Ino memejamkan mata. Menikmati cahaya matahari sore yang menyentuh kulit putihnya. Angin musim semi terasa sejuk di wajahnya, menerbangkan anak rambut yang lepas dari ikatan. Aroma rerumputan dan bunga yang hampir mekar menyapa indra penciumannya, membuatnya menghirup nafas lebih dalam. Bibirnya mengukir senyuman saat menyadari ia harus berterima kasih pada seseorang karena mengajaknya mampir ke tempat ini sebelum pulang.
"Kenapa membawaku ke sini, Sai?" Ino membuka mata dan memperhatikan sosok pucat di sampingnya.
Ia melihat kekasihnya tersenyum khas ke arahnya. "Akhir-akhir ini kau terlihat sibuk dengan pekerjaanmu, jadi kupikir kau harus sedikit bersantai."
Ino tersenyum penuh terima kasih dengan perhatian yang diberikan oleh Sai. Sebelum bertemu dan menjadi kekasihnya, Sai adalah sosok yang datar dan tidak memiliki emosi yang dirasakan oleh kebanyakan orang. Cara bicaranya yang asal dan tanpa pikir panjang selalu membuat orang lain berpikiran buruk padanya. Namun, ketika Sai berkata ia ingin belajar lebih banyak tentang emosi bersamanya, Ino tanpa pikir panjang mengiyakan.
Sudut matanya melihat kekasihnya yang sibuk dengan peralatan melukis. Terkadang Ino sampai menggelengkan kepala melihat Sai yang begitu perhatian pada alat lukisnya. Tapi setidaknya ia memiliki sesuatu untuk menuangkan pikirannya. Toh Ino juga tidak keberatan untuk menemani Sai setiap kali kekasihnya ingin melukis sesuatu. Sai selalu memiliki stok tempat dengan pemandangan indah.
Puas memandangi Sai yang tengah serius menggoreskan kuasnya, Ino kembali memandang langit senja. Warna merah muda dan jingga melebur menjadi warna indah yang menghias langit, awan yang bergerak perlahan menambah keindahan yang ia saksikan. Langit adalah kanvas terbesar yang ia ketahui.
"Kau tahu tempat ini dari mana, Sai? Menemukan tempat secara tidak sengaja bukanlah sifatmu," tanya Ino tanpa mengalihkan pandangan.
"Aku mengetahuinya saat Shin-niisan mengajakku kemari. Ia ingin memperlihatkan pemandangan ini padaku," jawab Sai pelan. "Ia bilang mungkin aku akan butuh tempat menenangkan diri, karena itu ia memperlihatkan tempat ini."
Ino kembali menatap Sai. Kekasihnya masih fokus dengan kertas di hadapannya sampai tidak menyadari tatapan penuh tanda tanya. Dahinya mengernyit ada sepasang mata yang terus mengawasinya.
"Ada apa?"
"Kau bilang kakakmu memperlihatkan tempat ini agar kau bisa menenangkan diri? Apa sekarang kau tengah mencoba untuk menenangkan diri?" Ino menyandarkan punggungnya di batang pohon lalu memeluk lututnya. Tatapannya berubah serius saat Sai tersenyum.
"Tidak. Aku tidak sedang menenangkan diri," Sai menggeleng pelan. "Aku hanya ingin bersantai denganmu. Sudah lama sekali sejak terakhir kali aku bisa melihatmu tanpa ada gangguan."
Wajah Ino menghangat. Ia yakin warna wajahnya sekarang hampir sama dengan siluet langit. Sudah hampir setahun ia menjadi kekasih Sai, namun masih tetap tidak terbiasa dengan ucapan manis nan ringan yang selalu dilontarkan olehnya.
"Kalau hanya ingin bersamaku, tidak perlu pergi sejauh ini, kan? Di kafe atau di apartemenmu seperti biasa saja sudah cukup. Kita hanya akan menghabiskan waktu dalam perjalanan," kata Ino.
Sai mengangguk setuju. "Tapi, dengan menghabiskan waktu di perjalanan artinya aku juga bisa menghabiskan lebih banyak waktu bersamamu, kan?"
Ino sangat yakin wajahnya menyamai kepiting rebus sekarang. Tidak ingin Sai merasa senang karena melihat wajahnya yang memerah, Ino menghampiri kekasihnya dengan langkah menghentak.
"Jangan merayuku terus. Perlihatkan padaku apa yang sudah kaulakukan pada kertas itu setengah jam terakhir," Ino memosisikan dirinya di samping Sai yang berusaha menyembunyikan hasil karyanya.
"Jangan sekarang. Lukisannya belum selesai."
"Aku mau lihatnya sekarang."
Ino tersenyum penuh kemenangan saat Sai perlahan memperlihatkan hasil kerjanya. Ia tidak bisa berkata-kata. Walaupun Sai mengatakan kalau lukisannya belum selesai, namun Ino yakin ia sudah mampu mengatakan bahwa lukisan itu sangat indah.
Bagaimana tidak? Sai mampu menggambarkan langit senja dengan sangat sempurna, melukis sekelilingnya dengan detil yang teliti. Namun, bukan itu yang menjadi fokus Ino setelah beberapa detik melihat lukisan kekasihnya. Sosok yang duduk di bawah pohon dan setengah mendongak itulah yang menjadi fokusnya. Sosok itu terlihat seperti seorang gadis, jelas terlihat dari rambut panjangnya. Matanya terpejam saat angin berhembus ke arahnya dan menerbangkan ujung pakaiannya. Belakangan Ino mengetahui kalau gadis itu adalah dirinya.
"Indah sekali ... aku tidak akan pernah bisa menggambarkan dirimu seindah ini," puji Ino yang masih terpesona dengan lukisan Sai.
"Aku hanya melukis apa yang kulihat. Lukisanku akan terlihat indah kalau yang kulihat juga membuatku terpesona," ucap Sai seraya merangkul bahu Ino.
Tamat sudah. Jantung Ino berdegup dengan sangat kencang, wajahnya menghangat. Sai selalu mampu membuatnya meleleh dengan kalimat sederhana. Ino menyembunyikan wajahnya di dada Sai, tidak ingin kekasihnya itu melihat betapa malu dirinya.
"Bisa ajari aku caranya melukis? Aku juga ingin melukis apa yang kulihat seperti dirimu," gumaman Ino sedikit tidak jelas, namun Sai mengerti apa yang diinginkan kekasihnya.
"Bukankah kau sudah bisa melakukannya? Aku pernah melihat lukisan pemandanganmu sewaktu kecil dulu," ucap Sai mengingatkan Ino pada gambar dua gunung, di antaranya ada matahari terbit serta jalan dan sawah tepat di bawah gunung tersebut.
"Lukisan seperti itu tidak layak untuk dipuji, Sai."
"Baiklah, baiklah ... apapun untuk Cantikku," kata Sai mengalah.
Sai meraih tangan Ino, menuntun gadis itu untuk menorehkan tinta di kertas yang baru. Sesekali melepaskan tangan gadisnya, membiarkan Ino menggerakan pergelangan tangannya sesuka hati. Terkadang Ino menoleh untuk meminta pendapat Sai dan selalu dijawab dengan anggukan kepala pertanda kalau ia menyukai apapun yang Ino lukis.
"Kemampuanku masih belum sebanding denganmu, Sai," kata Ino setelah hasil lukisannya selesai. Ia memutuskan untuk menggambar hal yang sama dengan Sai, minus model perempuannya.
"Tidak masalah. Aku suka kalau kau tidak terlalu hebat melukis," gumam Sai. Ia sibuk membereskan barang-barangnya, sementara Ino masih bergeming.
"Kenapa begitu? Bukankah kalau aku bisa melukis dengan baik, kita berdua bisa meluangkan waktu untuk melukis bersama?" Ino menatap Sai.
Pikirannya terbayang momen romantis ketika keduanya berada di suatu tempat dengan pemandangan yang indah dan mereka melukis bersama. Sesekali Sai memberitahu kalau seharusnya Ino tidak memakai warna tertentu untuk melukis suatu objek. Hampir saja ia memekik memikirkan kemungkinan itu kalau ia bisa melukis dengan baik.
"Tidak juga," Sai tersenyum. "Aku lebih suka dengan kemampuan melukismu sekarang, karena dengan begitu aku bisa terus melukis wajah cantikmu dan memandanginya setiap pagi dari lukisanku."
Maaf ya kalau ceritanya tidak sesuai dengan keinginanmu aisyahmaulia9
By the way guys, buat kalian yang mau request, sekali lagi kubilang kirim request kalian lewat PM... Aku jarang buka komen, dan kecil kmungkinannya bakal kuwujudkan request kalian kalau ditulis dikomen..
Ingat ya sebutkan nama karakter dan garis besar ceritanya..
Omong-omong ada yang kenal dengan Piers Nivans disni? Aku mau bikin imaginenya dia..

KAMU SEDANG MEMBACA
Naruto One Shots
Fiksi PenggemarCuma kumpulan dari berbagai karakter yang ada di Naruto. (Request CLOSED)