5

428 23 0
                                    

Bian tidak semangat berangkat ke sekolah, motornya mogok ditengah jalan yang membuatnya harus mendorong sepeda motor hingga sampai bengkel terdekat. Jam sudah menujukkan pukul setengah tujuh pagi, hati Bian mulai gelisah karena takut gerbang sudah ditutup.

"Gimana bang? Udah selesai belum?" tanya cowok itu dengan berharap-harap cemas.

"Udah nih, mas. Ongkosnya dua puluh ribu ya," jawab montir. Bian mengeluarkan uang dan segera menancapkan gas menuju sekolah.

Rani berjalan melewati parkiran, ia tidak menemukan motor bebek Bian yang jelek disana. Senyum di bibir Rani mengembang lebar, apakah Bian takut karena ancamannya kemarin?

Tak lama kemudian, Bian datang dan bersyukur karena gerbang masih terbuka lebar. Ia memarkirkan sepedanya di sebelah sepeda teman-temannya, lalu berjalan menuju kelasnya. Saat Bian melewati kooridor, ia melihat ada Rani yang berjalan.

"Rani!" teriak Bian dengan berlari menghampiri Rani.

"Kenapa panggil-panggil gue? Lo nge-fans sama gue? Mau minta tanda tangan? Sorry, gue nggak sudi ngasih tanda tangan gue ke lo," jawab Rani.

Niatnya, Bian ingin minta maaf pada Rani. Namun sikap Rani sudah keterlaluan, menurutnya Rani adalah cewek yang tidak waras. Apalagi mulutnya itu, rasanya Bian ingin menjahitnya agar tidak berbicara lagi.

"Kenapa diam? Terpukau sama kecantikan gue?" tanya Rani.

Bian tidak menjawab, cowok itu langsung berjalan menjauhi Rani. Ia tidak sudi untuk meminta maaf pada adik kelas yang tidak ada sopan santun itu, mending bicara langsung kepada Bu Dani.

Rani masuk ke dalam kelas, ketiga temannya sedang asyik bermain game online bersama. Rani hanya diam, ia tidak menyukai permainan apapun. Daripada bermain game, mending Rani mendengarkan lagu dan menggambar di buku sketsa-nya.

"Lo nggak mau join? Kita kurang satu orang lagi," ucap Emil dengan menatap Rani dan kembali fokus ke layar ponselnya.

"Nggak ah, mending gue ngegambar." Emil hanya mengangguk saja, ia tahu jika suasana hati Rani sedang tidak bagus, pasti pelarian terbaiknya dengan cara menggambar.

Jarum jam berputar hingga angka delapan, tidak ada guru yang masuk ke dalam kelas Rani. Semua teman kelas Rani bersorak, itu tandanya tidak usah mengumpulkan tugas matematika yang membingungkan itu. Rani sudah menghasilkan tiga gambar, ia tidak mewarnai namun hanya diarsir saja.

Bian sedang memainkan ponselnya dengan melamun, ia masih memikirkan tentang tadi. Apakah ia harus meminta maaf lagi kepada Rani?

"Lo kenapa, Bi?" tanya Farel dengan menatap Bian.

Bian hanya diam, ia tidak ingin merespons ucapan Farel. Bian menyusun rencana agar bisa meminta maaf pada Rani tanpa berdebat dengan dirinya. Walaupun ini terkesan tidak penting, tapi bagi Bian amanah itu sangat penting. Bian selalu mengutamakan amanah yang menjadi tanggung jawabnya, ia tidak bisa lepas begitu saja.

Bel istirahat berbunyi, Bian segera pergi dari kelasnya menuju kelas 10 MIPA 8. Ia mencari Rani, tetapi tidak ada disana.

"Rani kemana ya?" tanya Bian kepada salah satu teman Rani.

"Nggak tau kak, tadi pergi sama teman-temannya." Bian tersenyum, lalu berjalan mencari Rani dan teman-temannya.

Gandi, Dafa, dan Farel menatap Bian yang sedang berjalan ke arah kantin, mereka tidak tahu apa yang sedang dipikirkan Bian. Tidak biasanya Bian seperti ini. Apakah Bian sedang jatuh cinta? Tapi rasanya itu tidak mungkin, Bian belum pernah merasakan jatuh cinta.

"Lo kenapa sih? Kelihatan gelisah gitu," ucap Dafa dengan menatap Bian lalu memakan gorengan yang ada di hadapannya.

"Nggak apa," jawab cowok itu.

"Beneran? Kok gue curiga ya. Apa jangan-jangan lo lagi jatuh cinta sama adik kelas yang waktu itu?" tebak Farel dengan heboh. Bian menutup mulut Farel, lalu memutar bola matanya.

"Gaklah, mana suka gue sama cewek kayak gitu. Nggak tipe gue," jawab Bian dengan menatap Farel tajam.

"Kali aja lo mau sama yang gituan." Ucapan Farel membuat semua teman Bian tertawa, mereka sangat suka menggoda Bian tentang cewek seperti ini. Walaupun Bian sangat populer, ia belum pernah merasakan pacaran sebelumnya.

Rani sedang berada di rooftop bersama teman-temannya. Ponselnya berbunyi, Rani langsung menatap layar yang memunculkan notifikasi pesan. Senyum Rani mengembang, ternyata itu adalah pesan singkat dari Bian. Dalam pesan itu, Bian ingin menemuinya sepulang sekolah nanti.

"Gue tunggu permintaan maaf lo," batin Rani dengan tersenyum licik.

Bel pulang sekolah berbunyi, Rani sedang menunggu Bian di depan kelasnya. Ia sudah menunggu selama lima belas menit sejak bel berbunyi, Bian tidak kunjung datang ke hadapannya. Rani sudah mulai emosi, ia tidak suka menunggu tanpa kepastian seperti ini.

Tak lana kemudian, Bian berjalan mendekat ke arah Rani. Ekspresi wajah Rani sudah berubah, ia tampak bete.

"Maaf gue telat," ucap Bian.

"Lo kesini mau minta maaf kan? Gue nggak bisa maafin lo karena lo telat lima belas menit, gue paling nggak suka sama orang yang ngaret," jawab Rani dengan nada agak tinggi.

"Hah? Konyol banget alasan lo. Gue tuh mau minta maaf, bukan mau berangkat ke sekolah," bantah Bian tidak terima. Alasan yang keluar dari mulut Rani adalah alasan yang tidak masuk akal. Bian hanya memutar bola mata saja.

"Yaudah, gue nggak maafin." Bian menatap Rani yang mulai menjauh.

"Dasar cewek nggak waras."

****

Hari ini Rani memutuskan untuk tidak sekolah, ia tidak sabar untuk menjemput kedua orang tuanya di bandara. Orang tua Rani baru saja pulang dari luar negeri, ia ingin melihat oleh-oleh yang dibelikan kedua orang tuanya.

Rani sudah berada di bandara, ia sedang menunggu orang tuanya keluar. Jari tangannya tidak berhenti mengetik di layar ponselnya, ia sibuk mengirimkan pesan kepada sahabatnya.

"Mama, Rani kangen banget sama papa juga," ucap Rani dengan memeluk kedua orang tuanya.

"Yuk kita ke mobil. Mama udah beli oleh-oleh yang bagus buat kamu," ucap mama Rani dengan menatap anak semata wayangnya itu.

"Apa? Rani penasaran banget."

"Tunggu sampai rumah aja ya, oleh-olehnya ada di dalam koper soalnya." Rani tersenyum, ia sangat bahagia dengan kepulangan kedua orang tuanya. Dan juga, ia bahagia karena mamanya membawa oleh-oleh yang mewah.

Sementara itu, Bian mencari Rani ke seluruh sudut sekolah. Ia sudah memutar sebanyak tiga kali, namun Rani tidak ada. Bian banyak mengirim pesan ke Rani, tetapi tidak mendapat jawaban apapun. Bian menyerah, ia tidak ingin mencari Rani lagi.

"Lo kenapa sih? Muter-muter terus, pusing gue lihatnya," ucap Gandi dengan menatap Bian.

"Gue lagi cari Rani, tapi nggak ada." Gandi membulatkan matanya, apakah ia tidak salah dengar? Mengapa Bian mencari Rani sampai gelisah seperti ini?

Part 5 sudah selesai nih. Kira-kira Bian dimaafkan Rani nggak ya? Kepo nggak? Aku aja kepo hehe ^^

Kalau kepo, jangan lupa vote dan komen lalu share yang banyak ke teman-teman kalian yang suka baca. Kali aja langsung jatuh cinta sama Bian dan Rani :)

Bantu cerita ini 100 pembaca ya ಥ⌣ಥ

--Happy Reading 🌻--

BIANTARA [Completed] ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang