16

260 15 0
                                    

Bian bangun dari tidurnya tepat pukul lima pagi. Kakinya beranjak berjalan menuju kamar mandi, ia segera bersiap untuk pergi ke sekolah.

Hari ini Bian tidak terlalu semangat. Bagaimana tidak, semalaman ia tidak bisa tidur dengan nyenyak. Pikirannya selalu tertuju pada gadis manja itu. Berulang kali Bian mencoba memikirkan hal lain yang lebih penting, tapi tetap saja pikirannya dikuasai oleh Rani.

"Kenapa sih lo selalu ada dalam pikiran gue?" ucap Bian lalu mengusap wajahnya gusar.

Sementara itu, Rani sedang berdiri di depan rumahnya. Ia sedang menunggu Irfan menjemputnya, Rani tidak sabar untuk segera bertemu dengan Irfan. Tak lama kemudian, pangeran yang ditunggu Rani datang juga.

"Maaf udah buat nunggu lama," ucap Irfan.

"Iya nggak apa kok," jawab Rani.

"Yuk berangkat." Rani membuka pintu mobil berwarna hitam milik Irfan lalu masuk ke dalamnya.

Wangi mobil Irfan sangat harum, begitu juga dengan wangi pemiliknya. Rani sangat menyukai bau parfum Irfan. Parfum itu beraroma lelaki yang sangat gagah. Sudut bibir Rani terangkat ketika Irfan tersenyum ke arahnya.

"Nanti kalau pulang, gue tunggu di depan sekolah ya. Semangat belajarnya," ucap Irfan sembari tersenyum manis.

"Iya, lo juga semangat ya."

Rani berjalan menyusuri kooridor sekolahnya dengan perasaan ceria. Ia sama sekali tidak pernah membayangkan jika bisa mengenal Irfan di hidupnya. Rani sangat bersyukur karena semesta mempertemukan dirinya dengan Irfan Galang Naufan.

Bian bertemu dengan Rani ditengah kooridor, ia melihat Rani tersenyum manis sepanjang jalan.

"Lo kenapa senyum-senyum gitu? Otak lo geser ya?" tanya Bian dengan menatap Rani.

"Sembarangan! Lagian, ngapain tanya-tanya? Udah mulai terpesona dengan kecantikan gue yang paripurna ini?"

Bian menggelengkan kepalanya, ia tidak habis pikir dengan gadis yang ada di depannya ini. Bian langsung pergi meninggalkan Rani.

"Dasar nggak jelas!" omel Rani.

Derit pintu terbuka, Bian masuk ke dalam kelas yang masih kosong. Ia duduk di bangkunya. Entah mengapa rasanya sangat kesal ketika melihat Rani bersama Irfan. Bian tahu, Irfan adalah lelaki yang tidak baik. Ia juga tidak ingin Rani menjadi korban Irfan yang kesekian.

"Lo ngapain ngelamun? Kangen gue ya?" ucap Dafa dengan menepuk pundak Bian.

"Dih," jawab Bian.

"Kayaknya ada yang sakit hati nih. Bener nggak tebakan gue?" sahut Farel.

"Kayaknya iya sih, Rel. Soalnya dari jauh gue udah perhatiin dia kayak uring-uringan nggak jelas. Lo sakit hati sama siapa? Udah punya pacar?" tanya Gandi.

"Duh, Bian gue udah besar nih," sahut Dafa.

Bian hanya diam, ia malas menjawab semua ocehan teman-temannya. Bian juga tidak tahu perasaan apa ini. Ia juga bingung mengapa hatinya begitu kesal ketika melihat Rani bersam Irfan? Padahal tidak ada hubungan diantara mereka dan Bian sangat benci dengan Rani.

"Diam aja terus," ucap Gandi.

"Apaan sih, gue lagi pusing," jawab Bian.

Jam menunjukkan pukul sepuluh pagi. Bel istirahat SMA Kertajaya sudah berbunyi. Rani dan teman-temannya langsung berjalan ke arah rooftop.

"Eh, gue semalam di chat sama Dafa," ucap Emil sembari menunjukkan ponselnya.

"Dafa siapa?" tanya Rani.

"Itu loh, Dafa temannya Bian. Masa lo nggak tahu sih?"

Rani hanya mengangguk pelan, ia berpikir mengapa Dafa mengirim pesan kepada Emil? Apakah ia memiliki tujuan khusus untuk mendekati Emil?

"Cie Emil, habis ini udah nggak jomlo lagi dong? Kapan ada orang yang deketin gue, capek banget jomlo," sahut Fina dengan memasang wajah memelas.

"Gue juga," timpal Insha.

Emil menatap Rani. "Kok diam aja sih, Ran? Hayo, jangan-jangan lo udah punya pacar?"

"Eh, nggak kok. Cuma lagi dekat sama orang aja."

"Kok nggak cerita?" ucap ketiga temannya bersamaan.

Rani menggaruk tengkuknya, ia lupa jika belum cerita dengan ketiga temannya. Rani berpikir sejenak, ia tidak ingin terlalu mengumbar hubungannya yang belum resmi ini.

"Besok aja kalau udah resmi," jawab Rani lalu pergi.

SMA Kertajaya sudah ramai dengan siswa maupun siswi yang berhamburan keluar kelas. Bian sedang mengganti seragamnya dengan jersey basketnya, ia ada jadwal latihan rutin hari ini. Bian menatap ke arah kelas Rani. Disana terlihat Rani yang sedang menunggu seseorang.

"Kok cuma dilihatin? Samperin dong," ucap Gandi yang tiba-tiba ada di sebelah Bian.

"Ngapain gue samperin? Dia kan bukan siapa-siapa gue. Lagipula dia cewek super nyebelin yang pernah gue temuin."

"Masa sih? Kok gue lihatnya lo malah suka sama dia ya?" Bian hanya diam lalu kakinya berjalan ke arah tengah lapangan. "Ye, malah ditinggal gue. Dasar cumi!"

Rani berjalan keluar gerbang sekolah, ia menunggu Irfan menjemputnya. Setelah menunggu selama lima menit, akhirnya Irfan datang dan Rani langsung masuk ke dalam mobilnya.

"Udah nunggu lama? Maaf ya," ucap Irfan.

"Nggak kok, gue juga barusan keluar," jawab Rani.

Irfan mengangguk. "Mau kemana kita?"

"Pulang?" ucap Rani bingung.

"Nggak mau kemana dulu gitu? Makan atau belanja?" Rani hanya mengangguk, ia menuruti semua apa yang diucapkan Irfan.

Irfan dan Rani berjalan menyusuri sebuah mal yang besar ini. Mereka menuju foodcourt yang terletak di lantai paling atas. Rani ingin memakan ramen kesukaannya, sedangkan Irfan mengikuti keinginan Rani.

"Sering makan disini?" tanya Irfan.

Kepala Rani mengangguk. "Sering banget sama teman-teman gue, kadang juga sama orang tua gue kalau mereka nggak sibuk."

"Oh."

"Kalau lo sendiri? Udah pernah makan ramen ini nggak?" tanya Rani dengan menatap Irfan.

"Belum pernah."

"Gue jamin, lo pasti ketagihan deh makan ramen disini." Irfan terkekeh lalu menyuapkan ramen ke dalam mulutnya.

Mereka bertukar cerita satu sama lain, mereka tertawa bahagia bersama. Rani baru pertama kali sedekat ini dengan lelaki, sebelumnya ia tidak pernah dekat dengan lelaki manapun. Rani merasa sangat nyaman jika dekat dengan Irfan. Selain wajahnya yang tampan, kepribadian Irfan juga asyik.

Jam menunjukkan pukul lima sore. Bian masih memantulkan bola ke lantai lapangan, ia belum ingin pulang karena suasana hatinya sedang tidak baik.

"Lo nggak pulang?" tanya Dafa.

"Nggak."

"Lo kenapa sih? Gue yakin ini pasti gara-gara Rani, kan? Lo nggak ingat apa kata coach tadi? Lo harus fokus, Bi," ucap Farel sembari mengambil bola dari tangan Bian.

Bian hanya diam, ia tahu jika latihan tadi dirinya sangat tidak fokus. Bian juga tahu jika performanya mulai menurun. Namun, Bian tidak tahu mengapa semuanya berubah? Apakah karena Bian terlalu memikirkan Rani? Apakah Bian memiliki rasa yang lebih kepada Rani?

"Kalau lo suka, perjuangin. Jangan uring-uringan nggak jelas kayak gini," ucap Gandi lalu pergi.

Apakah benar Bian mulai menyukai Rani?




Part 16 sudah selesai nih. Gimana nih sama Bian yang uring-uringan nggak jelas? Apa benar Bian suka dengan Rani? Hayooo, kepo nggak?

Kalau kepo, jangan lupa vote, komen, dan share ke teman-teman kalian yaa.

Bantu cerita ini 200 pembaca ya. Thank you^^

--Happy Reading ✨--

BIANTARA [Completed] ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang