Rani sedang memakai sepatu di teras rumahnya. Ia sedang menunggu Irfan menjemputnya. Rani tidak sabar untuk bertemu Irfan, ia tidak sabar untuk melihat senyumnya yang sangat manis. Apalagi perlakuannya yang teramat istimewa.
"Selamat pagi tuan puteri," ucap Irfan.
Rani tersipu malu. "Jangan gitu ah, gue malu tau."
Irfan tertawa kecil. "Ngapain malu? Kenyataan kok kalau kecantikan lo itu seperti tuan puteri yang ada di cerita dongeng."
"Gombal banget sih," ucap Rani.
"Gue nggak bohong."
Rani mengangguk saja lalu masuk ke dalam mobil Irfan. Ia tidak ingin memperpanjang perdebatan dengan Irfan. Sudah cukup pipinya merah merona, jangan sampai seluruh wajahnya merah seperti kepiting rebus.
Bian memarkirkan sepeda motornya. Pandangannya tidak sengaja tertuju pada sebuah mobil hitam yang berada di depan sekolahnya. Ia melihat seorang gadis turun dari mobil itu.
"Rani sama Irfan lagi? Deket banget mereka," gumam Bian pelan.
"Lo ngapain disini? Ngelamun lagi," ucap Farel yang membuyarkan pandangan Bian.
"Biasa, mungkin sedang memperhatikan seorang gadis yang berdiri disana tuh," sahut Dafa dengan menunjuk Rani yang sedang berdiri di depan gerbang.
"Udahlah. Kalau lo suka sama dia, langsung ngomong aja kali. Nggak usah kayak gini terus," ucap Gandi.
"Gue nggak suka sama dia," kata Bian lalu pergi.
"Dasar, gengsi aja yang digedein!" ledek teman-teman Bian.
Rani berjalan dengan ceria menuju kelasnya. Ia tidak sabar menceritakan ini semua kepada sahabatnya. Perasaan Rani saat ini masih campur aduk. Jantungnya berdetak cepat dan pipinya terus memerah.
"Lo sakit, Ran?" tanya Emil dengan khawatir.
"Iya nih. Wajah lo kok merah gitu? Gue anterin ke UKS, ya?" sahut Insha sembari berjalan mendekat ke arah Rani.
Fina menatap Rani beberapa detik. "Kayaknya dia nggak sakit deh. Roman-romannya sih kayak ada yang lagi jatuh cinta, bener nggak?"
Rani tidak menjawab, ia hanya menebarkan senyum manisnya. Senyum yang sudah menjawab semua pertanyaan itu. Para sahabat Rani langsung mendekat ke arah Rani.
"Lo jatuh cinta sama siapa?" tanya Emil.
"Iya nih. Tumben banget."
"Gue lagi suka sama Irfan. Dia kapten tim basket SMA Raspati, yang dulu pernah tanding disini lawan starlight," jawab Rani.
"Rani gue udah besar ya, mana udah bisa jatuh cinta pula," ucap Insha lalu tertawa keras.
Mereka tertawa bersama dan saling berbagi cerita. Rani sangat bahagia karena ada sahabatnya yang menghiasi hari-harinya. Ia juga bahagia karena Tuhan telah mempertemukan dirinya dengan lelaki seperti Irfan.
Sementara itu, Bian sedang melamun selama pelajaran berlangsung. Pikirannya tidak lagi fokus kepada materi yang dijelaskan oleh guru. Pikirannya selalu tertuju pada Rani. Entah mengapa, Bian juga tidak tahu.
"Biantara! Biantara!" ucap guru kimia yang sangat menakutkan.
Bian tersadar dari lamunannya. "Eh, iya bu. Kenapa manggil saya?" tanya Bian kebingungan.
"Kamu tidak mendengarkan penjelasan saya ya? Sekarang kamu keluar dari kelas saya!"
"Dengar kok bu," ucap Bian.
"Jangan bohong, Bian. Saya ini sudah lama jadi guru dan nggak bisa dibohongi. Keluar cepat!" Bian hanya bisa pasrah dan berjalan keluar dari kelas.
Bian duduk di tepi lapangan yang berhadapan dengan kelas Rani. Kelas itu tampak sangat ramai karena tidak ada guru. Kaki Bian tergerak menghampiri Rani, tapi gengsinya mengatakan untuk tidak menghampiri Rani.
"Yaelah masih galau aja nih bocah. Samperin aja ke kelasnya," ucap Gandi yang tiba-tiba berada di sebelah Bian.
"Lah, lo sendiri ngapain disini?"
"Gue males di kelas, gurunya ngoceh mulu. Jadinya gue diusir juga sama guru itu," jawab Gandi santai.
"Terus Dafa sama Farel gimana?"
Gandi tertawa kecil. "Mereka juga diusir."
Bian hanya menganggukkan kepala tanpa menjawab sepatah katapun. Tanpa banyak bicara, Bian langsung berjalan mendekat ke arah kelas Rani. Ia tidak sadar akan langkahnya saat ini. Langkah ini terus berjalan tanpa kendalinya.
"Bisa tolong panggil Rani?" ucap Bian kepada salah seorang siswi.
Siswi itu tampak sangat gugup. "Em, anu. Eh, iya kak," ucap siswi itu lalu masuk ke dalam kelas.
Tak lama kemudian, Rani keluar dan berjalan menghampiri Bian. Jantung Bian merasa berdetak tidak karuan, ia tidak tahu mengapa jantungnya berdetak seperti ini.
"Ngapain cari gue?" tanya Rani.
Suara itu mampu membuat hati Bian melunak. Suara itu juga yang mampu membuat Bian uring-uringan tidak jelas selama beberapa hari ini. Tapi Bian juga sadar, suara itu kini sudah mempunyai seseorang spesial di hidupnya.
"Nggak jadi," jawab Bian lalu pergi.
"Ih? Nyebelin banget sih!" ucap Rani kesal.
Bian berlari meninggalkan kelas Rani. Entah mengapa di hadapan Rani, bibirnya seolah bungkam dan tak bisa berbicara. Tapi Bian juga bersyukur karena bisa mendengar suara dari gadis manja yang membuat hidupnya berubah.
Malam telah tiba, kini Bian sedang berada di balkon kamarnya. Pandangannya terus menatap langit malam yang cerah. Pikirannya tidak bisa lepas dari gadis itu.
"Kenapa lo selalu ada di pikiran gue?" ucap Bian lalu mengusap rambutnya gusar.
Sedangkan Rani, ia asyik telfonan dengan Irfan. Terhitung sudah dua jam berlalu dab obrolan mereka tidak pernah terputus. Irfan selalu punya cara tersendiri untuk membuat Rani asyik mengobrol dengan dirinya. Itu adalah salah satu sifat Irfan yang disukai oleh Rani.
"Kalau gitu, lo istirahat ya. Gue nggak mau calon pacar gue ini sakit. Sampai ketemu besok Rani. Selamat tidur."
"Iya, makasih ya Irfan. Lo juga harus istirahat ya," ucap Rani.
Sambungan telfon itu terputus sampai disitu. Rani berjalan menuju kasur dan menatap langit-langit kamarnya. Perasaannya sangat bahagia hari ini.
"Terima kasih semesta karena kau sudah mempertemukan aku dengan pangeranku," ucap Rani lalu terlelap tidur.
****
Jam menunjukkan pukul enam pagi. Bian sudah ada di depan rumah Rani. Entah kenapa alam bawah sadarnya membawa dirinya kemari, padahal Bian sedang ingin berangkat menuju sekolah.
Tak lama kemudian, pintu rumah berwarna putih itu perlahan terbuka. Rani melihat sosok Bian yang ada di depan pagar rumahnya. Ia langsung membuka pagar dan menghampirinya.
"Bian? Lo ngapain kesini?"
Bian diam. Ia tidak tahu harus menjawab apa. "Sengaja aja lewat sini, terus gue mau ngajak lo berangkat ke sekolah bareng. Lo mau?" ucap Bian dengan gugup.
"Emmm, gimana ya. Maaf banget nih, gue udah dijemput sama Irfan. Mungkin lain kali kita bisa bareng. Gue duluan ya," jawab Rani lalu masuk ke dalam mobil hitam yang berada di sampingnya.
Bian menyalakan mesin motornya lalu melaju menuju sekolah. Ia cukup tahu diri untuk mendekati Rani.
Chapter 18 sudah selesai nih. Maaf banget aku updatenya lama, soalnya ada urusan yang harus diselesaikan. Maaf banget yaa :(
Btw, gimana sama chapter ini? Kepo sama kelanjutannya gak? Kalau kepo, jangan lupa vote, komen, dan share ke teman-teman kalian yaa! 🌹
Bantu Bian dan Rani 200 pembaca ya, makasih ^^
--Happy reading ✨--
KAMU SEDANG MEMBACA
BIANTARA [Completed] ✔
أدب المراهقينBiantara Langit Angkasa adalah siswa SMA Kertajaya yang duduk di kelas 11. Bian sapaan akrabnya, suka bermain basket dan menjabat sebagai ketua tim basket SMA Kertajaya. Arani Sharilla Mahajaya adalah siswi yang duduk di kelas sepuluh, walaupun masi...