44. UUP

70.4K 5.3K 325
                                    

Senyumnya terus merekah. Perut datar tertutup gamis serta khimar di hadapannya lebih menarik dari suara shalawat diiringi beriringan rebana di luar yang sama sekali tak mengusik kegiatannya. Berkali-kali kepalanya mendusel seraya terkekeh ketika rambutnya menyentuh perut uminya yang tertutupi itu.

Semenjak kejadian siang hingga Hizam memakan mie ayam bersama keluarganya, tak henti-henti ia tersenyum bahagia. Hizam yang saat ini tengah mengikuti kegiatan awal sebagai santri rela bolak-balik demi mengikuti serangkaian acara dan bertemu dengan umi serta calon adiknya.

Malam ini, Hizam memutuskan untuk mengurung uminya di kamar karena tak mau uminya merasakan angin malam jika turut hadir dalam acara di pesantren. Hizam memilih memisahkan diri dari teman-teman barunya yang tengah mendengar ceramah dan berkenalan ria di laur sana. Anak itu terlihat begitu girang saat tahu bahwa Allah kembali memberikannya adik kecil yang akan hadir menggantikan adiknya---Aida, sampai Hizam tak mau jika berjauh-jauhan dengan sang umi.

Syera yang mengelus surai putranya hanya terkekeh melihat tingkah Hizam yang menjadikan pahanya sebagai bantalan dan beberapa kali merasakan kecupan dari sang putra di perutnya.

“Umi, sejak kapan adik ada di sini,” tanya Hizam sembari mengecup perut Syera lalu beralih menatap wajah uminya yang lebih tinggi darinya.

“Seminggu lalu,” balas Syera tersenyum manis.

“Hizam kok nggak dikasih tau,” protes Hizam cemberut.

Syera terkekeh. Ia menundukkan kepala dan mengecup dahi sang putra sayang, lalu kembali duduk tegap. “Kata Abimu biar jadi kejutan,” balasnya.

Hizam terdiam. Meski kesal mengetahui fakta itu, ia tetap bahagia karena Allah mengabulkan doanya. Kembali ditatapnya perut datar Syera dengan senyum merekah lalu berkara, "Abang sayang sama adik." Hizam tersenyum manis, melingkarkan kedua tangannya di pinggang Syera dan memeluknya erat.

"Umi," panggil Hizam tanpa mengubah posisinya.

“Kalau Umi ngidam, mintanya sama Hizam aja, ya,” pinta Hizam membuat Syera tertawa kecil.

“Emang kamu mau menuhin?” tanya Syera berniat menggoda.

Hizam mengurai pelukan, menatap uminya yang sedang menaik-turunkan alis dengan raut tersenyum. “Mau dong! Apa sih yang enggak buat adik,” balas Hizam tegas dan antusias.
Syera tak banyak menganggapi, tangannya terus mengelus surai Hizam yang tanpa sadar membuat sang empu merasakan kantuk. Syera tak menyangka jika akan putrnya akan sebahagia ini. Sebuah keinginan terbesarnya dulu saat mengandung alharhumah putrinya.

“Kalau ngantuk tidur, Nak,” peringat Syera memandangi putranya yang mengucek mata.

Hizam menggeleng cepat. Melebarkan mata menyanggah perkataan sang umi. “Hizam nggak ngantuk. Tadi ke sini kan karena alasan mau nemenin Umi. Kalau Hizam tidur namanya Umi yang nemenin Hizam. Hizam bisa ditendang sama abi kalau nggak amanah,” ujar Hizam sembari menekan-nekan perut uminya lembut dengan mulut yang menguap, spontan Syera langsung menutup mulut Hizam dan terkekeh.

Setelah mengatakan itu, mata anak itu nyatanya justru tertutup, Hizam membuat gerakan mendusel dan semakin mengeratkan pelukannya. Menambah rasa nyeri di paha Syera yang telah lama dijadikan bantalan sang putra.

“Katanya nggak ngantuk,” gumam Syera membelai rambut putranya dengan sayang agar segara terlelap.
Wajahnya yang telah berubah seiring berjalannya waktu, memperlihatkan bahwa Hizam memiliki banyak kemiripan dengan sang abi. Terutama dibagian alis dan hidung. Dengan sayang, Syera mendekatkan bibirnya untuk mengecup dahi sang putra, hingga Hizam bergerak merasa terusik tetapi tak melepas pelukannya. Anak itu tertidur dengan tampang yang tenang, dan nyaman. Saat itu juga, Syera menyudahi kegiatannya dan kembali menulusuri wajah Hizam.

Umi untuk PutrakuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang