"Kalau pakai bantal satu pusing, berarti darah kamu rendah," seloroh Syera. Wanita itu dengan sayang mengelus surai legam putranya. Keringat yang membasahi dahi Hizam telah kering dan berpindah pada telapak tangan Syera.
Saat membuatkan teh hangat untuk sang putra, Syera sempat menelepon bundanya dan bertanya apa yang harus dilakukannya saat Hizam pusing. Saat itu juga, Ningrum memberi tahu agar sang putri mengetahui penyebab pusing sang putra. Ningrum menyarankan untuk menidurkan Hizam dengan satu bantal, dan jika dirasa pusing kemungkinan darahnya rendah, dan sebaliknya.
Senyum Syera beradu dengan rasa khawatirnya. Sedikit merasa bingung harus melakukan apa, tetapi perkataan sang bunda di telepon tadi terngiang jelas di benaknya.
Tenang, jangan terlalu panik.
Tangannya memijat pelipis Hizam pelan, berharap bisa mengurangi rasa pusing sang anak. Setetes buliran bening keluar dari kelopak Hizam yang tertutup, tangan kirinya bergerak meremas rerumputan hitam legamnya. Tingkahnya menimbulkan panik di hati Syera, bahkan tanpa sadar ia turut menangis.
"Nak, buka matamu," pinta Syera dengan nada pias.
Syera merubah posisi duduknya menjadi selonjoran, lalu mengangkat kepala Hizam dan meletakkan di pahanya. Kedua tangannya terus memijat pelipis Hizam, sesekali ia menghapus air mata sang putra dan menatap nyeri raut kesakitan Hizam.
"Sa-kit," lirih Hizam semakin menangis.
"Sakit banget? Tahan ya, Nak. Abi akan bawa obat untukmu nanti," ujar Syera tanpa henti memijat pelan pelipis Syera.
Rasa sakit itu perlahan pudar. Digantikan dengan perasaan yang sedikit sulit dirasakan. Persis seseorang yang tengah bimbing ketika dicintai orang lain. Perasaan tak menentu. Setiap usapan yang ia rasakan, bagai setrum yang menjalar disetiap nadinya. Ditambah rasa khawatir wanita di sebelahnya yang mendapat arti sesuatu di hatinya.
Netranya perlahan meredup, memperlihatkan kelopak mata tenangnya. Menikmati setiap usapan yang seakan ia inginkan? Atau rindukan? Rasa itu beda, berada di dekatnya, seakan memberinya tempat nyaman yang selama ini ia ingin rasakan.
Hizam mengakui. Mendapat elusan serta berbaring di paha istri abinya mampu melupakan segala yang ia rasakan. Wanita di sebelahnya, seolah meyakinkan betapa tulus menyayanginya.
Embusan napas lega keluar, Syera sedikit menjadi tenang kala Hizam menutup netranya damai. Namun, tetap saja rasa itu pasti akan menyakitkan anaknya lagi. Tanpa memikirkan rasa pegal karena terus-terusan memijat pelipis Hizam, sesekali ia memanfaatkan momen menelusuri pahatan indah di wajah Hizam yang hampir mirip dengan sang suami.
Dengan menatap wajah anak laki-laki itu sedekat ini, Syera bisa menyimpulkan banyak hal tentang putra sambungnya. Meski Hizam terlahir dari keluarga berada, pasti rasa kekurangan kasih sangat tanggal dalam dirinya. Kakek, nenek, abinya walaupun berusaha keras selalu memperhatikan dirinya, tak akan mampu dengan rasa kesepian dalam benaknya.
Syera sedikit tahu tentang menjadi anak yang hidup sebagai broken home
bukan karena ia pernah dalam posisi itu, tetapi dulu ia serta rekan remaja masjid sering kali mengunjungi pantasi asuhan ditambah ia pernah terjun dalam dunia psikologi. Di panti asuhan, Syera tak jarang bertanya tentang banyak mengenai masalah setiap anak di sana. Termasuk, rasa seorang anak ketika ditinggal sang ibu di usia belia.Mereka kesepian, merasa kurang beruntung dengan anak yang lain, kebutuhan materi mereka kurang, mereka merasa tak ada sosok malaikat yang berada di sebelahnya. Hidup mereka hampa; setidaknya itulah yang mampu menjabarkan semuanya.
Syera bertekad, tak akan pernah gentar menemani putranya. Ia mau, putra sambungnya selalu bergantung padanya, hingga tak akan pernah ada kata benci dari dalam Hizam.
KAMU SEDANG MEMBACA
Umi untuk Putraku
RomantizmPART LENGKAP Farhan Ghazali tidak menyangka akan jatuh cinta pada wanita yang baru menginjak usia 21 tahun di umurnya yang sudah berkepala tiga. Ia yang bertemu dengan wanita itu secara tak sengaja membuatnya tak bisa menampik bahwa ia memang jatuh...