Saat membuka mata, hal yang pertama kali kulihat adalah ruangan gelap dengan jendela kecil sebagai ventilasi udara. Tanganku diikat dengan rantai membuat kakiku tidak menyentuh tanah, perutku juga ditahan dengan batangan besi, hal selanjutnya yang kusadari adalah rasa sakit di sekujur tubuhku. Ada sisi tubuhku yang terasa basah dengan darah, ada juga yang setengah mengering. Aku menundukkan kepala, mencoba memeriksa bagian tubuh mana yang masih bersih dari luka, jawabannya adalah tidak ada.
"Ah... kau sudah bangun rupanya. Aku mulai berpikir kalau kau mati karena kehabisan darah."
Aku tidak mengangkat kepala saat pintu besi terbuka bersamaan dengan seseorang masuk. Orang itu berdiri di depanku, ia terkekeh pelan dan memaksa untuk mengangkat kepalaku. Ia tersenyum lebar saat aku menatapnya tajam, enggan berbicara.
"Kau masih saja diam? Tidak ingin bicara atau bertanya?" tanyanya dengan nada meledek.
"Sudah berapa lama aku di sini?" suaraku terdengar serak, membuat tenggorokanku terasa sakit.
"Kenapa? Kau sudah merindukan rumah dan kekasih Kazekagemu, eh? Buatlah dirimu nyaman karena akan tinggal di sini dalam waktu yang lama," orang itu mengakhiri ucapannya dengan tertawa keras. Kalau saja tanganku tidak terikat, tawa itu sudah kuubah menjadi jeritan.
"Nah, sekarang mari kita dengarkan informasi yang hanya seorang ambassador Suna yang tahu. Apa yang membuat Suna menjadi lebih kuat sekarang? Apa yang direncanakan oleh Suna dan Konoha?" ia mengacungkan pedangnya ke arahku.
Mulutku terkatup rapat, tidak ingin mengatakan apapun yang berkaitan dengan rahasia desa pada orang yang menculikku. Yang kulakukan hanyalah menatapnya tajam, tapi ia membalasnya dengan menusuk pedang pada perutku. Aku meringis samar, berusaha agar tidak terdengar olehnya. Aku menyadari kalau ia menghindari titik vital. Tanpa sadar aku menyeringai tipis.
"Kalau kau tahu aku adalah kekasih Kazekage dan ambassador Suna, kenapa masih nekat menculikku?"
"Apa kau tidak tahu kalau kepalamu berharga mahal? Banyak orang yang menginginkanmu, nona. Aku sudah menculikmu, kenapa tidak sekalian saja menyiksamu? Aku melakukan hal yang diinginkan oleh banyak orang."
Aku mendecih, sebegitu di inginkannyakah aku? Aku memang sering mendengar kalau Temari juga menjadi orang yang dicari, tapi mereka tidak bisa menculik Temari seperti yang mereka lakukan padaku. Betapa lemahnya aku, tidak bisa menjaga diriku sendiri dan hampir membuat desa berada dalam bahaya. Kalau saja mendengarkan Temari yang menyuruhku tetap di desa, kalau saja aku mengiyakan permintaan Gaara yang ingin aku tetap di ruangannya, kalau saja...
"Sekarang katakan padaku semua rahasia Suna atau aku akan membunuhmu," ancamnya. Kali ini ia mengacungkan pedangnya di dadaku, mengincar titik paling vital di tubuhku.
"Bunuh saja aku. Suna pasti akan mencarimu saat aku mati, desaku tidak selemah itu, lagipula aku tidak harus mengatakan apapun padamu," ujarku. Ya, lebih baik seperti ini.
Baru saja orang itu akan menghujam pedangnya, suara teriakan terdengar dari luar. Orang itu menggeram keras, sepertinya tidak suka saat-saat menyenangkannya di ganggu. Samar-samar aku mendengar kalimat 'kiri kiri mai' dan setahuku hanya satu orang yang menggunakan jurus itu.
Aku menyadari kalau pasir yang sangat kukenal mulai masuk melewati cela di bawah pintu. Sekali lagi aku menyeringai, saat sosok yang kukenal menghancurkan pintu besi dengan mudah. Penculikku mulai terlihat ketakutan saat Gaara mendekatinya dengan tatapan membunuh. Gaara memenjarakannya dengan pasir, mengabaikan rasa pusing yang mulai menyerang, aku tersenyum meledek padanya.
"Dadah..."
Tepat setelah orang itu mati, Gaara menghampiriku dengan raut wajah khawatir. Ia melepaskan rantai dan batangan besi yang menahan pergerakan tubuhku, lalu memelukku hati-hati, takut ia malah menambah lukaku.
"Gaara," panggilku. Rasa pusing yang kurasakan kini bertambah sampai membuat mataku kehilangan fokusnya.
"Bertahanlah, Y/N. Kita akan kembali dengan pasirku, sampai saat itu kumohon bertahanlah," pinta Gaara. Itulah hal yang terakhir kudengar.
***
Pertama kali yang kusadari saat aku membuka mata adalah ruangan terang. Rasanya seperti deja vu, tapi selain ruangan terang aku juga menyadari sosok Gaara yang duduk di samping tempat tidurku. Ia tidak memperhatikanku, tapi matanya fokus keluar jendela."Gaara," panggilku. Ia langsung mengalihkan pandangannya ke arahku, tangannya membantuku untuk duduk.
"Pelan-pelan, luka yang ada ditubuhmu belum sepenuhnya sembuh, Y/N," kata Gaara mengingatkan.
Aku menundukkan kepala malu untuk bertemu dengannya saat ia tahu kalau aku diculik dan disiksa, untuk seorang shinobi apalagi untukku hal itu sangatlah memalukan. Gaara menangkup pipiku di tangannya, ia mengangkat wajahku perlahan dan hati-hati.
"Aku... aku minta maaf Gaara, aku terlalu ceroboh sampai mereka bisa menangkapku seperti itu, kalau kalian tidak datang aku sudah menyiapkan diriku untuk mati, kau tahu," aku bisa melihat ekspresi khawatir dan sakit di mata Gaara saat aku menatapnya.
Gaara menggelengkan kepalanya pelan. "Jangan. Jangan menyalahkan dirimu, Y/N. Anggap saja kalau kita sedang bernasib buruk dan kurang hati-hati, tapi kalau kau sampai mengorbankan dirimu sendiri untuk mati, aku tidak yakin bisa memaafkan diriku. Aku yang tidak mengawasimu dengan baik, aku yang membiarkanmu pergi."
"Aku tidak ingin membahayakan dirimu," bantahku.
"Dan aku tidak ingin kehilanganmu," timpal Gaara. "Sudah cukup aku merasa sendirian. Kau tidak tahu aku sangat khawatir saat Temari berkata kalau kau ditangkap, saat itu aku merasa kalau masa saat aku sendirian akan terulang lagi. Kau tidak tahu melihatmu di tempat itu dengan bersimbah darah membuatku marah dan panik. Jangan pernah lakukan itu lagi padaku."
"Maaf," kataku, tidak ada yang bisa kulakukan selain minta maaf padanya. "Omong-omong kau jadi lebih banyak bicara, ya?"
"Diamlah, Y/N."
Aku terkekeh pelan saat wajah Gaara memerah samar, ia mencium dahiku lama untuk menyembunyikan rasa malunya. Percayalah, aku sudah berada di sisi Gaara cukup lama untuk tahu kalau ia sedang malu. Aku merebahkan kepalaku di bahunya bersamaan dengan Gaara yang memelukku erat, ia mencium rambutku berkali-kali sebelum menyandarkan kepalanya diatas kepalaku.
"Gaara, hey! Kenapa kau mengunci pintunya?" aku mendengar suara Kankuro yang menggedor pintu kamar.
Aku kembali tersenyum saat menyadari pasir Gaara yang menahan pintu. "Kenapa dikunci?"
"Aku tidak ingin kedua kakakku mengganggu kita. Kau sudah menghilang hampir seminggu lamanya, aku masih ingin menghabiskan waktu bersamamu," ucap Gaara pelan. Ia terlihat tidak senang saat Kankuro menggedor pintu lebih keras.
Hah... manisnya kekasih dinginku ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Naruto One Shots
FanfictionCuma kumpulan dari berbagai karakter yang ada di Naruto. (Request CLOSED)