telak. Mereka akan bertandang ke SMA Harapan Bunda.
Rani malas jika harus mendukung starlight, ia hanya ingin di dalam kelas dan tidur. Tapi mau bagaimana lagi, kelas 10 MIPA 8 sedang jam pelajaran olahraga dan harus mendukung starlight.
"Yuk berangkat, udah ditunggu sama anak-anak yang lain tuh," ucap Emil dengan menatap Rani yang masih terduduk di bangkunya.
"Lo aja, males gue."
"Ih, nggak boleh gitu. Mau gue aduin sama Pak Joni?" ancam Emil.
"Yaudah iya, gue ikut," jawab Rani dengan malas lalu berjalan keluar dari kelasnya.
Rani dan teman sekelasnya menaiki bus sekolah menuju SMA Harapan Bunda yang berada tidak terlalu jauh dari sekolahnya. Sepanjang perjalanan, Rani hanya diam dan menatap ke arah jendela. Ia sangat tidak mood untuk mendukung starlight.
Setelah lima menit perjalanan, mereka sudah sampai di tempat tujuan. Rani berjalan memasuki area SMA Harapan Bunda dengan lesu, ia sangat tidak semangat.
"Kalian duduk disini ya anak-anak, jangan lupa lantangkan suara kalian supaya tim basket SMA Kertajaya bisa menang," ucap Pak Joni dengan menghadap ke arah murid-muridnya.
"Ya pak."
Pertandingan berlangsung sangat sengit, poin starlight dan lawan saling berkejaran. Rani hanya diam, ia sama sekali tidak memperhatikan jalannya pertandingan. Rani tidak terlalu suka olahraga, maka dari itu ia tidak menyimak pertandingan basket ini.
"Akhirnya udah selesai ya," ucap Insha dengan menatap teman-temannya.
"Iya, gue bersyukur banget," jawab Rani.
"Bersyukur kenapa?" tanya Fina sembari memalingkan wajahnya menatap ke arah Rani.
"Karena kita bisa balik secepatnya ke sekolah, gue malas disini. Mana panas banget," ucap Rani.
"Lo nggak mau foto sama anak starlight? Banyak anak yang ngantri foto tuh," sahut Emil dengan menunjuk ke arah lapangan yang sudah penuh dengan siswa maupun siswi.
"Nggak. Lo aja sana," ucap Rani lalu pergi.
Bian melihat Rani yang melangkahkan kaki pergi, ia ingin menghampiri Rani tetapi banyak anak yang meminta foto pada dirinya. Entah mengapa Bian merasa bahagia ketika Rani melihat pertandingan ini, walaupun Rani tidak memperhatikan jalannya pertandingan dengan baik.
Gandi, Dafa, Farel berjalan menuju kamar mandi untuk berganti baju, mereka bingung ketika melihat Bian yang masih setia duduk di pinggir lapangan.
"Lo ngapain disini? Udah yuk cepetan ganti baju," ucap Gandi dengan menatap ke arah Bian.
"Iya," jawab Bian.
Bel pulang sekolah berbunyi, Rani sedang menunggu supirnya namun tak kunjung datang juga. Ia terpaksa harus duduk di trotoar depan sekolahnya karena kakinya terasa sangat pegal.
"Lo kok belum pulang? Tempat ini bahaya kalau sore," ucap seseorang dari belakang.
Rani menolehkan kepalanya, ternyata itu adalah Bian. "Bahaya? Gue nggak percaya lagi sama lo. Dulu lo pernah ngomong gini supaya gue takut, kan?"
"Gue beneran, Rani."
"Nggak percaya," bantah Rani.
"Yaudah kalau nggak percaya, gue balik dulu," ucap Bian.
Rani terdiam, ia lumayan takut dengan ucapan Bian. Apakah benar daerah ini bahaya? Hatinya terus berharap agar supirnya segera datang.
Bian menunggu Rani di depan gerbang sekolah, ia tidak tega meninggalkan Rani sendirian di sekolah yang sudah mulai sepi ini. Tak lama kemudian, Bian memutuskan untuk mendekat ke arah Rani.
"Bareng gue aja," ucap Bian.
"Nggak mau."
"Udah ayo, nanti malah keburu sepi. Lo mau disini sendirian?" tanya Bian dengan menatap kedua mata Rani.
"Nggak."
"Makanya ayo bareng gue." Rani mengangguk pasrah, ia berjalan mendekat ke motor Bian dan menaikinya.
Selama berada di boncengan Bian, Rani hanya diam tanpa mengajak Bian berbicara. Bian mengarahkan motornya menuju sebuah penjual makan yang berada di pinggir jalan.
"Kok berhenti?" tanya Rani kebingungan.
"Makan dulu yuk, ini mie ayam langganan gue. Coba deh, enak banget," jawab Bian dengan tersenyum.
"Nggak ah, nanti gue sakit perut lagi."
"Nggak bakal sakit perut, percaya sama gue."
Dengan terpaksa, Rani melangkahkan kakinya menuju penjual makanan itu. Ia menatap sekitarnya, Rani tidak nyaman dengan tempat makan ini. Menurutnya ini sama sekali tidak higienis dan banyak kuman yang bertebaran.
Bian menatap Rani yang sedang terdiam, ia langsung menarik tangannya agar duduk di samping Bian.
"Pak mie ayam dua ya," ucap Bian.
"Siap," jawab penjual itu.
"Lo yakin kalau ini higienis? Nggak bakal bikin perut gue sakit, kan?" tanya Rani dengan menatap Bian.
"Iya, percaya aja sama gue. Gue udah sering kok nakan disini," jawab Bian.
Tak lama kemudian, makanan yang dipesan oleh Bian datang juga. Rani menatap mangkuk yang terisi penuh dengan mie dan ayam, ia memutar mangkuk itu dengan tisu basah. Rani ingin memastikan jika mangkuk itu benar-benar bersih.
"Makan aja, bersih kok," ucap Bian.
"Beneran ya? Kalau gue sakit lo yang tanggung jawab," omel Rani dengan menatap Bian kesal.
"Iya, gue janji. Udah dimakan aja, keburu dingin ntar." Rani mengangguk dan mulai menyuapkan sesendok mie ke dalam mulutnya.
Rani tidak menyangka jika makanan pinggiran seperti ini enak dimakan, dulu menurut Rani makanan seperti ini tidak higienis dan membuat sakit perut. Rani tidak nyaman ketika Bian menatapnya seperti ini, ia mencoba mengalihkan wajahnya agar tidak dilihat oleh Bian.
"Yuk pulang," ucap Rani.
"Yuk," jawab Bian.
Setelah menempuh lima belas menit perjalanan, Rani sudah sampai di depan rumahnya dengan selamat.
"Gue balik dulu ya," ucap Bian.
"Iya, hati-hati."
Jam menunjukkan pukul tujuh malam, Bian sedang berada di kamar dengan teman-temannya. Teman-teman Bian asyik bermain play station dan makan makanan ringan. Sementara Bian, ia hanya duduk dan menatap ke layar televisinya yang berukuran besar.
"Lo kenapa ngelamun mulu? Ada masalah?" tanya Gandi dengan mendekat ke arah Bian.
"Nggak kok, gue cuma ngantuk aja."
"Seriusan lo ngantuk? Masih jam tujuh ini. Udah deh nggak usah bohong, lo nggak akan bisa bohongin gue," ucap Gandi lalu menatap Bian.
"Hm."
Sementara itu, Rani sedang duduk di pinggir kolam renang rumahnya. Entah mengapa pikirannya tidak bisa lepas dengan kejadian tadi bersama Bian, ingatan itu membuat Rani tersenyum-senyum sendiri.
"Hayo, senyum-senyum sendiri. Lagi jatuh cinta ya?" ucap mama Rani sembari mendekat ke arah Rani.
"Apaan sih mama, Rani nggak jatuh cinta kok."
"Duh, anak mama udah gede ya. Yaudah lanjut aja jatuh cintanya, mama mau masuk dulu."
Rani hanya diam, ia merenungkan ucapan mamanya tadi. Apakah benar Rani sedang jatuh cinta? Tapi rasanya tidak mungkin. Masa iya dirinya jatuh cinta dengan Bian?
Part 11 sudah selesai nih. Gimana sama part ini? Konfliknya udah mulai hilang dan tumbuh perasaan yang nggak tau apa. Kepo nggak sama kelanjutannya? ^^
Kalau kepo, jangan lupa vote dan komen yang banyak yaa. Juga jangan lupa share cerita ini ke teman-teman kalian supaya banyak yang baca ❤
Bantu 100 pembaca ya <3
--Happy Reading 🌹--
KAMU SEDANG MEMBACA
BIANTARA [Completed] ✔
Teen FictionBiantara Langit Angkasa adalah siswa SMA Kertajaya yang duduk di kelas 11. Bian sapaan akrabnya, suka bermain basket dan menjabat sebagai ketua tim basket SMA Kertajaya. Arani Sharilla Mahajaya adalah siswi yang duduk di kelas sepuluh, walaupun masi...