29. UUP

68.3K 5.4K 373
                                    

"A-bi."

Anak itu menatap sosok di dalam sana lewat kaca pemisah. Setelah diantar Eyang Kakungnya ke rumah sakit, ia langsung berlari di tempat wanita yang baru saja menyadarkan dirinya. Tangannya yang bergetar meraba kaca transparan seolah menyuntuh dia.

"Harusnya yang tadi ngambil raport itu nenek."

"Hizam benar-benar tidak melakukan apapun, Abi. Demi Allah."

Suara itu terdengar pilu. Farhan yang notabenenya adalah orang tua dari anak itu, baru pertama kali mendengernya. Farhan tak tahu harus melakukan apa, ia hanya mampu berserah ada Sang Kuasa. Menentang takdir pun tak akan membuat semua baik-baik saja, justru akan membuatnya berdosa. Ia tak ingin menangis, sesuai janjinya terhadap sang istri. Tetapi rasanya sulit, ia tahu menangisi kejadian ini tak akan pernah membuat apa yang ia inginkan kembali.

Semua telah terjadi, bahkan berlalu. Semua sudah terlambat. Tak lagi dapat diulang apalagi diperbaiki.

Setiap tarikan napasnya terasa berat. Sesuatu yang telah menjadi momok ia agungkan dalam setiap sujudnya, berharap Allah melindungi keluarga kecilnya akan segala hal. Tetapi, Allah berkata lain. Dia memilih untuk memberikan kejutan tak terduga yang entah apa itu.

Kaki lemahnya menjajarkan pada tubuh sang putra. Bibirnya terangkat dengan susah payah, tersenyum getir berupaya meyakinkan sang putra bahwa Allah akan memberi kebahagian.

Bukan tanpa alasan Farhan tak turut melampiaskan amarah seperti yang dilakukan Aminah. Sejak tadi, ada hal yang ia rasakan berbeda dalam putranya itu.

Kedua tangan besarnya membingkai pipi Hizam yang telah menjadi genangan air mata. Diusapnya perlahan sembari meniti setiap luka yang semakin menohok hati. Pria itu diam tanpa kata, biasanya istrinya pandai menenangkan dirinya ketika marah atau merasa terluka. Dan kini? Ia harus melakukan hal yang serupa dan terasa berat dilakukannya. 

Farhan membutuhkan Syera. Ia membutuhkan permata hatinya hadir di sisinya.

Setiap jam.

Setiap menit.

Setiap detik.

Farhan butuh Syera untuk menemani hari-harinya.

Usapannya terhenti, bibirnya semakin mengatup mendengar perkataan Hizam yang ia sendiri tak tahu jawabannya.

"Umi Syera nggak akan ninggalin Hizam kan, Abi?"

"Adik nggak akan ninggalin Hizam kan, Abi?"

"Abi, Hizam sayang sama Umi Syera ...."

"Hizam janji nggak akan jadi anak nakal, Hizam janji nggak akan bikin Abi, Umi Laila sama Umi Syera kecewa. Hizam bakal jadi anak yang baik, Abi."

"Umi Syera sama adik nggak akan ninggalin kita kan, Abi?"

"Abi, Hizam janji akan nurutin kemauan Umi Syera pas adik yang ada di perut mau apa-apa."

"Hizam janji bakal jadi kakak yang baik."

Benteng Farhan luruh. Ia tak lagi bisa menahan buliran bening di matanya. Netranya menatap manik tulus Hizam. Dugaannya tak salah, ada sesuatu yang berbeda dalam diri Hizam.

"ABI JAWAB HIZAM!" kata Hizam mengeraskan suara. Bahkan, tangannya menggoyangkan pundak Farhan dengan keras. 

Farhan menggeleng tak kuasa. Ia meraih badan putranya lalu mendekapnya erat, saling menyalurkan rasa remuk dalam diri masing-masing. Hizam menangis segukan, jarinya memukul dada abinya lemah.

"Hizam udah kehilangan Umi, Hizam nggak mau kalau Umi Syera ninggalin Hizam. Abi, katakan, Umi Syera sama adik nggak akan ninggalin kita, kan? Mereka kuat kan, Abi?"

Umi untuk PutrakuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang