Aqila berjalan tak tentu arah, jam menunjukan pukul sembilan pagi. Pagi pagi sekali moodnya tak menentu, ditambah datang bulan perasaannya jadi lebih sensitif sehingga tadi ketika keadaan rumah tak bisa dikatakan baik membuatnya ingin keluar rumah untuk mencari ketenangan.
Sebenarnya bukan masalah besar, hanya saja ketika tadi ia tengah beres beres rumah sedang ibunya pergi ke pasar ia diamanahkan untuk membereskan rumah, tapi adik adik menyebalkannya tak ada yang mau membantunya, adik pertamanya--fahmi malah mengajak zihni untuk bermain ps dan bukan hanya itu adik pertamanya mengacaukan yang tengah ia perbuat alhasil setelah ibunya dirumah keadaan rumah masih berantakan dan yang kena omelan pun dirinya walaupun ia sudah mengatakan itu perbuatan fahmi.
Ia memberhentikan langkahnya duduk di kursi taman, tak ada yang ia lakukan selain berdiam diri melihat remaja seumurannya atau masih sma tengah berolah raga, wajar saja karna ini hari weekend.
Setelah cukup lama berdiam diri, ia memilih beranjak ke warung nasi padang yang ada disana untungnya tadi ia membawa dompet soal ponsel tak masalah ia tak membawa.
Setelah memesan menunya ia menyapu pandangannya, sampai jatuh pada satu meja yang masih kosong. Tempatnya kala itu cukup ramai tapi untungnya masih ada kursi untuk sekitar empat orang lagi yang kosong.
Setelah duduk ia mengetuk ngetuk jarinya di meja karna bosan, sambil melihat suasana luar karna kebetulan tempatnya duduk itu berada di pinggir. Sampai suara adu mulut seseorang cukup mengusiknya.
"Aduh mi dibungkus aja deh."
"Enggak, umi maunya disini."
"Mii mending dirumah, sama ayah juga masa ditinggal dirumah sendiri si, lagian tempatnya udah penuh juga." Aqila mengalihkan pandangannya keasal suara yang ternyata masih berdiri bersama si ibu penjual.
Saat itu juga alisnya terangkat melihat laki laki yang ia kenal bersama dengan wanita berumur kisaran ibunya.
Aqila lihat wanita paruh baya itu menyapu pandangan, sampai matanya bersitatap dengan iris hitam legam aqila. Wanita dengan khimar panjang itu tersenyum mungkin melihat kursi kosong di samping dan depan aqila yang belum terisi.
"Ada tuh masih ada buat kita duduk yuk ah." Wanita itu mengajak putranya--rafli ke arah meja tempat aqila. "Dianter kesitu ya mba." Pesannya pada si penjual dibalas acungan jempol.
Aqila melihat rafli melebarkan matanya saat melihat dirinya. Sampai akhirnya suara ibunya meminta izin untuk duduk disana.
"Assalamualaikum dek? Boleh duduk disini?"
Aqila tersenyum sopan. "Waalaikumsalam, boleh bu duduk aja." Ibu rafli tersenyum dan duduk didepan aqila dan menyuruh rafli duduk disampingnya.
"Oh iya kenalin ibu julia, dan ini anak ibu, rafli." Aqila menjabat tangan itu sambil mengangguk, ia menjawab. "Aku aqila bu." Dan menangkup tangan saat dengan rafli.
"Orang udah kenal juga." Gumam rafli yang masih bisa didengar oleh kedua perempuan itu.
Ibunya sontak melebarkan mata. "Ohh udah kenal? Kenapa gak bilang kalo gitu?" Aqila meringis.
"Sebenernya kenal cuma satu kampus dan satu fakultas juga si tante." Ujar aqila dibarengi dengan senyum kakunya.
"Ohh cuma itu ..." Ibu rafli mengangguk anggukan kepalanya dan melihat ke arah rafli dengan tatapan jenakanya.
"Apaan deh mi." Ujar rafli dibarengi dengusan sebal.
"Dih orang umi cuma ngeliat doang, emang salah?" Rafli sudah membuka mulut untuk membalas ucapan ibunya tapi kembali mengatup karna pesanan mereka datang.
"Udah tuh makan, tadi aja merenyeng merenyeng minta makan kaya gak dikasih makan seminggu aja."
"Ya kan emang rafli belum sarapan, rafli bangun tidur udah diseret kepasar aja."
Ibu rafli mendelik menatap anaknya membuat sang empu kicep mengatupkan bibirnya kedalam. "Gak ikhlas kamu?!"
"Ikhlas mi." Jawab rafli terdengar pelan.
Sedangkan aqila hanya tersenyum sesekali terkekeh melihat drama anak dan ibu didepannya.
Selama makan, keadaan mereka tak hening, ibu rafli terus memulai topik mengobrol dengan aqila. Ibunya rafli memang cukup friendly menurut aqila.
"Kalo kamu dikampus ikutan organisasi apa?"
"Gak ikut apa apa tante, gak dibolehin sama papa."
Ibu rafli mengangguk. "Iya si takutnya mungkin kecapean sama tugas kuliahnya terbengkalai gitu, enggak kaya ini ni." Ibu rafli menunjuk anaknya dengan lirikan mata. "Gak ikut organisasi apa apa tugas masih aja gak dikerjain, pantes gak lulus lulus."
"Apaan si mi telat satu semester juga."
"Ah tetep aja emang umi gak tau kelakuan kamu dikampus kaya apa?!"
"Astag- mii kan rafli udah berubah sekarang, gak nginep nginep lagi juga."
Dan drama ibu anak ini sepertinya tak ada habisnya.
□□□
"Kamu pulangnya sama siapa?" Tanya ibu rafli, saat ketiganya sudah diluar.
"Naik taksi tante atau jalan, lumayan deket juga kok."
"Sama kita aja yuk, sekalian juga kan." Rafli memutar bola matanya mendengar penuturan sang ibu.
"Ah gak usah tante."
"Gak papa ayok, ya kan bang? Tuh rafli juga gak keberatan." Rafli melotot mendengar itu kalo saja wanita ini bukan ibunya sudah ia keluarkan sumpah serapah yang ada dihatinya sayangnya ia hanya bisa berteriak protes dalam hati.
SIAPA YANG GAK KEBERATAN?!
Setelah aqila menyetujui, ibu rafli pun mengajaknya beranjak menuju mobilnya meninggalkan rafli yang misah misuh ditempat.
Rafli memberhentikan mobilnya dirumah bercat abu abu milik aqila, tadi dijalan ketika ibunya menanyakan alamat aqila ia pura pura tak tau karna jika ia mengatakan ia tau rumah cewek itu urusannya pasti akan panjang. Untungnya aqila pun nampak mengerti.
"Makasih ya tante, eh atau mau mampir dulu sebentar?" Ujar aqila sebelum benar benar keluar, sebenarnya ia sudah pengen pergi cuma kan gak sopan juga.
"Ah gak usah, lain waktu aja ya."
"Oh yaudah kalo gitu, sekali lagi makasih ya tante ... rafli." Ucap aqila dengan mengecilkan sedikit kata 'rafli' tapi masih bisa didengar oleh keduanya.
Rafli yang melihat melalui kaca spion mengangguk, sedangkan ibunya mengucap sama sama.
Setelah aqila keluar, aqila tak langsung masuk karna mempersilahkan mobil rafli melaju terlebih dulu.
Setelah mobil melaju terdengar suara bunyi klakson dari sana, aqila tebak rafli dipaksa menyembunyikan klaskon atas perintah ibunya jadilah bunyinya telat, yang seharusnya menyembunyikan klakson sebelum melaju karna tanda pamit, ini malah melaju dulu kemudian menyembunyikan klakson, aqila hanya menggelengkan kepalanya tak heran.
■■■
Tbc!
KAMU SEDANG MEMBACA
Line Of Destiny [On Going]
General FictionAqila hanya seorang mahasiswa semester lima, yang menjalani kehidupan perkuliahannya tanpa keluhan, hidupnya monoton, teman-teman menyebutnya mahasiswa kupu-kupu. Pergi kuliah dan pulang tidak mengikuti satupun organisasi di kampusnya, sesekali ber...