Lorong koridor ICU yang sepi membuat ketegangan dua belah pihak keluarga yang tengah menunggu sosok di dalam sana berkali-kali membuang napas gusar.
Sedari sampai di rumah sakit, tak ada satu pun yang mau mengeluarkan suara di antara mereka. Mereka hanya membisu dan menikmati segala luka yang datang secara tiba-tiba itu.
Ayah dari wanita di dalam sana hanya duduk bersandar tembok dengan sesekali mengelus pucuk khimar sang istri yang didekapnya serta tak henti menangis sedari tadi. Tatapan kosong Burhan tersirat begitu nyata. Tatapan menyesali sesuatu.
Farhan menunduk dengan menumpu kepalanya menggunakan tangan, mengucap istigfar berharap pikirannya bisa tenang. Sesekali ia juga merasakan tepukan di punggungnya karena ulah sang abi.
Sudah terhitung dua jam ia berdiam diri dengan perasaan kalang kabut. Ayah mertuanya yang terlihat tersulut emosi seolah membuat tenggorokannya tercekat untuk mengeluarkan suara. Ditambah tangis luka sang bunda mertua di dekap ayah yang tak berhenti menangis sedari di rumah tadi.
Berkali-kali Farhan menyalahkan segala kecerobohannya. Bisa-bisanya ia percaya begitu saja jika Hizam tak akan melukai istrinya. Ia juga terlalu bodoh sebab percaya dengan setiap pertanyaan sang istri yang menyimpan banyak luka di dalamnya.
'Kamu membuat abi merasa gagal mendidikmu, Hizam ....'
Pria itu menangis dalam hati. Ia pikir, putranya akan selalu mendengarkan serta menerapkan setiap nasihatnya yang selalu ia utarakan sedari Hizam masih kecil. Dan sekarang? Farhan tak tahu harus menjabarkan yang diperbuat putranya.
Segerombol suster berpakaian hijau keluar berbondong dari ICU. Membuat orang-orang yang menunggu bangkit dari duduknya dan menunggu Sang Dokter yang baru melangkah keluar.
"Dokter, apa yang terjadi dengan putri saya?" tanya Burhan khawatir.
Dokter berhijab itu terdiam sesaat, seakan tengah merangkai kata-kata yang pas untuk didengar. "Bu Syera kritis ...," katanya.
Ningrum yang berdiri di dekat kursi terduduk begitu saja. Maniknya telah buram oleh air mata. Ditatapnya dinding bercat putih di depannya dengan kosong, sembari menyimak perkataan Dokter yang menangani putrinya.
Farhan? Pria itu bak personil mumi baru. Tubuhnya mendadak lemas bagai bubur bayi.
"Saya perlu menjelaskan banyak hal. Mari ikut saya," kata Dokter itu sopan lalu berjalan mendahului keluarga pasiennya.
Mereka semua menurut. Berjalan mengekor di belakang Dokter.
Burhan dan Ningrum duduk di hadapan Dokter yang hanya terhalang oleh meja. Sedangkan Lukman, Farhan dan Faris berdiri di belakangnya.
Mereka terdiam. Menatap Sang Dokter yang tengah menatap kertas di dalam map yang baru diserahkan oleh seorang suster.
Telinga mereka terus mendengar setiap penggalan kalimat yang terucap dari mulut Dokter.
Hingga kursi yang diduduki Burhan berdecit kala Sang Dokter tak lagi mengatakan apapun, dengan Ningrum yang terus tersendu di dekapan sang suami.
Burhan berdiri di sebelah menantunya. Mengatakan sesuatu dengan raut yang dingin serta menatap depan kosong. "Saya akan membawa putri saya pulang ke rumah saya setelah dia pulih. Saya tidak sudi menyerahkan permata kesayangan saya pada pria tak bertanggung jawab sepertimu. Saya salah telah memberimu kepercayaan."
***
Pria berkoko putih itu bersimpuh di hadapan seorang anak laki-laki yang bersolonjor di atas tempat tidur. Menggenggam erat tangan anaknya yang digunakan untuk menarik khimar istrinya tadi siang. Hatinya teramat nyeri kala merasa salah dalam mendidik anaknya. Otaknya selalu berusaha mengingat apakah pernah ia mengajari anaknya kekerasan? Namun, ia sama sekali tak menemukan hal aneh dalam mendidik putrnya. Tapi? Mengapa seperti ini?
KAMU SEDANG MEMBACA
Umi untuk Putraku
RomancePART LENGKAP Farhan Ghazali tidak menyangka akan jatuh cinta pada wanita yang baru menginjak usia 21 tahun di umurnya yang sudah berkepala tiga. Ia yang bertemu dengan wanita itu secara tak sengaja membuatnya tak bisa menampik bahwa ia memang jatuh...