Pria itu menghela napas terus-terusan. Beberapa kali bibirnya menggumamkan kalimat istigfar. Netranya tak lepas dari ponselnya yang menampilkan room chat yang tiba-tiba membuatnya merasa terlurut kesal.
Hari ini, hari terakhirnya ia mengisi pengajian di Gorontalo usai. Masih tersisa tiga hari yang memang sengaja disiapkan untuk mereka menikmati alam Gorontalo. Namun, tidak. Sepertinya pria itu akan pulang hari ini juga---jika bisa mendapatkan tiket pesawat dengan cepat.
Sepulang dari tempat pengajian, ia mendapati Aisah yang memang ikut untuk menemani Maulana tengah mengadu padanya tentang sesuatu yang membuat rasa penatnya semakin bertambah. Pun, tentang aduan putranya sembari menangis lewat telepon sebelum ia berangkat dari tempat pengajian tadi pagi.
Ia juga merasakan hal yang sama dengan putranya. Tak tahan dengan sikap wanitanya yang aneh akhir-akhir ini. Selama di sini, ia sama sekali tak mendapati istrinya mengirim pesan padanya, berbeda dengan sebelum-sebelumnya yang ketika ia bekerja, pesan sang istri selalu memenuhi layar ponselnya. Ia juga merasa tak nyaman saat wanitanya itu hanya mengirim pesan seperlunya saja. Jika ia tak bertanya, tak akan dijawab.
Tentang teriakan Aisah yang berterima kasih padanya, padahal Farhan sama sekali tak merasa melakukan apapun. Kemudian, merasa semakin heran kala Maulana menjelaskan alasan istrinya berterima kasih karena telah menjadi donatur di masjid komplek mertuanya yang akan mengadakan pengajian rutin tahunan.
Donatur? Bahkan Farhan baru tahu jika Aisah dan Maulana menyarankan kepada Syera agar dirinya menjadi donatur. Bagaimana bisa istrinya itu mengeluarkan uang 10 juta tanpa meminta izin padanya? Dan dari mana uang itu?
Astagfirullah ....
Sebenarnya ada apa dengan Syera?
Maniknya melirik jam dinding yang menunjukkan pukul 16.00 WITA. Dengan gesit, ia meraih ponselnya dan mencari tiket pewasat yang bisa mengantarkannya hari ini pulang. Ia benar-benar tak bisa menahan diri untuk melihat apa yang terjadi dengan istrinya.
Marah? Tidak. Ia sama sekali tidak marah. Hanya saja merasa khawatir jika istrinya masih memikirkan perihal almarhum putrinya dan juga permasalahan poligami yang telah ia tolak mentah-mentah.
Demi Allah. Farhan tak pernah berdusta tentang perkataannya yang menolak poligami. Tak pernah terbesit sekalipun di hatinya untuk melakukan hal yang sama sekali tak ia sanggupi.
"Assalamu'alaikum. Maulana ...."
"Wa'alaikumsalam. Iya, Habib," jawab Maulana, "ada apa?" lanjutnya bertanya saat melihat raut pias dari temannya.
"Saya pulang hari ini," balas Farhan memberitahu.
Dahi Maulana mengerut, ia menatap wajah temannya yang berdiri di luar kamar penginapannya. "Nggak mau bareng rombongan?" tanyanya.
Farhan menggeleng.
Gerak tubuhnya mengisyaratkan tak tenang dan itu bisa dilihat oleh Maulana. "Habib, tenangkan pikiranmu," peringat Maulana sembari menepuk pundak Farhan yang tengah mengembuskan napas.
Farhan tersenyum, lalu mengangguk. "Terima kasih. Saya ke bandara dulu. Minta tolong sampain ke rombongan kalau saya pulang dulu," ujar Farhan dan diangguki.
"Yakin mau pulang sekarang? Tiket pesawat udah diitung pulang pergi. Sayang kalau pulang sekarang, barengan aja sekalian nikmati alam Gorontalo," kata Maulana mencegah.
"Enggak. Untuk saat ini istri saya lebih penting," tolak Farhan dan diangguki Maulana.
"Saya antar," tawar Maulana dan digelengi Farhan.
"Ya sudah. Saya bilang ke rombongan, sekalian biar dibayar tiket pesawatmu," kata Maulana.
"Tidak. Saya pakai uang saya sendiri. Saya pergi dulu, ya. Sampaikan permintaan maaf saya karena harus pulang dulu," ujar Farhan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Umi untuk Putraku
RomancePART LENGKAP Farhan Ghazali tidak menyangka akan jatuh cinta pada wanita yang baru menginjak usia 21 tahun di umurnya yang sudah berkepala tiga. Ia yang bertemu dengan wanita itu secara tak sengaja membuatnya tak bisa menampik bahwa ia memang jatuh...