48. UUP

67.4K 5.8K 331
                                    

Hizam menyangga dagunya dengan kedua tangannya yang menumpuk di pinggiran box bayi. Memandang adik gembulnya yang terlelap tanpa merasa sesak karena badan kecilnya yang dililit oleh bedongan.

Sesekali tangannya menyusuri jengkal iras sang adik yang menggemaskan. Mulai dari mata, hidung, pipi, hingga dagu. Kadang, Hizam juga memegang tangan adiknya yang terlihat bergerak di dalam bedongan. Menenangkan sang adik ketika anak kecil itu mulai memberi tanda-tanda akan menangis.

Memandang lekat wajah polos kemerah-merahan sang adik dengan mata terkantuk. Di saat orang tua serta uti dan kakungnya terlelap, Hizam memilih duduk sebelah box bayi yang diletakkan sedikit jauh dari brankar tempat uminya berbaring. Hanya dentingan jam yang berputar tanpa lelah dan tanpa perintah itu yang menemani Hizam dalam kesunyian malam.

Hizam membuka mata lebar ketika mendengar suara lembut uminya mengudara.

"Tidur, Nak." Seperti biasa, Syera akan terbangun dengan sendirinya di pukul dua dini hari. Waktu yang ia gunakan untuk persiapan alat salat bersama sang suami guna menunaikan Salat Sunnah Tahajut. Kadang pula, Farhan memberinya kajian tentang  banyak hal kepada Syera setelahnya, hingga waktu menjelang subuh.

Ketika terbangun, pandangan yang ia tatap pertama kali adalah bayangan orang duduk yang memenuhi dinding sebelah kirinya dan ternyata adalah bayangan putranya.

Hizam beranjak berdiri dengan membawa kursi yang ia duduki, berjalan mendekati sang umi dan duduk di sebelah kiri brankar berseberangan dengan abinya yang tidur dengan posisi duduk sedang kepalanya berada di atas tangannya yang terlipat.

Anak itu merebahkan kepalanya dan berbantalkan tangan, menatap wajah Syera yang tak tertutupi niqab dengan menahan kantuk. Syera yang melihat itu pun terkekeh geli, dengan perasaan sedikit heran kenapa putranya berjaga seperti ini. "Hizam mau puasin liat adik, Mi," tutur Hizam lirih dengan mata terpejam, seakan tahu apa yang dipikirkan Syera.

"Hizam balik ke pesantren lagi kalau Umi juga pulang ke rumah. Artinya pagi nanti Hizam harus ke pesantren." Hizam kembali berkata dengan mata terpejam.

"Abi ngasih cuti berapa hari, Bang?" Dahi Syera mengerut bingung.

Hizam menggeleng, lalu bergerak mendekatkan kepalanya pada lengan Syera. "Abi bilang, Hizam ke pesantren kalau Umi udah dibolehin pulang ke rumah."

"Sekarang Abang Salat Tahajut, habis itu tidur. Nanti pagi Umi yang bilang sama abi biar nambahin massa cuti Abang," tutur Syera lembut dengan membelai rambut Hizam yang telah kembali lebat.

***

"Mas, Hizam cuti berapa hari?"

Bibir Farhan yang mengalunkan shalawat untuk putri yang digendongnya kini terdiam dan beralih menatap istri tercintanya. "Sepekan, Yang. Ada apa?"

"Bohong," sahut Syera tak suka.

Farhan terkekeh mendengar suara sang istri yang menurutnya menggemaskan itu. Ditaruhnya bayi yang ia gendong di pangkuan Syera lalu menjawil hidung mungil sang istri yang tertutupi niqab. "Kamu tanya, Mas jawab. Malah dituduh bohong. Trus Mas harus jawab apa?" ujarnya tersenyum gemas.

"Syera serius, Mas. Hizam bilang dia balik kalau Syera juga balik ke rumah. Berarti hari ini dia ke pesantren, dong," jelas Syera dengan suara pelan agar tak mengusik ketenangan putrinya.

"Mas juga serius, Yang. Hizam balik ke pesantren setelah Aila aqiqahan. Kamu kayak nggak tau aja gimana kelakuan Mas kalau sama Hizam," ujar Farhan tertawa kecil.

"Jahil," timpal Syera turut tertawa.

"Sebelum Syera bangunin Mas buat tahajut tadi abang namatin Aila terus loh, Mas. Katanya dia takut kangen kalau udah di pesantren."

Umi untuk PutrakuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang