Hatake Kakashi

10.2K 768 33
                                    

Ternyata bukan hanya aku yang menyadarinya. Rin dan Obito juga menyadari kalau banyak perubahan yang terjadi pada Kakashi sejak ayahnya meninggal. Ia sudah tidak mau bicara pada siapapun dan hanya berbicara tentang misi atau aturan sebagai shinobi, para senior juga kesal pada Kakashi karena sikap superiornya. Rin tidak bisa menembus dinding yang dibuat Kakashi, Obito juga diacuhkan, untungnya Kakashi masih lebih bersahabat padaku.

"Ayolah, Y/N. Satu-satunya orang yang bisa bicara dengan Kakashi tanpa harus mendengar kata-kata kejamnya hanyalah kau," bujuk Obito. Ia ingin aku berbicara dengan Kakashi tentang sikapnya.

"Memangnya apa yang bisa kulakukan? Ia tidak akan mendengarkanku, Obito," balasku.

"Kakashi pasti akan mendengarkanmu, Y/N. Kau adalah orang terdekatnya, tidak mungkin ia akan mengacuhkanmu," timpal Rin.

Memang benar kalau ada orang yang berkata aku adalah orang terdekat Kakashi, tapi itu sebelum ayahnya meninggal. Lagipula, kalau Kakashi peduli padaku itu karena Paman Sakumo pernah bilang saat kami masih kecil kalau Kakashi harus melindungiku karena aku seorang gadis. Aku ragu kalau Kakashi masih ingat dengan kata-kata Paman Sakumo. Di tambah lagi ada perbedaan yang sangat besar diantara kami, Kakashi sudah menjadi chuunin sementara aku masih menjadi murid akademi.

"Kenapa tidak kalian saja yang bicara padanya? Kalian juga temannya, kan?" tanyaku.

Obito mengerang kesal. "Apa kau tidak mendengarkanku? Aku sudah mencoba bicara dengannya, tapi tidak ada hasil. Rin juga mendapatkan hal yang sama. Hanya kau saja yang belum membujuknya untuk berubah menjadi Kakashi yang dulu."

Aku mengangkat tangan mengalah. Tidak mungkin aku bisa menang adu mulut dengan Obito, nama Uchiha yang berada di belakang namanya tidak membuatnya menjadi orang yang tenang dan berkepala dingin. Aku langsung pergi setelah melambaikan tangan pada mereka berdua, tujuanku sekarang adalah mencari laki-laki pembuat onar bermasker dan berambut putih yang melawan gravitasi, aku yakin bisa menemukannya di taman tempat kami bermain dulu.

Benar saja, aku menemukannya sedang berdiri menghadap ke gerbang tempat main kami dulu. Aku tidak tahu bagaimana ekspresinya saat ini, tapi aku bisa menilai kalau ia sedang melamun. Kalau melihatnya seperti ini membuatku teringat dengan rutinitas yang dulu, Paman Sakumo akan menjemputnya, terkadang kami berdua, untuk pulang, mungkinkah Kakashi memikirkan rutinitas itu?

"Yo, Kakashi," sapaku.

"Apa yang kau inginkan, Y/N?" tanya Kakashi. Ia bahkan tidak menoleh dan membalas sapaanku, aku mendengus pelan. Dasar arogan.

"Hanya ingin menyapamu saja, memangnya tidak boleh?" balasku ketus. Rasanya aku tidak bisa bicara dengan nada lembut lagi padanya atau aku yang akan merasa kesal dengan balasan yang kudapatkan.

"Kalau tidak ada yang kau inginkan, lebih baik kau pulang saja, Y/N. Aku tidak ingin repot mengantarkan surat izin sakitmu," ucap Kakashi datar. Matanya masih belum teralih dari gerbang taman.

Aku menggelengkan kepala, berdiri di sampingnya. Kalau aku tidak benar-benar mengenalnya, aku akan memanggilnya orang cuek dan dingin, tapi karena aku sangat mengenalnya, aku bisa mengatakan kalimat datar barusan sebenarnya bernada peduli. Kalau yang berdiri di sampingnya adalah Obito, sudah pasti ia akan cemberut dan mengamuk di depan Kakashi.

"Tenang saja, aku akan mengantar suratku sendiri. Kau tidak perlu khawatir," sahutku.

"Terserah kalau begitu," Kakashi memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celana.

Tiba-tiba aku ingat dengan tujuanku kemari. Bagaimana caranya aku memberitahunya kalau ia sudah berubah tanpa membuatnya kesal padaku atau tiba-tiba pergi? Kuakui kalau ia sangat hebat baik dalam bidang akademik ataupun kemampuan ninjutsunya, jadi besar kemungkinannya kalau ia akan berteleportasi kalau aku membuatnya kesal.

"Apa kau tahu kalau kau sudah sangat berubah sejak kejadian itu?" tanyaku. Rahangnya mengeras, kurasa ia tahu apa yang kumaksud dengan kejadian itu. Kejadian bunuh dirinya Paman Sakumo.

"Semua orang berubah, Y/N. Tidak ada hubungannya dengan kejadian itu. Lagipula, kalau yang kau maksud adalah perubahanku yang ketat pada aturan shinobi, memang seharusnya begitu. Aku tidak ingin berakhir sama seperti ayahku," jawab Kakashi. Ia mengalihkan wajahnya agar tidak menatapku.

Walaupun Kakashi menolak kebenarannya, dalam hati ia memang mengingat kejadian itu dengan sangat jelas. Aku tidak tahu apa bisa bertahan kalau kejadian seperti itu menimpaku. Memang orangtuaku sudah meninggal, tapi mereka meninggal dalam misi dan aku bisa berbangga karena hal itu.

"Tidak semua perubahan itu positif Kakashi. Tidak ada yang bisa mengubahmu sekarang, tapi suatu saat kau pasti akan menyadari kalau tidak semua hal bisa dikaitkan dengan aturan shinobi," ucapku. Aku mulai berjalan meninggalkan Kakashi yang masih bergeming. "Kalau kau membutuhkan seseorang, aku selalu bersamamu. Kau bisa memanggilku kapan saja."

Aku yakin Kakashi akan mengerti maksudku suatu saat nanti. Semoga saja yang membuatnya sadar bukanlah sesuatu yang buruk, karena bagaimana pun juga ia adalah orang yang paling dekat denganku sekarang.
***
"Orang yang melanggar aturan dianggap sampah, tapi mereka yang mengabaikan temannya lebih rendah dari sampah," aku tersenyum mendengar ucapan Kakashi yang sama persis seperti kalimat yang diucapkan Obito saat Rin diculik. Sayang sekali, harapanku tidak terkabul, Kakashi harus menyadari semuanya saat ia kehilangan Obito.

Kakashi menolehkan kepalanya sedikit ke arah tempatku bersembunyi. Aku tidak pernah mencoba menyembunyikan keberadaanku darinya, jadi ia selalu tahu kalau aku sedang memperhatikannya atau hanya kebetulan berada di sekitarnya. Tidak seperti yang lalu, kali ini tim yang akan diajar oleh Kakashi berhasil lulus dari tes yang sama yang digunakan oleh Minato-sensei.

Senyumku melebar saat Kakashi berada tepat di depanku, sementara kagebunshinnya bersama dengan anak muridnya. Tangannya masih menggenggam buku berwarna oranye yang sama sekali tidak pernah ingin kubaca. Tanpa harus melepas maskernya pun aku sudah tahu kalau ia sedang tersenyum kecil.

"Apa yang kau lakukan di sini, Y/N?" tanya Kakashi. Ia membalikkan halaman tanpa memerhatikanku.

"Tidak ada. Hanya melihat seorang guru yang tega membiarkan muridnya berdiri selama berjam-jam tanpa makanan juga membaca buku yang seharusnya tidak diperlihatkan pada anak umur 12 tahun," balasku sarkas. "Aku juga memperhatikan perubahan temanku."

Kakashi menatapku dengan kilat mata jahil. "Hanya teman? Rasanya status itu tidak tepat."

Ia menaruh kedua tangannya tepat di samping kepalaku, tubuhnya yang lebih besar dariku membuatku tidak bisa melarikan diri kemana pun, kalau bisa ia pasti akan langsung mengejarku dan melakukan hal yang sama lagi. Hanya membuang waktu dan tenaga saja.

"Baiklah, baiklah, aku memperhatikan kekasihku, puas senpai?" tanyaku dengan seringaian. Ia tidak suka saat aku memanggilnya dengan titel 'senpai'.

"Jangan panggil aku begitu, Y/N."

"Baiklah, aku menyerah, Kakashi," ucapku sambil mengangkat tangan. "Kau mau ke tempat Rin?"

"Nanti saja," Kakashi menggeleng. Ia menjatuhkan kepalanya di bahuku, biar pun memakai masker, aku masih bisa merasakan hembusan nafasnya di leher. "Terima kasih, Y/N. Kau menepati janjimu untuk bersamaku.

Aku mengalungkan lenganku di lehernya. "Kapanpun, Kakashi. Kapanpun kau membutuhkanku aku akan ada di sana. Sekarang, kita masih harus memberitahu Rin dan Obito tentang hal ini, kan? Cepat sebelum mereka menyadari kalau kau yang bersama mereka hanyalah kagebunshin."

"Memangnya kenapa?"

"Mereka pasti akan bertanya, seperti apa Kakashi-sensei tanpa maskernya dan aku bingung bagaimana menjawabnya."

Untuk gaara-san

Naruto One ShotsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang