38. UUP

60.7K 4.6K 208
                                    

"Nggak mau lihat ke balkon?"

Syera mengalihkan kegiatannya yang memandang isi apartement,  membalikkan badan dan menatap sang suami yang tersenyum manis padanya. Lalu mengangguk gembira dengan mata yang berbinar. "Tapi ditemenin sama Mas," pintanya dan diangguki Farhan dengan senang hati.

Farhan beranjak dari tempat duduknya, lalu menarik tangan Syera lembut dan membuka pintu penghubung balkon. Mata Syera mengerjap, kedua tangannya menutup mulutnya yang terbuka tanda terkejut.

Bangunan pencakar langit yang biasanya ia lihat lewat internet kini dapat dilihatnya dengan mata telanjang. Ketika pandangannya penatap bawah, bangunan Ka'bah berdiri kokoh di tengah-tengah menjadi pemandangan yang menghangatkan hatinya. Beberapa kali bibirnya mengucap 'MasyaAllah' dengan perasaan bergetar, seraya meneguhkan hatinya bahwa ia tak bermimpi.

Betapa kagumnya Syera melihat pemandangan di hadapannya. Netranya dengan antusias bergerilya menyusuri penjuru gedung pencakar langit yang biasa ia lihat di gambar saja. Sampai ia tak sadar kalau ada mata yang sedari tapi mengucap syukur karena melihat aura gembira yang terpancar darinya.

Usai puas dengan bangunan kubus yang dilihatnya, Syera menatap suaminya dan langsung memeluk tubuh kokoh itu seraya mengucap terima kasih. Kepalanya mendongak, menandang wajah Farhan yang lebih tinggi darinya dan memperlihatkan maniknya yang berkaca, merasa bingung harus melakukan apa untuk membalas kebaikan suaminya. "Suatu saat kita akan ke sana," turut Farhan mengelus pucuk khimar Syera dengan lembut.

"Selama seminggu, Mas bakal nganterian kamu ke tempat-tempat yang ingin kamu datangi," imbuh Farhan, membuat Syera kembali memeluknya erat.

"Sekarang, kamu mandi trus istrahat. Biar nanti malam, kamu bisa liat bintang di atas Ka'bah," perintah Farhan dan diangguki Syera.

"Dan Mas ... mau puas-puasin manja sama kamu selama di sini. Kalau udah di rumah kan pasti ada Hizam yang rusuh," lanjutnya terkekeh geli.

Mendengar nama sang putra, Syera melonggarkan pelukan dan menatap Farhan sejenak lalu memasuki apartement. Farhan yang melihat kekhawatiran istrinya pun mengekor dari belakang. "Ada apa, Yang?" tanya Farhan sembari menatap sang istri yang menggeledah tas slempangnya.

"Ngabarin orang rumah kalau kita udah sampai," balas Syera. Netranya melotot kala ponselnya baru menyala dan menampilkan oanggilan seera pesan masuk di layarnya yang penuh dengan nama putranya.

50 panggilan tak terjawab.
250 pesan baru.

Syera: Wa'alaikumsalam. Maaf ya, Nak. Umi baru membalas. Alhamdulillah, Umi sama Abi udah nyampe di Jeddah.

"Hizam kelihatan sayang banget ya sama kamu," tutur Farhan sembari mengintip room chat putranya di ponsel Syera yang sangat banyak.

Farhan tersenyum tipis melihat kehawatiran yang tercetak jelas di wajah istrinya. Ia menggeser badannya agar lebih mendekat dan memulai pembicaraan yang selama ini belum diketahui istrinya. "Mas itu nggak pernah deket loh sama Hizam," katanya, berhasil mengalihkan perhatian Syera pada ponsel dan melupakan niatnya yang akan membersihkan badan.

Farhan mengangguk membenarkan. "Mas nikah sama Laila setelah sarjana. Usai menikah, Mas bawa Laila ke rumah yang udah Mas siapain, sebulan setelahnya dia hamil. Tapi selama Laila hamil, Mas ada di sini. Meneruskan S2 dan S3 di sini, Mas tinggal di apartement ini. Mas pulang ke Indo setelah Hizam lahir, Hizam lahir pun bukan Mas yang meng-azani, tapi abinya Laila."

Syera merubah duduknya menjadi lebih dekat dengan Farhan saat tertarik mendengarkan kisah yang diceritakan suaminya. "Hizam umur sebulan, Mas ke sini lagi. Sampai Laila meninggal ...." Farhan tersenyum manis pada istrinya. Ingatannya menerawang bagaimana dulu ia mengacuhkan putranya itu.

Umi untuk PutrakuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang