Ia berlari dengan napas terengah. Langkahnya semakin lirih hingga hampir terseok. Jantungnya seakan berpacu lebih cepat, keringat mengucur di dahinya. Tak cukup sampai di situ. Sebuah sampul raport berwarna merah yang tergeletak dalam keadaan terbuka di trotoar membuat netranya langsung tertuju pada krumuman orang-orang di tengah jalan yang sedikit jauh dari tempatnya berdiri.
Apa raport itu terpental?
Tubuhnya mendadak lemas bak bubur bayi. Di sisi kekuatannya, ia menggeret kakinya paksa menuju krumunan itu. Membelah krumunan dengan sedikit kesusahan. Jantungnya semakin berdetak kencang, kenangan-kenangan itu bak kaset usang yang diputar menayangkan kejadian tak lagi apik diputar.
Tubuhnya terdiam kaku. Kunci motor yang digenggamnya terjun ke aspal. Niatnya untuk memberikan kunci yang tertinggal di meja kelasnya itu sirna. Bibirnya mengatup bisu, bola matanya seperti dikunci oleh cairan kental berwarna merah yang keluar dari tubuh itu dan memenuhi jalanan raya. Pelupuknya basah tanpa disuruh. Dadanya terasa dipenuhi batu yang menyesakkan.
Rupa meneduhkan itu tergantikan akan luka yang mengerikan, bibir yang selalu memanggilnya dengan sayang kini digantikan oleh cairan kental merah. Sepuluh jari tangannya terlihat mengerikan atas luka gorengan aspal.
Ia tak lagi terbentuk. Kain yang menutupi sedikit robek. Darah bersimpah dimana-mana menimbulkan teriakan histeris orang-orang sekitar.
Mengerikan.
Hanya kata itu yang mampu menggambarkan keadaannya.
Hingga 15 menit, tim yang membawa amabulance dengan tergesa mengangkat dia.
Sosok yang sedari diam menangis dipapah oleh seorang bapak-bapak penjual bakso di area tempat itu.
Brankar yang membawa dia memasuki ambulance tak luput dari sepasang netra yang basah air mata.
Ia duduk di sebelahnya, menatapnya penuh luka serta penyesalan. Diremasnya celananya, menyalurkan rasa gundah di hatinya. Suara sirine ambulance memikik keras ditelinga pengendara jalanan, mengisyaratkan bahwa tengah membawa sosok yang perlu penanganan secepatnya.
Tangannya bergerak lemas. Menurunkan kain yang tersingkap sampai di leher dia hingga kain itu menutupi dadanya. Hingga, bibirnya dengan bergetar memanggil nama itu. "U-umi ...."
****
Semua terjadi secara tak terduga.
Semua kehancuran yang sudah diganti Ilahi, kini kembali menghancurkan hati.
Takdir Allah memang benar terjadi secara tak terduga.
Hari kemarin terasa berlalu cepat. Namun, mesin waktu seakan diputar melambat saat hari ini. Semua terasa sulit.
Kepingan-kepingan piring yang seutuhnya telah kembali dan telah mampu memangku roti, detik ini juga kembali terpecahkan. Kiasan manis dari roti mampu menarik semut untuk menggerogotinya.
Hancur.
Hilang.
Terasa menyakitkan.
Semua terpampang nyata di depan kenyataan. Itu bukan ilusi, bukan juga sebuah kejutan lelucon atau yang diberi nama prank oleh kaum milenial.
Pasang mata di ujung sana menatap kaku brankar yang semakin dekat---bukan menatap brankarnya, tetapi sosok yang di atasnya. Sedang, sosok yang menyaksikan sedari di tempat kejadian memegang sisi brankar turut mendorong seperti yang dilakukan para suster.
Saat tubuh itu melewati mereka. Rasa ketar-ketir berubah menjadi setrum yang menjalar sakit di setiap nadi. Mereka menangis bersama tanpa diberi aba-aba.
KAMU SEDANG MEMBACA
Umi untuk Putraku
RomancePART LENGKAP Farhan Ghazali tidak menyangka akan jatuh cinta pada wanita yang baru menginjak usia 21 tahun di umurnya yang sudah berkepala tiga. Ia yang bertemu dengan wanita itu secara tak sengaja membuatnya tak bisa menampik bahwa ia memang jatuh...