Pein memberiku misi untuk menghabisi mata-mata yang menurutnya sudah tidak berguna lagi. Ia menyuruhku pergi menjalani misi ini bersama dengan Tobi dan Deidara, bukan pasangan yang baik saat menjalankan misi. Ia juga bilang kalau mereka berdua sudah mengetahui misi tersebut dan akan memanggilku kalau sudah siap.
Karena masih banyak waktu sebelum berangkat, aku memutuskan untuk pergi ke kamar Sasori, paling tidak ada yang bisa kulakukan di sana.
"Masuk," aku membuka pintu saat Sasori sudah mengizinkanku.
Seperti biasa, ia sedang membuat boneka di mejanya. Aku mendekat dengan hati-hati karena takut akan mengganggu konsentrasinya. Ia pernah bilang padaku kalau tidak suka diganggu saat sedang membuat boneka. Tanpa menoleh, Sasori menyuruhku untuk duduk di sampingnya.
"Aku butuh bantuanmu untuk meracik racun yang baru, Y/N."
"Tanpa aku pun, kau sudah membuat racun yang sulit untuk ditemukan penawarnya, Sasori," balasku. Tanganku tetap mengambil bahan yang ada diatas meja untuk meracik racunnya.
Aku memang terkenal dengan keahlian untuk meracik racun atau obat, sama seperti Sasori. Terkadang, Sasori memintaku untuk membantunya meracik racun sama seperti sekarang ini untuk boneka yang akan ia gunakan. Hasilnya? Sanggup membuat Hidan menjerit kesakitan selama satu minggu penuh dan membuat Kakuzu memenggal kepalanya, lalu menguburkannya di suatu tempat.
"Untuk boneka barumu?" Sasori mengangguk tanpa suara.
"Kudengar, Pein memberimu misi bersama dengan Tobi dan Deidara," itu bukan pertanyaan, tapi pernyataan. Aku mengangguk pelan.
"Yah, tidak ada yang bisa kulakukan untuk membuat Pein merubah keputusannya," kataku.
"Kapan kalian berangkat?"
"Saat mereka berdua sudah siap."
Aku merasakan ada tangan yang menggenggam erat tanganku. Tangan Sasori. Tangannya yang bebas ia gunakan untuk mengangkat wajahku agar menatapnya. Aku terperangah saat melihat Sasori tersenyum. Bukan hal yang baru untukku, karena saat kami berdua saja Sasori selalu menampakkan senyumnya padaku.
"Jangan membuatku menunggu, Y/N. Kau tahu kalau aku benci menunggu," ia menangkupkan wajahku di tangannya.
Sayang, senyumnya tidak bertahan lama karena Deidara dan Tobi masuk dan meneriakkan kata 'misi' dan 'berangkat' dalam satu kalimat. Dengan sangat terpaksa aku bangkit dan pergi bersama mereka, tapi tepat saat ingin keluar kamar, Sasori menahan lenganku.
"Ingat apa yang kukatakan padamu, Y/N."
"Baiklah," kau tersenyum kearahnya dan melambaikan tangan.
Aku mendecak keras. Mata-mata yang seharusnya kami bunuh, ternyata sudah menyewa beberapa ninja penjahat kelas S untuk menjaganya. Ia bilang, ia sudah tahu kalau Pein akan membunuhnya cepat atau lambat, karena itu ia menyewa mereka.
"Bagaimana? Apa kalian masih bisa membunuhku?"
"Y/N-chan lebih baik kita mundur saja, lalu meminta Hidan-senpai dan Kakuzu-senpai untuk membunuh mereka," kata Tobi dengan suara keras.
"Ah.. aku tidak menyangka kalau anggota Akatsuki ternyata seorang pengecut," seru mata-mata itu. Aku menggeram lemah, tidak suka jika ada yang mengejekku pengecut.
Musuh tinggal dua orang, si penjahat dan si mata-mata. Sayang sekali kalau harus membiarkan mereka berdua bebas, kalau mundur sekarang hanya akan membuat mereka mengumpulkan orang lebih banyak lagi dan akan lebih sulit untuk membunuh mata-mata itu. Aku melirik Deidara dan ia menggelengkan kepala, tidak setuju dengan ide Tobi.
Menilai sisa kekuatanku, Tobi dan Deidara, kami bisa saja menang, tapi mereka malah memanggil bantuan. Aku merasakan keberadaan seseorang di belakang, belum sempat berbalik aku merasakan sesuatu beradu dengan tengkuk dan kepala. Hal terakhir yang kusadari adalah teriakan Tobi dan Deidara sambil berlari menghampiriku.
"Y/N-chan!!"
"Y/N!!"
***
Samar-samar aku mendengar seseorang berbicara. "Bangunlah, bukankah sudah kubilang kalau aku benci menunggu? Jangan tinggalkan aku seperti yang orangtuaku lakukan." atau "Akan kubereskan bocah-bocah itu karena sudah membiarkanmu terluka sampai seperti ini." Aku sangat ingin membuka mata dan mengatakan pada siapapun itu kalau aku baik-baik saja. Tubuhku tidak bisa digerakkan, mataku menolak untuk terbuka, tapi jariku bisa bergerak."Y/N? Kau sadar?"
"Sasori..." tenggorokanku terasa sakit, mungkin karena tidak minum beberapa hari. Saat mataku terbuka, aku tahu kalau yang berbicara dan menggenggam tanganku adalah Sasori. Terlihat dari rambut merah dan mata cokelatnya.
Aku memang sering melihat Sasori berekspresi, tapi ekspresi khawatir ini baru pertama kali kulihat. Rambutnya lebih berantakan dari biasanya, matanya menyipit khawatir, tanganku terasa berkeringat pertanda kalau ia sering menggenggam tanganku. Apa keadaanku separah itu sampai ia tidak meninggalkanku sama sekali? Sebenarnya sudah berapa lama aku pingsan?
"Apa yang terjadi, Sasori?" tanyaku. Ia masih belum melepaskan genggamannya.
"Deiara dan Tobi masuk ke markas dengan banyak luka, kau dipapah Tobi karena tangan Deidara putus. Tobi sendiri tidak terlihat terluka, tapi kau hampir mati dengan luka yang menembus titik vitalmu. Kakuzu harus berkali-kali menjahit lukamu dan aku harus mengeluarkan racun dari tubuhmu. Tiga rusukmu patah, bahu yang tidak pada tempatnya, lengan kanan yang hampir retak dan pergelangan kaki yang terkilir. Sebenarnya apa yang terjadi padamu!?"
Aku meringis pelan saat suara Sasori meninggi di kalimat terakhir. Kucoba untuk melepaskan genggamannya, tapi ia malah tambah mengeratkannya.
"Aku yakin kau sudah mendengarnya dari mereka berdua. Aku tidak ingin mengulang kejadian itu lagi. Lagipula aku baik-baik saja, kau tidak usah khawatir lagi," kataku berusaha menenangkan.
Sasori menghembuskan nafas panjang. "Aku peduli padamu, Y/N. Entah bagaimana caranya, kau bisa membuatku memikirkan orang lain selain diriku sendiri. Kau tahu perasaanku padamu, tapi kenapa kau malah bersikap nekat dan membuatku harus menunggumu sadar?"
Tidak bisa melihat wajah Sasori, aku menundukkan kepala. Ia kembali mengangkat wajahku dan mencium dahiku. "Jangan pernah membuatku menunggu lagi."
Aku memejamkan mata, menikmati momen yang sangat jarang terjadi diantara kami. Sampai sekarang pun aku tidak menyangka kalau Akasuna no Sasori yang terkenal dengan kekejaman dan tidak berperasaan bisa menunjukkan kasih sayangnya padaku. Hanya padaku.
"Hey, Sasori?"
"Hm?"
"Jangan macam-macam pada Tobi dan Deidara, ya? Aku menjadi seperti ini juga karena kesalahanku," pintaku. Sasori selalu 'berbuat' sesuatu pada semua orang yang sudah menyakitiku, bahkan Hidan sendiri pernah menjadi korbannya.
Sasori tersenyum misterius, bukan pertanda yang bagus jika ada yang bertanya padaku. "Kau terlambat, Y/N. Aku yakin Kakuzu sedang mencoba menjahit mereka menjadi utuh lagi."
Aku tercengang mendengar balasan Sasori. Sebagai bukti perkataannya, suara teriakan Tobi dan Deidara, umpatan Kakuzu, juga tawa senang Hidan menggema di seluruh markas Akatsuki. Aku juga mendengar suara Pein yang menyuruh mereka untuk diam. Astaga... ingatkan aku untuk selalu berhati-hati dan tidak pernah membuat Sasori marah padaku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Naruto One Shots
FanfictionCuma kumpulan dari berbagai karakter yang ada di Naruto. (Request CLOSED)