47. UUP

65.2K 4.1K 572
                                    

"Sayang, jangan merem. Buka matanya ...."

"Ayo tatap Mas!"

Dari sekian banyak permintaan Farhan, tak satu pun dipenuhi Syera. Wanita itu asyik memejamkan mata dengan sesekali mengeluarkan ringisan. Ia berbaring dengan posisi kepala miring ke kiri. Tangan kanannya yang terpasang infus mencengkeram pinggiran brankar dengan kuat, sedang satunya menggenggam tangan sang suami. Wajah pucatnya menambah rasa cemas bagi Farhan, apalagi wanita itu enggan membuka mata sedari tadi.

"Allah ...!" rintih Syera semakin mencengkeram genggaman tangan Farhan, perutnya yang teramat nyeri membuat pinggangnya spontan sedikit terangkat ke atas.

Dengan kelopak mata yang masih tertutup, Syera menggeleng keras tak kuasa menahan rasa sakit yang menusuk hingga ulu hatinya itu. Genggamannya pada sang suami ia longgarkan secara paksa, tangannya bergerak membentuk kepalan lalu memukul-mukul lemah samping badannya kemudian beralih memukul pelipisnya pelan.

"Sayang ...," tegur Farhan berbisik tepat di telinga Syera.

Pria itu mendekatkan kursi yang ia duduki dengan brankar. Meraih kembali tangan sang istri dan memberinya elusan. Setelahnya, Farhan mencondongkan badannya hingga bibirnya menyentuh tepat ubun-ubun Syera. Ia memejamkan mata, melafalkan doa untuk sang istri dan meminta kelancaran lahirnya buah hati mereka.

Farhan tak tahu harus melakukan apa agar sang istri tak merasa kesakitan dan bagaimana caranya agar ia bisa merasakan sakit yang Syera rasakan sekarang. Hatinya cukup sakit tiap kali mendengar erangan serta rintihan yang keluar dari bibir istrinya. Ditambah wajah Syera yang tidak tertutupi nikab menampilkan raut pucat beserta genangan air mata yang begitu jelas.

Sekelebat, Farhan sempat berpikir apakah almarhumah istrinya dahulu juga merasakan hal yang sama seperti Syera saat ini? Lalu bagaimana perasaan Laila dahulu ketika ia tak mendampinginya?

Hari ini, tepat sembilan bulan kehamilan Syera. Sejak kemarin malam wanita itu telah merasakan sesuatu yang aneh pada perutnya. Puncaknya, ia merasakan kontraksi tepat di pukul 00.15 WIB dini hari.

"Istigfar, Yang," tutur Farhan mengecup dahi Syera lama, kemudian membiarkan dahinya menyatu dengan dahi sang istri.

"Sa-kit, Mas," rintih Syera.

Air mata Farhan berhasil luruh mendengar kalimat pengakuan Syera untuk pertama kalinya selama lima jam di dalam ruang persalinan.

"Iya, Sayang. Mas tau, meski Mas nggak tau rasa aslinya kayak apa. Tangannya jangan dibuat mukul-mukul ya, nanti tanganmu sakit. Cakar leher Mas aja, cakar yang kuat." Farhan menjauhkan dahinya dan bergerak mengalungkan tangan Syera pada lehernya. Menatap lekat wajah pucat sang istri dengan rasa tak tega.

"Mas minta maaf. Maaf, Mas nggak bisa gantiin rasa sakitnya. Maaf ...." Diusapnya pipi Syera dengan lembut seraya meminta agar wanitanya itu membuka mata. Mengeluarkan kata semangat serta kalimat penuh keyakinan, hingga salah satu suster yang berjaga di ruang persalinan mengatakan sesuatu. "Pembukaan 10. Siap-siap ya, Bu Syera. Sebentar lagi dokter akan ke mari," katanya lembut dan sopan.

Syera mengerang kesakitan. Tangannya yang mengalung pada leher Farhan mencengkeram kuat tanpa disadari. Sontak, Farhan meringis merasakan panas beserta rasa nyeri yang bersamaan datang.

Seorang dokter perempuan berhijab yang baru datang langsung berdiri di bawah brankar sembari memakai sapu tangan karet. Beliau menundukkan kepala tepat di belahan kaki Syera setelah meminta izin pada sang empu untuk membantu mengeluarkan bayinya.

Umi untuk PutrakuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang