32. UUP

67.3K 4.7K 104
                                    

Plafon atap seakan menjadi pemandangan yang lebih menarik ditatap dibanding dengan benda disekitarnya. Pandangan wanita itu kosong tak berarah meresahkan banyak orang. Setelah ia siuman, dirinya begitu sukar diajak berbicara. Hanya satu dua kata saja yang keluar dari mulutnya bahkan ia menggunakan gerakan kepala berupa anggukan atau gelengan yang menjadi caranya merespon perkataan orang lain.

Semua sangat berbeda dengan adanya kehadiran bocah SD kelas 6. Dirinya bagai listrik yang mampu mengahantarkan energi pada sang umi sambung, anak itu bisa dengan mudah mendapat senyum manis dari bibir Syera. Berbanding jauh ketika anggota keluarga lainnya yang kesusahan mencari celah untuk bisa mengeluarkan suara wanita itu.

Atensi ketiga orang itu serempak menatap arah pintu yang baru saja dibuka. Seorang anak laki-laki berseragam merah putih dengan tas hitam pembelian umi sambungnya bergelayat di punggungnya, bi belakangnya ada Burhan yang menjemput cucunya itu. Senyumnya merekah manis; lebih tepatnya sengaja dipentukkan pada umi sambungnya

"Assalamu'alaikum," salam Hizam.

"Wa'alaikumsalam," balas orang di dalam ruangan serempak.

"Kok masih pakai seragam?" tanya Syera lembut, sembari membuat gerakan tangan agar Hizam lebih mendekat padanya.

"Eemm ... iya, tadi pagi sebelum berangkat sekolah minta tolong sama nenek biar dibawain baju ganti ke sini yang banyak, hihi," balas Hizam senang sembari menikmati hangatnya usapan lembut di pucuk surainya.

"Kenapa gitu? Hmm ...," tanya Syera lagi.

"Nggak mau ke rumah kalau nggak ada Umi Syera," ucap Hizam sembari menarik tangan kanan Syera yang dililit oleh infus agar kembali mengelus surainya lagi saat Syera menghentikan aktivitasnya.

"Lain kali, selagi bisa melakukan sendiri, lakukan sendiri. Hizam kan bisa pulang dulu ke rumah, nanti ke sini lagi temuin Umi," nasihat Syera penuh kelembutan, " ganti baju dulu gih, trus makan siang," lanjutnya dan diangguki Hizam.

Hening. Semua orang kembali hanyut dipikirannya, sedang Hizam terus tersenyum bahagia bisa melihatnya uminya dengan sedikit mengabaikan perkataan Syera yang telah ia angguki.

Kuasa Allah memang indah luar biasa. Semua terjadi begitu saja tanpa diduga. Namun, itu dulu. Dulu sekali, saat hati Hizam menggelap penuh asumsi buruk tentang definisi 'ibu tiri' yang jahat persis peran dalam sinetron. Sungguh membawa dampak negatif bagi anak usia dibawah umur untuk ditonton. Kini, sesuatu yang dulu ia benci kini justru menjadikannya mampu berjanji untuk umi sambungnya itu.

"Hizam sayang sekali sama Umi." Sudah tak terhitung berapa kali anak laki-laki itu mengatakan hal yang serupa. Ia seolah tak akan bosan mengutarakan perasaannya saat ini. Semenjak ia mengeluarkan sapaan 'umi' secara perdana di hadapan Syera.

Manik Syera tak berpindah dari anaknya itu. Dari caranya menatap, pikirannya seolah beralih pada Hizam yang telah memberi ruang di hatinya. Selama di rumah sakit, Hizam selalu menceritakan banyak hal tentang aktivitasnya pada Syera tanpa diminta, persis seperti kegiatan Syera yang selalu bertanya padanya tentang aktivitas di sekolah Hizam kala anak itu belum menyadari perasaannya.

Mendapat teguran dari sang umi lagi, anak laki-laki itu tersenyum kikuk sembari menggaruk lehernya yang tak gatal secara reflek, kemudian mendorong kursi ke belakang dan mendekati neneknya yang duduk di sebelah Farhan untuk mengambil pakaian santainya lalu beringsut pergi ke kamar mandi.

Senyum indah mengurai di bibir pucat Syera, jika saja tangannya sedang tak diinfus pasti rerumputan hitam milik putranya itu tak tertata secara rapi lagi. Bukan hal yang menyedihkan jika melihat putranya yang selalu memperlakukannya kasar itu kini telah memberinya ruang bagaimana rasanya menjadi seorang ibu.

Umi untuk PutrakuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang