19. UUP

68.9K 5.6K 105
                                    

Pintu bercat putih terbuka lebar. Segerombol keluarga bepakaian muslim tersenyum, menyambut kedatangan sosok yang telah mereka rindukan. Terlihat jelas raut iba serta kasihan di wajah mereka, pasangan suami istri yang berdiri di hadapan mereka teramat memperhatikan.

"Menantuku ...."

Wanita paruh baya itu berjalan mendekati sang menantu, ia bisa melihat senyum tipis di bibir wanita yang dipeluknya. Walau ia tahu, senyum itu hanya kiasan yang jauh dari kata-kata baik di hatinya. Sekuat tenaga, Aminah menahan tangis tak kuasanya. Ia tak mau sang menantu akan menangis. "Umi seneng banget kamu pulang ke sini," katanya tulus.

"Umi menangis?" tanya Syera setelah pelukan keduanya terlepas. Tangan lembutnya mengelus sudut mata sang mertua.

Syera memang bersedih. Hatinya teramat luka, pundaknya seakan dijatuhi beton yang mampu merobohkan segala kekuatan yang senantiasa ia tanamkan dalam hati. Namun, ia tak bisa menyalurkan kesedihan pada orang lain. Ia tak mau orang lain melihat kesedihannya, ia mau terlihat baik-baik saja. Meski, hatinya berkata lain. Syera hanya mau, beban dalam hatinya ia tanggung seorang. Orang lain tak boleh turut merasakan apa yang ia rasakan, sebab kehidupan orang lain bukan hanya memikirkannya saja.

"Syera tidak apa-apa, Umi ...," katanya seolah membaca kegundahan sang mertua.

Setelah kejadian ia merobek surat perceraian yang diberikan sang ayah. Lagi-lagi wanita itu berjuang demi mempertahankan pernikahannya. Sebab, semua masalahnya sang ayah selalu menyudutkan suaminya. Hal itu juga yang membuat Syera rak bisa bertindak lain, kalau pun Farhan mau membantah sang ayah, pria itu tak akan pernah bisa melakukan hal itu. Karena Farhan bukanlah tipe pria yang bisa membantah orang tuanya sendiri, seperti halnya waktu perjodohannya dengan almarhum Laila.

"Syera akan tetap menjadi menantu Umi, istrinya Mas Farhan dan Umi untuk Hizam. Syera janji nggak akan pergi .... Kecuali Mas Farhan yang menyuruh atau atas kehendak Allah."

Aminah menatap manik sang menantu yang terlihat sayu tak seperti dulu. Tatapan luka begitu terpancar. Aminah paham, Syera tengah menahan beban yang berat atas kegagalannya menjadi seorang ibu serta segala yang dideritanya. Dipeluknya erat sang menantu, menyalurkan kehangatan serta penguat bagi wanita yang didekapnya.

"Farhan. Bawa istrimu ke kamar, Nak. Jaga dia, jangan biarkan istrimu sendiri atau sampai kelelahan," tutur Aminah setelah melepas pelukan.

Farhan mengangguk. Menghampiri sang istri dan merangkul pinggang rampingnya dari samping kiri.

"Syera ke atas dulu, ya. Bunda sama ayah kalau mau pulang nanti panggil Syera dulu, ya," pamit Syera berlanjut menatap sang ayah dan bunda.

Kedua pasangan itu berjalan menjauh. Saat itu juga, Ningrum dan Aminah berpelukan erat, menangis tertahan seolah merasakan hal yang menyakitkan yang dialami Syera.

Rasa sakit ketika kehilangan calon buah hati. Meski keduanya belum merasakan, tetapi mereka bisa mengerti betapa sakitnya.

***

Farhan menutup pintu kamar. Setelah mengantar sang istri ke kamar, ia kembali turun mengambil teh hangat untuk kekasih halalnya. Namun, pemandangan pertama yang ia dapati setelah kembali membuat hatinya terpukul. Dalam hati ia teramat penasaran, seberapa besar luka yang dialami sang istri? Hingga nampak tak bisa dijabarkan oleh sang korban? Apa lebih sakit dari yang ia rasakan? Jika iya, Farhan bersumpah akan menghilangkan kesedihan sang istri bagaimana pun caranya.

Umi untuk PutrakuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang