Hidan *Modern*

6.1K 520 27
                                        

"Apa sebaiknya tidak menunggu Hidan menjemputmu dulu, Y/N?" tanya Konan.

Aku menggeleng. "Kalau menunggunya, aku bisa sampai rumah saat tengah malam. Sudah ya, aku duluan."

Tanpa mendengar balasan dari Konan, aku melenggang pergi. Kami baru saja menyelesaikan tugas kelompok yang harus dikumpulkan lusa, saking sibuknya aku sampai tidak menyadari kalau hari sudah semakin malam. Konan tidak bisa mengantarku pulang karena mobilnya sedang dipakai. Sementara Hidan, aku yakin ia berada di markas Akatsuki sekarang, tempatnya juga lumayan jauh dari rumah Konan, jadi aku lebih memilih pulang sendiri.

Aku baru ingat kalau Konan pernah berkata jalanan di dekat rumahnya sangatlah berbahaya, banyak penjahat yang berkeliaran saat malam hari. Aku juga menyadari kalau jalanan yang biasa kulewati saat siang ini mendadak terlihat agak menyeramkan. Aku mendecih pelan, kalau hanya seperti ini saja aku tidak takut. Percuma saja aku belajar bela diri kalau aku masih takut dengan gelap.

"Apa yang dilakukan oleh nona manis sepertimu saat malam hari?" enam laki-laki bertampang sangar tiba-tiba mendekatiku. Oh uh..

"Aku ingin pulang, jadi apa kalian bisa minggir?" balasku dengan nada yang kupaksakan sopan. Aku memahami kekuatanku lebih dari orang lain dan aku tahu kalau aku tidak akan sanggup menumbangkan semuanya.

Mereka bersiul mendengar ucapanku, tatapan mereka yang menilaiku dari ujung kaki sampai ujung rambut membuatku risi. Perlahan, mereka mendekatiku dengan seringaian yang tidak pernah ingin kulihat, aku juga tidak ingin membayangkan apa yang sedang mereka pikirkan tentangku.

"Kenapa pulang sekarang, bersenang-senanglah dengan kami dulu," salah satu dari mereka menahan lenganku, tapi langsung kutepis kasar. Kali ini mereka tidak hanya bersiul, tapi menggeram kasar.

"Lebih baik pergi ke neraka daripada bersama dengan kalian," semburku. Mana sudi aku pergi bersama mereka.

Geraman mereka terdengar lebih keras dan kasar dari yang sebelumnya. Salah satu dari mereka mengangkat tangan dan menamparku, telingaku berdenging karena tamparan keras itu. Aku menatap tajam orang yang sudah menamparku dan menendang bagian paling lemahnya, hey cara itu memang kotor, tapi sangat dibutuhkan dalam situasi seperti ini.

"Dasar gadis sialan. Beraninya kau menyerangku, kupastikan kau akan menyesal karena sudah menyerangku," teriak salah satu dari orang itu.

Aku menyeringai tipis. "Aku tidak takut padamu," betapa aku berharap kalau aku menunggu Hidan saja. Bisa dipastikan kalau aku akan kalah dalam pertarungan ini.

"Hanya pecundang yang berani melawan gadis. Dasar bajingan," aku tersenyum lebar saat mendengar suara yang terlalu familiar di telingaku. Ditambah lagi, orang yang menantangku sudah tergeletak di tanah dengan tidak elitnya. Sekilas rambut putih tertangkap mataku, tentu saja aku sangat mengenal orang itu. Siapa lagi kalau bukan Hidan.

Hidan segera menghampiriku saat ia sudah selesai dengan pertarungannya. Nafasnya masih memburu, aku melihat sudut bibirnya membiru dan mengeluarkan darah, begitu juga dengan pelipisnya. Tidak seperti biasanya, ia menggerakan wajahku dengan hati-hati, kurasa bekas tamparan tadi sudah terlihat membiru.

"Kau baik-baik saja?" tanyanya dengan nada sedikit khawatir.

Aku mengangguk. "Bagaimana denganmu? Apa sakit?"

"Tidak terlalu," Hidan menggeleng pelan.

"Omong-omong kenapa kau bisa ada di sini? Bukannya kau bilang ingin bersama anggota Akatsuki yang lain?" aku mengernyit heran saat raut wajah Hidan berubah kesal.
"Memang niat awalku begitu," katanya. "Tapi saat mendapat telpon sialan dari Konan yang bilang kalau kau pulang sendirian lewat jalan sialan ini, aku langsung pergi dari markas sialan itu dan berlari ke sini. Memangnya kau tidak bisa menungguku untuk beberapa menit?"

"Tunggu dulu," selaku. "Kau berlari dari markas saat dapat telepon dari Konan? Kau berlari?"

"Memangnya aku berbicara dengan bahasa Zetsu?" balas Hidan sinis. Ia sedikit meringis saat aku menyentuh pipinya.

"Kau bisa mengutukku sebanyak yang kau mau saat kita pulang, lukamu harus dibersihkan sebelum infeksi," kataku. "Kau bisa jalan, kan?"

Hidan mengangguk. Sepanjang perjalanan, kami tidak saling bicara. Aku terlalu sibuk memikirkan ucapan Hidan, benarkah ia berlari dari markas yang lumayan jauh itu? Kalau dilihat dari nafasnya sih ia tidak berbohong, tapi kenapa ia mau melakukan itu? Maksudku, Hidan yang kukenal adalah orang yang suka mengutuk orang lain, tidak terlalu peduli apapun selain dirinya sendiri dan tidak akan mau direpotkan oleh hal yang kecil. Aku melirik Hidan yang masih terlihat menggerutu dengan nada pelan sampai aku tidak bisa mendengar apa yang ia katakan.

Sampai di rumah, aku menyuruh Hidan untuk duduk di ruang tengah, sementara aku mengambil kotak obat.

"Berhentilah menggerutu Hidan, telingaku sudah terasa panas mendengar gerutuanmu," ucapku.
Ia meringis saat aku membasuh lukanya dengan anti septik. Aku tidak begitu memperhatikan raut wajahnya, tapi ia terlihat menahan ringisannya berkali-kali. Saat Hidan menggenggam tanganku lebih erat, aku mendengus.

"Kalau memang terasa sakit, kau bisa teriak kok."

"Hanya dalam mimpi sialanmu, Y/N. Aku tidak akan terlihat seperti pecundang di depanmu," balas Hidan sinis. Ia menepis tanganku yang sedang mengobati pelipisnya.

Aku menatap matanya tajam. "Dengar, kau sudah menyelamatkanku, yang bisa kulakukan sebagai balasannya adalah mengobati lukamu. Jangan membuatku merasa lebih bersalah."

Hidan menyeringai. "Kau merasa bersalah?"

"Tentu saja bodoh," aku memukul pelan lengannya. "Kau sudah berlari sejauh itu saat Konan menelponmu, kau juga babak belur saat menolongku, jadi tentu saja aku merasa bersalah."

Seringaian Hidan semakin lebar. "Jangan merasa bersalah, aku melakukan semua itu hanya dengan insting saja. Kurasa melindungimu sudah menjadi tugasku."

Hidan menangkup pipiku, memaksaku untuk menatapnya. Ia masih mempertahankan seringaiannya. Hidan menjatuhkan kepalanya di bahuku, bahkan aku masih bisa merasakan seringaiannya di bahuku.

"Tumben sekali kau berkata manis seperti itu," kataku.

"Kenapa? Kau ingin membayar rasa bersalahmu itu, kan, jadi biarkan dulu seperti ini. Kau sudah membuatku khawatir setengah mati, kau juga membuatku harus menghajar para pecundang itu karena sudah menamparmu," gumam Hidan. Ia mencium pipiku yang sudah membiru.

"Baiklah, baiklah, dasar bajingan pemaksa."

"Bajingan sudah menjadi nama tengahku, Y/N."

Aku mendengus, membiarkan Hidan melakukan apa yang ia suka. Tanganku bergerak tanpa sadar mengusap rambut putih Hidan yang terasa basah karena keringat. Ia menggesekkan hidungnya di leherku.

"Lain kali, tunggu aku. Jangan pernah pergi ke mana pun sendirian lagi, oke? Karena aku akan menghajar semua pecundang yang berani menyentuhmu seperti tadi," perintah Hidan.

"Cih, bajingan pemaksa," umpatku.

"Dan aku adalah bajingan pemaksamu, Y/N."

Naruto One ShotsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang