31. UUP

67.7K 5.3K 195
                                    

Manik tajam nan redup itu tak bosan menatap lekat objek yang terbaring di atas brankar. Suara monitor jantung tak lepas memenuhi gendang telinganya. Entah sudah berapa minggu berlalu setelah ia mengunjungi makam putrinya yang bersebelahan dengan makam Laila bersama keluarga besarnya, hari-harinya mulai terasa tak berarah. Setiap detik, menit, jam, hanya ia gunakan untuk duduk di dalam ruangan sunyi menatap sosok wanita pucat permata hatinya yang entah kapan akan terbangun dari tidur panjangnya.

Ditatapnya wajah yang terpejam tetapi kapan saja bisa mengeluarkan ekspresi berbeda-beda. Dari pengakuan Dokter, istrinya sempat mengeluarkan air mata tepat di hari pemakaman sang putri. Entah apa yang terjadi, wanitanya seolah dapat merasakan segala hal yang terjadi saat itu.

Kelopak matanya yang enggan terbuka tak hayal menciptakan kesedihan yang mendalam bagi sang suami. Farhan bahkan rela membuang waktunya demi menemani kegiatan istrinya yang masih saja terpejam tanpa merasa bosan sekali pun. Setelah kematin putrinya, ia menjadi lebih dekat dengan Hizam. Padahal, Farhan hampir tak pernah berkomunikasi dengan anaknya saja, tapi bukan berarti ia tak mendidik anaknya atau bahkan tak menyayangi Hizam.

Tak ada yang tahu kapan Syera akan terbangun dari komanya, yang pasti tak seorang pun akan kuasa mendengar suara monitor detak jantung yang kapan saja terdengar berubah-ubah.

Farhan mengelus punggung tangan istrinya yang terpasang infus. Pertama kali menatap istrinya yang dalam keadaan seperti ini, ia merasa menjadi suami yang tak bisa menjaga permata ayah mertua yang selalu dilindungi dengan baik.

"Kamu masih betah tidur, ya? Padahal kamu sering ngambek kalo Mas sering tidur lama."

"Apa sekarang Mas harus ngambek juga, Yang? Biar kamu cepet bangun. Kamu kan nggak bisa kalau liat Mas marah."

"Udah 2 minggu kamu berhasil bikin Mas ngomong terus, biasanya kan kamu yang selalu cerewet. Kok tega sih biarin suaminya ngomong sendiri."

"Bangun, Yang .... Jenggotnya Mas udah mulai panjang loh, ayo cukurin. Mas kangen liat wajah serius kamu pas nyukur jenggot Mas."

"Hari ini istrinya Mas harus bangun. Kamu udah bikin banyak orang sedih, Yang."

"Hizam udah sayang sama kamu loh, ayo bangun!"

Farhan memejamkan mata sejenak sembari mengembuskan napas gusar, ia memberhentikan elusannya pada jemari Syera yang terdapat banyak luka akibat goresan aspal yang telah mengering. Tangannya bergerak menopang dagunya, netranya membidik wajah istrinya yang hampir dipenuhi luka yang telah mengering. Jujur, luka itu sedikit mengerikan untuk dilihat, bahkan mampu menutupi iras cantik Syera. Namun, bukan berarti Farhan tak menyukai itu, buktinya rasa rindu dalam dadanya pada wanitu itu menggebu begitu dalamnya.

Lama memandangi sang istri, setetes cairan bening membentuk bulatan di atas sprai  brankar yang saat itu juga, lamunan Farhan membuyar. Setiap lekuk paras Syera seakan menyimpan banyak bunga-bunga yang memabukkan untuk Farhan. Dahi Syera yang lebar selalu ia jadikan tempat menggesekkan keningnya, hidung mungil yang selalu menjadi tempat paling menggemaskan untuk dijawil, pipi ranumnya yang menenggelamkan hidungnya yang selalu memposona untuk dikecup, bibir merah tanpa polesan itu selalu mengecurut lucu ketika sang empu merajuk.

Farhan menyukai semua hal dalam diri Syera, tak terkecuali. Ia merindukan masa-masa mengajari istri mudanya mengaji, bahkan menuruti Syera yang mau diajari dari membaca Iqra. Ia merindukan celoteh istrinya sebelum tidur yang selalu menceritakan kegiatannya seharian, tanpa mengadu akan tingkah putranya yang selalu menyakitinya. Ia merindukan tiap kali membuka mata di pagi hari disuguhkan dengan wajah polos sang istri yang masih terlelap dan anehnya bibir tipis Syera selalu menyungging manis, berbeda dengan adiknya---Sasa, yang selalu membuat pulau dibantalnya.

Umi untuk PutrakuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang