Hidan *Modern*

2K 237 13
                                        


Di dunia ini, semua orang lahir bersama dengan pasangannya atau yang populer disebut dengan soulmate. Ada bermacam-macam tanda yang menandakan bahwa seseorang merupakan soulmate bagi yang lainnya. Ada yang lahir dengan jam berdetik di pergelangan tangan, memberitahu waktu ia bertemu dengan pasangannya. Beberapa mampu berkomunikasi dengan pasangannya baik melalui tulisan atau gambar yang ditulis ditubuh mereka atau melalui pikiran. Ada juga yang yang lahir tanpa mampu melihat warna selain putih dan hitam, tapi setelah bertemu dengan pasangannya barulah mereka bisa melihat warna lain.

Sisanya, sama seperti Hidan. Lahir dengan sebuah kalimat, kalimat yang akan terucap pertama kali dari bibir pasangannya kelak. Kalimat maafkan aku melekat di lengan atasnya.

Ia sering mendengar cerita bahwa saat bertemu dengan pasangannya kelak, segalanya terasa sempurna. Sejujurnya, Hidan tidak pernah peduli siapa yang akan menjadi pasangannya atau bagaimana ia akan bertemu dengannya. Sama sekali. Ia juga tidak peduli dengan fakta bahwa di Akatsuki hanya dirinya yang belum diberi kesempatan untuk bertemu dengan belahan jiwanya.

Sampai beberapa bulan lalu ia mulai bermimpi. Mimpi yang terasa nyata seolah kenangan lama yang sudah lama tertimbun waktu.

Hidan duduk bersandar di tengah hutan. Tenangnya suasana dibarengi dengan semilir angin yang menggoyangkan pohon rimbun menandakan bahwa tidak ada yang perlu ia waspadai saat ini. Pandangannya menerawang jauh, berpikir kebaikan apa yang ia lakukan hingga mampu mendapatkan kesempatan untuk berbahagia.

"Hidan?"

Sebelah lengannya mengerat, memeluk gadis yang tengah bersandar padanya lebih dekat. "Aku di sini."

Bibirnya perlahan tertarik membentuk seulas senyum. Tatapan tertuju pada gadis yang kini—dengan menggemaskannya, menggesekkan wajah di bahunya, tampak tidak rela meninggalkan alam bawah sadarnya.

"Kenapa kau terbangun?" nada suara yang mengantuk setengah khawatir membawa Hidan tersenyum lebih dalam. Ia tidak peduli apa yang dikatakan oleh gadis itu, ia selalu menyukai suaranya. Menenangkan.

Hidan menyentil dahi gadis itu. "Seseorang harus tetap waspada dengan keadaan sekitar kalau tertidur di tengah hutan, bodoh."

Gadis itu hanya menggerutu pelan tanpa benar-benar membuka mata. "Kalau begitu seharusnya kita langsung pulang dan beristirahat di rumah. Bukannya bersantai di sini."

"Daripada menggerutu seperti itu, lebih baik angkat kepalamu," Hidan mengendikkan bahunya, memaksa gadis yang tengah meregangkan punggungnya untuk mengangkat kepala. Ia mengulas senyum mengejek."Bahuku pegal menopang kepalamu yang besar itu."

Tatapan tajam dibalas dengan seringai tak bersalah. Ia tertawa lepas sambil menerima pukulan bertubi-tubi di tubuhnya dengan sukarela. "Jahat sekali. Aku bahkan tidak lebih berat daripada sabitmu dan kau sudah mengeluh saat aku bersandar selama beberapa jam?"

Hidan mengangkat bahunya. "Apa boleh buat. Sepertinya aku memang lebih menyukai sabitku."

"Kalau begitu menikah saja dengan sabitmu sana!"

Hidan kembali tertawa. Ia menahan pergelangan tangan gadis itu kemudian menariknya lembut, membawanya mendekat. Gadisnya tidak protes saat Hidan memaksanya untuk duduk di pangkuan. Kedua lengannya mengukung gadisnya erat, enggan berjauhan dengannya walau hanya membiarkan angin melewati tubuh mereka.

"Tapi aku hanya bisa melakukan ini denganmu," gumam Hidan di leher gadisnya. Bibirnya menggapai setiap jengkal kulit yang terekspos, meninggalkan jejak yang berkata bahwa gadisnya adalah seseorang yang berharga tanpa suara.

Naruto One ShotsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang