30. UUP

71K 4K 632
                                    

Liang lahad kecil itu nampak terbuka di salah satu deretan pemakaman. Di kelilingnya terdapat orang-orang yang tengah menantikan acara pengebumian bayi kecil yang telah bernyawa tetapi belum sempat menghirup segarnya udara. Bayi yang dinanti oleh keluarga serta banyak orang itu menyisakan kepedihan yang teramat mendalam. Kesaksian mereka di sepanjang proses pemakaman diiringi tangis yang tak terbendung.

Seorang pria yang tengah menggendong bayi kecil yang dibalut oleh kain putih menatap liang kosong di bawahnya. Ia mengeratkan gendongannya, mengurangi rasa gemetar di tangannya dan juga tak mau melepaskannya. Ia masih ingin menggendong bayi itu lebih lama, ia berharap bisa melihat bayi itu tumbuh berkembang hingga ia bisa mendengar panggilan 'Abi' dari mulutnya. Ia ingin merasakan hari-harinya yang penuh kepenatan disegarkan oleh senyum merekah dari bibir mungilnya dan disambut oleh suara cadel nan imut. Ia ingin, bayi itu semakin mengeratkan keluarga kecilnya. Ia ingin melihat senyum cerah sang istri ketika melihat putri serta putra mereka berlarian di dalam rumah.

Ia menantikan itu. Menantikan suatu kejadian, yang bahkan usai sebelum waktunya.

Farhan menoleh singkat kala seseorang menepuk bahunya. Ia telah terlalu lama berdiam diri hingga lupa dengan tugasnya; memasukkan putrinya ke dalam liang lahad sebagai tempat yang seharusnya belum layak menjadi peristirahatannya.

Farhan menggeleng, mengisyaratkan bahwa ia tak bisa melakukan itu semua. Dalam keinginan lain, berharap bahwa Sang Illahi mengembalikan nyawa putrinya saat ini juga meski itu adalah suatu tindakan yang konyol. Berakhir, abinya pasti yang akan kembali menggantikannya untuk melakukan ini semua.

Seorang pria paruh baya berdiri bersimpuh di sebelah kiri makam, ia menutup telinganya sembari mengumandangkan azan, bergantian dengan ikamah.

Farhan menatap lekat putrinya yang wajahnya begitu mirip sang istri dengan tatapan teduh. Tak percaya, jika kehidupan bayi malang itu harus setragis ini.

Manik tajamnya mendadak buram, ia menatap menatap Lukman yang ingin mengambil alih gendongannya. Farhan merespons dengan gelengan lemah, membuat para pelayat merasa teriris seakan turut merasakan sakitnya berada di posisi seperti itu.

Lukman menatap putranya lekat, memberi isyarat bahwa yang dilakukan Farhan adalah salah dan justru akan membuat langkah putrinya semakin berat. Ia menggendong cucunya dengan sayang kala Farhan menyodorkan gendongannya. Saat gendongan itu berpindah, cairan bening dari netra Farhan lolos begitu saja.

Tangan kanan Farhan meremas bagian pinggang gamis yang dikenakannya, sedang tangan kirinya merayap ke dada dan memukulnya perlahan seolah ada sesuatu yang menyesakkan ruang napasnya. Netranya terfokus pada setiap gerak-gerik Lukman yang meletakkan putrinya di galian liang lahad itu. Hingga Lukman menutupnya setengah menggunakan papan dan disusul oleh orang-orang di sekitar yang menimbunnya dengan tanah, saat itu juga air matanya benar-benar terjun begitu derasnya.

Ujang matanya membidik wanita paruh baya ketua santriwati di pesantrennya yang menyodorkan sekerenjang bunga mawar segar, membuatnya tersadar bahwa sang putri memang nyata bersatu dengan tanah. Ia menerima keranjang itu, lututnya yang terasa lemah bersimpuh di samping makam yang masih terlihat basah. Tangannya yang gemetar mengelus tanah yang telah menyembunyikan jasad putrinya. Setiap gerakannya terasa teramat berat, pikirannya kembali berpusat pada tendangan-tendangan kecil yang selalu ia rasakan di perut sang istri sebagai respons ketika ia selalu berceloteh ria. Umimu baru saja mengandungmu kemarin. Tapi Allah kembali berkehendak lain, batin Farhan menjerit.

Farhan menaburkan bunga mawar segar untuk menutupi tanah yang menutupi putrinya, dengan gerakan perlahan hingga keranjang bunga itu kosong. Saat itu juga, para pelayat langsung melakukan hal yang sama seperti Farhan setelah pria itu beranjak berdiri dan sedikit mundur.

Umi untuk PutrakuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang