Utakata

5.5K 440 12
                                    

Tatapanku menajam saat melihat seorang gadis pirang menggelayuti pemuda berambut hitam memakai kimono berwarna kebiruan. Aku tahu benar siapa kedua manusia yang dengan berani menunjukkan kemesraannya di hadapanku. Hotaru dan Utakata. Sialnya Utakata sama sekali tidak menolak, malah membalas dengan genggaman tangan yang mengerat. Aku mendecak melihat mereka berdua saling berpandangan dan melemparkan senyum, kedua tanganku terlipat di depan dada sambil mengawasi mereka berdua.

Sedikit orang yang tahu keberadaanku di dunia shinobi ini, hampir tidak ada yang mengenaliku selain Utakata, mantan guru kami dan beberapa petinggi di desa kami dulu. Penyebabnya adalah kemampuanku yang sanggup mengendalikan bijuu, hampir mirip dengan elemen kayu Hashirama-sama hanya saja aku menggunakan es. Desa takut banyak orang yang akan menculik dan memanfaatku untuk mengendalikan bijuu yang ada di desa mereka. Itu juga menjadi salah satu dari sekian banyak alasan kedekatanku dengan Utakata.

"Utakata-shisou, sebaiknya kau bermalam di rumahku bersama dengan kakek malam ini. kudengar angin nanti malam akan terada lebih dingin dari biasanya," ucap Hotaru. Ia memang mengucapkannya dengan nada berbisik, tapi telingaku yang terlatih bisa mendengar suaranya.

"Terima kasih, tapi tidak usah. Sudah ada yang menungguku," balas Utakata. Ia tersenyum tipis saat melihat Hotaru cemberut sedikit, membuatku mendengus pelan.

"Benarkah? Boleh aku bertemu dengannya? Apa ia saudaramu Utakata-shisou?" tanya Hotaru. Gadis itu sengaja memiringkan kepalanya agar terlihat lebih imut. Oke, mungkin penilaianku di sini agak subjektif karena gadis itu sudah mendekati Utakata dalam arti sebenarnya.

Utakata menggeleng pelan dan tersenyum. "Bukan, ia lebih berharga dari itu." mendengar hal itu mau tidak mau membuatku tersenyum tipis, walaupun aku mendengarnya dari atas karena duduk di dahan pohon yang berjarak beberapa meter darinya.

"Maksudnya sahabat dekatmu?" tanya Hotaru lagi.

Utakata tidak menjawab, tapi terkekeh pelan. Ia mengusap kepala gadis itu dengan tatapan yang tidak bisa kujelaskan. Hotaru tersenyum lebar sebagai respon dari perlakuan Utakata. Kalau saja aku tidak mengenal mereka berdua, aku akan berpikiran kalau mereka adalah sepasang kekasih yang sedang kasmaran. Sayangnya, aku tahu lebih baik.

"Pulanglah Hotaru. Kau sendiri yang bilang kalau angin malam ini akan lebih dingin," suruh Utakata. Sekilas, aku melihat raut kekecewaan dari Hotaru, mungkin karena harus berpisah dengan guru yang sangat ia sukai, tapi ia langsung menutupinya dengan senyum lalu bangkit.

"Baiklah, tapi Utakata-shisou juga harus segera pulang ya," ucap Hotaru seraya melambaikan tangannya.

Saat punggung Hotaru sudah tidak terlihat dari tempatnya duduk, Utakata mendongak ke arahku dengan sorot mata yang memintaku untuk turun karena kini hanya tinggal kami berdua saja. Tentu saja, shinobi se kaliber Utakata bisa merasakan keberadaanku yang berniat memata-matai mereka dari jauh tanpa berusaha keras.

"Aku sudah tidak bisa merasakan keberadaan chakra Hotaru di dekat sini. Kau bisa turun sekarang, Y/N, atau kau ingin balonku yang menurunkanmu?" tanya Utakata setengah menyeringai.

Aku mendengus pelan, lalu meloncat turun dan mendarat tepat di sampingnya. Ia menarik tanganku untuk duduk di pangkuannya, aku tidak menolak karena itu adalah hal yang kuinginkan sejak tadi. Walaupun sudah terbiasa dengan lingkungan hutan, tapi duduk selama lebih dari tiga jam di dahan pohon yang kasar bisa membuatku kram dan duduk di pangkuannya bisa mengurangi rasa sakitku.

Kami bertatapan sejenak dalam diam, ia mengernyit samar saat menatapku. Tangannya terangkat untuk menyibakkan rambut yang menutupi wajahku. Mungkin karena tatapanku yang tajam, mungkin karena raut wajahku yang tidak secerah biasanya atau mungkin juga karena kebungkamanku, Utakata menghela nafas pelan.

"Kau kenapa?" tanyanya.

Seketika aku langsung mengingat sikap Hotaru yang terlalu 'mesra' untuk ditujukan pada seorang guru. Utakata terkekeh pelan sambil menatapku dengan sorot geli, seperti ia bisa membaca apa yang sedang kupikirkan sekarang.

"Kau cemburu, eh?"

"Apa? Tidak. Mana mungkin aku cemburu pada bocah ingusan seperti dirinya?" kilahku. Telingaku sampai terasa panas karena perasaanku ketahuan.

"Tidak usah mengelak, Y/N," ujar Utakata lembut. Lagi-lagi ia mengeluarkan tampang jahilnya. "Lagipula Hotaru adalah bocah ingusan yang cantik, kan? Tidak heran kalau kau bisa cemburu padanya."

Aku mendengus kesal. "Ya, karena bocah ingusan itu terlalu cantik sampai kau memperlakukannya dengan sangat-sangat akrab. Melihat kalian membuatku merasa seperti sedang menonton pertunjukkan romantis yang berakhir tragis."

Utakata tertawa mendengar nada sarkasku, tangannya beralih ke tengkukku dan mendekatkan wajahku padanya. Senyumnya yang jarang terlihat, kali ini bisa kulihat dengan sangat jelas. Bahkan angin pun berhembus kencang, memaksa rambut yang biasanya menutupi sebelah matanya kini tersibak. Sial, hanya dengan terlihat memesona seperti ini, ia sudah bisa kumaafkan tanpa berusaha keras.

"Kau tidak perlu cemburu padanya, Y/N. Hotaru hanya muridku dan tidak lebih dari itu. lagipula, seharusnya ia yang cemburu padamu. Hanya kau yang bisa membuatku merasa aman seperti ini, kau juga satu-satunya orang yang menyelamatkanku, kau tahu itu?" ucap Utakata sambil terus memamerkan senyumnya. Ibu jarinya mengusap kedua pipiku dengan lembut.

"Tidak usah merayuku, kau tahu aku tidak sedangkal itu," balasku. "Lebih dari itu, sebaiknya kita mencari tempat untuk malam ini karena bagaimanapun juga ucapan bocah itu benar, malam akan semakin dingin. Di tambah lagi, kalau kita berada di sini terus para ninja pemburu dan shinobi dari desa akan menangkap kita."

Ia sama sekali tidak mengindahkan ucapanku, malah semakin mendekatkan wajahnya ke arahku. Rambutnya yang sudah kembali normal dan menutupi dahinya menggelitik hidungku, dahi kami beradu dan aku bisa merasakan hembusan nafasnya di wajahku. Tatapannya menuju pada satu titik.

"Lupakan saja hal itu dulu. Aku tidak ingin mengingat semua kenangan buruk dengan mengingat status kita yang menjadi ninja pelarian. Aku ingin menghabiskan malam ini dengan mengingat semua memori baik tentang dirimu, Y/N."

Wajahnya semakin dekat dan nafas kami bersatu. Hampir saja bersentuhan kalau kami tidak mendengar jeritan dengan suara familiar yang membuat kami saling menjauhkan wajah. Ternyata, Hotaru berdiri dalam jarak lima meter dan melihat kami dengan pandangan tidak percaya. Tangannya berada di dada seakan telah di bohongi. Tidak kupedulikan wajah syoknya, aku hanya menyeringai.

Satu skor untukku.

Untuk TyasFanesha

Naruto One ShotsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang