"Terima kasih karena hadirmu membuatku sedikit lebih tenang. Hanya sedikit, sisanya aku masih sangat tidak tenang."
*****
Satu minggu telah berlalu. Kini Rani sudah kembali ke sekolah lagi. Namun sifatnya berubah total. Biasanya Rani selalu ceria dan banyak omong, namun kali ini tidak. Ia lebih sering diam dan hanyut ke dalam lamunannya sendiri.
"Are you okay?" tanya Insha.
Rani mengangguk tanpa menatap Insha.
Insha, Emil, dan Fina tidak berani terlalu mengusik keadaan Rani karena mereka tahu jika Rani masih sangat sedih. Apalagi belum ada kabar terbaru.
Sementara itu, mulai hari ini dan seterusnya Bian diberi tugas oleh mama Rani agar mengantar dan menjemput anaknya itu. Awalnya Rani menolak, namun akhirnya ia setuju walaupun dengan terpaksa.
"Gue beliin makanan buat lo," ucap Bian lalu duduk di sebelah Rani.
"Gue nggak lapar."
"Lapar nggak lapar, lo harus makan. Gue nggak mau lihat lo mati kelaparan."
Rani menepuk pundak Bian. "Gitu banget ngomongnya! Udah pergi aja sana," usir Rani.
Bian tertawa. "Makanya nih makan. Atau mau gue suapin? Jangan-jangan dari tadi lo nunggu gue suapin?"
"Ck. Iya iya gue makan!"
Rani mulai menyuapkan makanan ke dalam mulutnya. Entah mengapa rasanya sangat ingin muntah ketika menelan makanan ini. Beberapa hari terakhir ini, Rani hanya memakan tidak lebih dari dua sendok.
"Udah. Lo puas?" ucap Rani cuek.
"Masih banyak itu. Habisin semuanya," pinta Bian.
"Ck. Bawel banget sih! Gue nggak mau makan!" tolak Rani dengan suara tinggi lalu berlari keluar dari kelasnya.
Bian menatap Rani yang mulai menjauh. Ia mengerti perasaan Rani. Tapi mau bagaimana lagi, semua ini sudah takdir dan tidak bisa dirubah.
Fina berjalan mendekat ke arah Bian. Ia bingung melihat Rani yang beranjak keluar kelas dan marah-marah tidak jelas.
"Rani kenapa?" tanya Fina.
"Nggak tau. Mungkin karena dia belum ikhlas menerima semua ini," jawab Bian.
"Oh.."
Malam telah tiba, Rani sedang duduk di kamarnya dan menatap langit-langit kamarnya. Ia kembali menangis malam ini. Air mata Rani seolah tidak berhenti untuk menetes. Hampir setiap hari ia menangis.
Pintu kamar Rani terbuka. Terlihat Ratih yang sedang membawakan makan malam untuk anaknya.
"Dimakan dulu," ucap Ratih.
Rani menggelengkan kepalanya. "Rani nggak lapar."
"Kamu nggak boleh gitu, sayang. Kamu nggak mau lihat papa sedih diatas sana, kan? Kamu harus makan supaya kesehatan kamu tetap terjaga."
"Maksud mama apa? Papa masih hidup, ma. Papa cuma lagi kerja dan nggak ada kabar," ucap Rani.
Ratih menatap anaknya dengan tatapan sendu. Ia tahu jika Rani belum sepenuhnya ikhlas dengan kejadian ini. Tapi ini semua sudah suratan takdir dan kenyataan pahit yang harus diterima.
KAMU SEDANG MEMBACA
BIANTARA [Completed] ✔
Teen FictionBiantara Langit Angkasa adalah siswa SMA Kertajaya yang duduk di kelas 11. Bian sapaan akrabnya, suka bermain basket dan menjabat sebagai ketua tim basket SMA Kertajaya. Arani Sharilla Mahajaya adalah siswi yang duduk di kelas sepuluh, walaupun masi...