part 9.

1.1K 81 0
                                    


Aqila melirik jam dipergelangan tangannya, menunjukan pukul empat lebih, ia kembali melihat ke arah lampu merah didepannya dengan wajah gusar.

"Kalem si kak." Ujar Fahmi, melihat kakaknya lewat kaca spion yang menampilkan wajah gusar.

"Ini udah telat bang."

"Mau gimana lagi, tuh bentar lagi juga warna hijau." Dan benar saja, sekitar sepuluh detik setelah itu, lampu merah itu berubah warna, membuat semua kendaraan yang berhenti jadi melajukan kembali.

Aqila turun dari motor adiknya setelah sampai di kafe tempat ia mengerjakan tugas kelompok dengan teman-temannya, setelah menyerahkan helm ia bercermin sebentar untuk sekedar membenarkan jilbabnya.

"Ngapain kamu ikut turun?" Aqila bertanya, saat melihat adiknya ikut turun dari motornya.

"Ya mau masuk lah, ngafe." Ucap Fahmi seraya menaik turunkan alisnya.

"Emang punya uang?" Aqila bertanya ragu.

"Wah .. ngehina ni." Aqila berdecak.

"Serius deh bang, ini kakak buru buru."

"Dih? Siapa yang nahan coba." Ucap Fahmi sambil mulai melangkah. "Udah ayok." Mau tak mau Aqila mengikuti adiknya berjalan.

"Tapi beneran bang, kakak gak bawa uang lebih buat kamu."

"Ck. Gampang, tinggal cuci piring aja." Mata Aqila melotot menatap adik di sampingnya. "Heh!" Ucap Aqila sambil mencubit lengan adiknya.

"Ssht kak sakit." Fahmi mengusap tangan yang kena cubitan. "Udah kakak sana deh, tuh udah di tungguin." Fahmi menunjukan meja yang sudah ada beberapa orang disana, ia tau itu karna tadi ketika masuk kumpulan orang di meja dekat jendela itu menunjuk ke arah kakaknya, seakan memberi tahu yang lain orang yang ditunggu telah datang.

"Iya iya, awas ya kamu kalo buat malu."

"Buset, emang gue gimana anjir sampe bisa bikin malu." Ucap Fahmi saat kakaknya mulai melangkah menjauh.

"Sorry ya, telat."

"Iya gak papa." Ucap Nindy salah satu teman kelompoknya. "Yaudah yuk kita mulai aja, bagi bagi dulu ya." Ucapan nindy dibalas anggukan oleh yang lain.

"Lan lo gak buru buru kan?"

"Gue si enggak, bentar tanya temen gue dulu." Ujar Fadlan karna ia kesini dengan salah satu sahabatnya.

"Raf, lo gak buru buru kan?" Tanya Fadlan pada Rafli yang sedang bermain game.

"Kagak, santai." Setelah mengucap itu ia menyempatkan melirik lawan bicaranya. Bertepatan dengan itu, tatapannya beradu dengan manik mata milik Aqila yang kebetulan duduk tepat di depannya.

Aqila yang lebih dulu tersadar, buru-buru kembali mengalihkan pandangannya. Tadi, ia sempat terkejut mendengar suara laki-laki yang ia rasa tak asing di pendengarannya.

Selama kegiatan kerja kelompoknya berlangsung, Aqila tak terlalu fokus, akibatnya ia harus berkali-kali memastikan hasil kerja. Entahlah, meskipun pandangannya pokus pada kertas juga laptop.

Tapi, entah itu perasaannya saja atau memang kenyataan, hanya saja ia merasa, sedang di perhatikan oleh orang didepannya, meskipun saat ia melihat kearahnya, orang didepannya masih pokus bermain game online alias tak sedang melihat ke arahnya. Aqila sampai menggelengkan kepalanya beberapa kali, untungnya teman-temannya sedang fokus pada kegiatan masing-masing.

"Kak."

"Eh, iya?" Tanya Aqila berusaha tenang.

Saat ditengah pekerjaannya, adiknya tiba-tiba menghampirinya, membuat Aqila menggerutu dalam hati, padahal tadi ia sudah bilang kalo dirinya tak membawa uang lebih, ada sih tapi kan ia harus bayar makanannya.

"Masih lama gak?" Aqila melirik pekerjaanya yang ia rasa masih lama.

"Masih kayaknya." Lalu tatapannya beralih pada Nindy. "Ya kan nin?"

Nindy yang memang memperhatikan, seketika mengangguk, "Iya, belum makan makan juga."

Fahmi mengangguk mengerti, ia menatap laki-laki yang duduk besebrangan dengan kakaknya, yang ternyata sedang menatapnya juga. Ia langsung kembali mengalihkan pandangan. "Yaudah gue balik dulu ya." Fahmi mengusap kepala dan mencubit pipi kakaknya sebelum benar-benar pergi.

Aqila memberenggut. "Ngeselin." Gerutunya seraya mengusap pipi yang dicubit adiknya.

"Adikmu manis yaa." Sara teman kelompoknya yang ia ketahui berasal dari surabaya, berbicara sambil tersenyum.

Aqila balas tersenyum sambil menggelengkan kepalanya. "Ngeselin mah iya."

Mereka kemudian kembali mengerjakan tugasnya, sampai jam pukul setengah enam mereka bisa menyelesaikan tugas.

Nindy melirik jam dipergelangan tangan. "Masih ada setengah jam lagi nih sebelum magrib, makan makan dulu lah ya."

"Yah, aku gak bawa uang lebih." Ucap Sara, sebagai anak rantau ya memang mengharuskannya untuk bisa berhemat.

"Tenang, kan ada Fadlan. Ya gak lan." Nindy menaik turunkan alisnya pada Fadlan, sedangkan laki-laki itu mendengus. "Terserah deh."

Nindy tertawa pelan, sepertinya mereka cukup akrab, apalagi ketika Nindy memberi tahu bahwa cafe yang mereka tempati juga milik orang tua Fadlan.

Mereka berbincang-bincang membahas tentang perkuliahan sambil menunggu pesanan datang, ya kecuali Rafli yang tak berniat ikut dalam obrolan.

"Lo bukannya pernah jadi anggota BEM ya?" Fadlan bertanya pada Aqila.

"Iya, cuma satu semester si."

"Kenapa?" Nindy bertanya mewakili yang lain.

"Ayah sama bunda gak kasih ijin, khawatir karna pulangnya malem terus."

"Bego, namanya kegiatan kaya gitu ya wajar lah, ngapain ikutan kaya gitu kalo peraturannya gak boleh keluar malem." Tak sadar Rafli yang sejak tadi diam, menimpal.

"Lebih bener diem dah lo, ngomong juga malah nyakitin orang aja."

"Lah, emang omongan gue salah?"

"Ya lo bisa baik baik ngomongnya, gak usah nyolot." Ucap Fadlan geram, melihat kelakuan sahabat sekaligus sepupunya itu. Bertepatan Fadlan mengucapkan itu, waitress datang membawa pesanan mereka.

Sedangkan Rafli mendengus, ia juga tak tau kalo berhadapan dengan perempuan yang pernah menjatuhkan motornya itu pasti bawaannya pengen marah-marah. Ia melihat kearah Aqila, perempuan itu nampak biasa aja melibat ke arah hidangan didepannya, nampak menganggap omongannya bukan sesuatu yang penting, walaupun memang gak penting si.

■■■
Tbc!
9jan2021

Line Of Destiny [On Going]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang