Uchiha Shisui *Modern*

4.2K 383 13
                                    

Shisui menghela nafas lega setelah berhasil membuka pintu apartemennya. Empat kantung belanja yang sedari tadi ia bawa membuat lengannya seperti hampir putus. Tidak ingin lebih lama membawa belanjaannya, Shisui berjalan cepat ke arah dapur. Ia tidak menghiraukan keheningan yang menyelimuti apartemennya. Walaupun ia tidak tinggal seorang diri, namun keheningan ini sudah biasa untuknya.

Y/N, gadis yang tinggal bersamanya juga sahabatnya, memang tidak terbiasa dengan kebisingan. Gadis itu lebih suka berada di kamarnya dan tidur daripada menyetel musik dengan suara keras. Shisui membiarkan televisinya mati, ia tidak ingin membangunkan Y/N, dan memilih untuk mempersiapkan makan malam.

Tanpa sadar, Shisui menghela nafas. Ia prihatin dengan keadaan sahabatnya. Orangtua Y/N baru saja bercerai, Ibu dan Ayahnya memaksa Y/N untuk memutuskan dengan siapa ia akan tinggal. Karena menyayangi keduanya dan tidak bisa memilih, Y/N memutuskan untuk tinggal bersamanya. Shisui tidak keberatan dengan hal ini, malah ia merasa diuntungkan karena bisa melihat wajah gadis yang ia sayangi kapanpun ia inginkan.

Namun ... Shisui tahu ada sesuatu yang salah dengan psikologis Y/N. Mungkin trauma karena melihat orangtuanya bertengkar dan bercerai, mungkin juga karena hal lain. tidak jarang Shisui sering mendengar tangisan seorang gadis di tengah malam, namun saat ia mengikuti asal suara tangisan itu, ia berakhir di depan pintu kamar Y/N. Shisui tidak pernah membicarakannya karena setiap pagi setelah mendengar tangisan itu, Y/N selalu bersikap ceria seakan tidak pernah menangis.

Shisui hanya tahu, yang bisa ia lakukan untuk gadis yang disayanginya sekarang adalah menyakinkannya bahwa ia tidak sendirian dalam masalahnya. Ia selalu ada bersamanya.

Saat aroma makanan tercium ke seluruh penjuru ruangan, Shisui memutuskan untuk memanggil Y/N untuk makan malam bersama. Tangan Shisui berhenti sebelum berhasil mengetuk pintu. dahinya mengernyit, berusaha memastikan telinganya tidak salah dengar.

Y/N menangis.

Mengabaikan fakta bahwa ia selalu berpura-pura tidak tahu kalau Y/N sering menangis, Shisui masuk tanpa mengetuk pintu. Ia mematung melihat Y/N duduk memeluk lutut di samping tempat tidur. Matanya bengkak dan hidungnya merah. Bibirnya bergetar dan air mata tidak berhenti mengalir bahkan setelah Shisui masuk.

Insting mengambil alih pikirannya, Shisui memeluk tubuh Y/N yang bergetar. Ia merasakan tangan Y/N mencengkeram erat lengan bajunya. Shisui membisu. Ia tidak mengatakan apapun. Ia tidak bisa mengatakan apapun yang mampu menenangkan Y/N sekarang. Tidak ada.

"S-Shisui ... Shisui ... aku adalah orang yang tidak berguna. Aku tidak bisa menyatukan orangtuaku, aku juga tidak bisa mendamaikan mereka. Aku menyakiti mereka, Shisui ... dan sekarang aku menyusahkanmu. Aku tidak ingin mengganggumu, tapi ... tapi aku tidak punya siapa-siapa lagi," racau Y/N di dada Shisui. Cengkreamannya semakin mengerat dan Shisui tidak mencoba untuk melepaskan tangan Y/N bahkan saat kulitnya mulai terasa nyeri.

"Jangan berkata seperti itu," Shisui mengelus rambut Y/N.

Shisui mengganti posisinya. Ia sedikit mengangkat tubuh Y/N agar ia bisa bersandar di sisi kasur dan membiarkan Y/N bersandar pada dadanya. Ia hampir menangis mendengar isakan lirih Y/N, tapi ia harus menahannya. Ia tidak akan berguna untuk Y/N sekarang kalau ikut menangis. Shisui menghela nafas rendah lalu menatap langit-langit kamar, berusaha menghalau air mata yang hampir tumpah.

"Seumur hidupku, aku tidak lebih dari beban orangtuaku. Aku hanya penyesalan mereka. Mereka berada di titik ini sekarang karena aku Shisui ... dan setelah mereka berpisah, aku kembali menjadi beban orang lain ... aku menjadi bebanmu. Maafkan aku ... kumohon maafkan aku, Shisui," Y/N mendongak, menatap Shisui dengan mata berkaca-kaca. "Mungkin seharusnya aku tidak berada di dunia lagi. Seharusnya aku mengakhiri hidupku sendiri. Lagipula tidak ada yang menyayangiku. Bagaimana menurutmu Shisui?"

Shisui terbelalak. Salah satu tangannya menangkup wajah Y/N. "Bodoh. Kau mungkin tidak menyadarinya, tapi aku sangat menyayangimu. Lebih dari yang kautahu."

"Apa?"

"Dengarkan aku," kedua tangan Shisui menangkup wajah Y/N, menuntut seluruh perhatian gadis dalam pelukannya. "Kau mungkin hanya menganggapku sebagai sahabat, tapi aku menyayangimu lebih dari seorang sahabat. Aku menyayangimu sebagai seorang gadis bahkan setelah mengetahui latar belakang dan masalahmu. Karena itu jangan pernah lagi memikirkan mengakhiri hidupmu karena kesepian. Aku selalu bersamamu."

Y/N kembali menangis. Namun, bukan rasa kesepian yang memancing air matanya, melainkan rasa bahagia yang membuncah yang membuatnya berderai air mata. Gadis itu memeluk Shisui, mengubur wajahnya di leher pemuda yang baru saja mengungkapkan perasaannya. Shisui merasakan gadis itu tersenyum memaksa sudut bibirnya sedikit tertarik.

"Maafkan aku karena berpikiran buruk seperti tadi," gumam Y/N.

"Kumaafkan kalau kau berjanji untuk mengatakan apa yang kaurasakan padaku. Aku tidak ingin kau menangis sendirian di tengah malam," Shisui menempelkan bibirnya di puncak kepala Y/N. "Datanglah padaku kalau kau merasa kesepian. Aku akan memelukmu hingga perasaan itu pergi."

Y/N mengangkat wajahnya hingga bertemu pandang dengan Shisui. "Mungkin yang kubutuhkan bukanlah obat penenang. Mungkin yang kubutuhkan adalah orang yang menyayangiku dan yang kusayangi berada di dekatku."

"Dan aku tidak akan pergi ke mana pun untuk waktu yang lama," janji Shisui. "Hapus air matamu. Kau masih harus mengisi perut setelah menangis dan aku akan memastikan kau tidak akan kelaparan."

"Oh ... pahlawanku," senyum Y/N.

"Aku memang pahlawanmu. Sekarang dan seterusnya," Shisui mencium dahi Y/N lama. "Hanya aku."

Naruto One ShotsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang