42. UUP

74.4K 5K 300
                                    

Farhan membuat gerakan lambat saat menarik tali mukena ke belakang kepala Syera. Bibirnya menahan senyum ketika istrinya itu menatapnya tanpa berkedip, juga tidak menyadari sesuatu. Farhan menyukai moment dimana wajah istrinya tampak menggemaskan ketika memandanginya yang usai wudhu. Entah apa yang membuat wanita berstatus istrinya itu selalu tak berkedip ketika air wudhu di wajahnya menetes ke bawah dengan sendirinya.

Setelah mukena putih dengan renda dipinggirnya melekat sang istri dan menyejukkan hatinya terlepas, Farhan mengelus sekilas pipi ranum istrinya. Lalu memandangi Syera yang masih terdiam menahan gejolak di hati.

"Mas. Bukannya wudhu seseorang itu batal kalau anu ...?" tanya Syera terkesan membeo.

Senyum Farhan teruai. Bibir yang membentuk lengkungan indah itu berlanjut mengeluarkan tawa kecil. Sangat mudah bagi Farhan membuat Syera menjadi linglung oleh perlakuannya. Farhan begitu tahu bahwa dirinya sendirilah kelemahan sang istri.

Dikecupnya pipi kiri Syera singkat lalu berujar, "Iya, karena terlanjur batal, lanjut  nyium aja. Biar nggak sia-sia kalau wudhu lagi."

"Jangan lupa wudhu lagi, Yang!" imbuhnya yang sudah berada di ambang pintu kamar mandi berniat untuk wudhu kembali.

Netra cokelat yang sedari terpaku memandangi wajah suaminya sendiri itu mengerjap tersadar, menggerutu dalam hati lalu mengucap istigfar. Ia melepas mukenanya cepat, lalu mengikuti suaminya yang terdengar ber-wudhu dari kamar mandi.

Usai wudhu lagi, keduanya memantapkan hati untuk saling meng-khusyu'-kan setiap niat dan gerakan salat mereka. Berteman dengan keheningan disepertiga malam, menyeruakkan masalah dalam diri pada sunyinya malam. Semua kedua lakukan atas dasar pengakuan dosa yang keduanya sadari. Tak satupun pasangan itu tahu kapan ajal menjemput, tak pula tahu akan menjadikan surga atau nereka tempat kekal mereka. Tapi, Syera banyak belajar dari suaminya yang selalu menasihatinya untuk tak memikirkan itu.

'Bekal serta kesiapan apa yang telah dilakukan seseorang untuk menemui kematian dengan hati yang lapang dada lah yang perlu disiapkan', adalah salah satu nasihat dari sekian banyak pembelajaran yang diberikan Farhan pada Syera.

Usai mengusap wajahnya usai berdoa, Syera mengulurkan tangan kanannya dan mencium tangan Farhan saat pria itu membalikkan badan dan bertatapan dengannya.

"Nggak ngambek, kan?" tanya Farhan menyibak mukena sang istri untuk mencari jemari  kiri lembut sang istri lalu digenggamnya.

Syera menggeleng, justru ia merasa malu karena usahanya untuk bersikap biasa saja ketika bersama sang suami selalu gagal. Ada saja yang membuatnya terlena ketika berhadapan dengan raga suaminya itu. "Nanti Mas ke pesantren?" tanyanya berusaha melupakan kejadian tadi.

Farhan mengangguk. Menelusuri setiap jengkal wajah istrinya dan menyimpan baik-baik indahnya maha karya Allah yang tak pernah membuatnya bosan ketika ia pandangi.

"Kenapa?" tanya Farhan lembut ketika paham dengan air mimik Syera.

"Pengen ke pesantren juga," jelas Syera.

Selama menikah dengan Farhan, tak sekalipun Syera pernah mengunjungi tempat kerja milik suaminya itu. Ia selalu menolak ketika sang suami mengajaknya. Bukan menolak, lebih tepatnya ia tak mau jika putranya sendirian di rumah ketika usai pulang dari sekolah.

"Boleh," balas Farhan dengan senang hati. Toh, ia akan lebih bersemangat berhadapan dengan setumpuk data para santriwati dam santriwan ketika
ditemani istrinya.

"Kapan-kapan aja deh. Kalau Syera ikut, nanti kasihan Hizam. Hari ini Hizam kan juga masih UN," tutur Syera. Untuk saat ini, Hizam lebih penting dari keinginannya.

Umi untuk PutrakuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang