"Selamat ya ta," Aqila menyerahkan buket bunga dan paper bag yang di pegangnya. Sinta menerimanya dengan senang hati."Thanks ya la akhirnya kita bisa wisuda bareng juga."
Kedua wanita itu akhirnya bisa tersenyum lega karena bebannya sedikit terangkat.
"Yaelahh enak banget ya lu berdua udah mau sidang. Gue sendiri ni yang masih sibuk revisi." Ajeng mengerucut bibir sebal, karena hanya dirinya yang masih sibuk revisi, belum ada tanda-tanda di wisuda atau sidang kapan. Tapi walaupun begitu ia tetap senang melihat dua kawannya sebentar lagi akan wisuda.
Aqila dan Sinta menyeringai melihat wajah sebal Ajeng. "Semangat dong, lo entar kloter abis kita ni wisudanya." ujar Sinta seraya merangkul pundaknya. Aqila mengangguk menyetujui.
"Tar biar dibantu Sinta tu revisinya."
"Yeu koplak, makin banyak revisi tu yang ada," Sinta nampak protes dengan selorohan Aqila padanya.
"Eh minggir dulu minggir pangeran datang." Ajeng menarik tangan Aqila untuk sedikit menyingkir menjauh dari Sinta, Ketika dilihatnya seorang laki-laki dengan kemeja biru muda berjalan kearah mereka dengan buket bunga besar ditangannya.
Tatapan keduanya sama-sama menggoda kearah Sinta yang nampak tersenyum malu dengan pipi bersemu merah. Melihat pujaan hatinya yang saat itu terlihat lebih tampan dengan tampilan lebih rapi dari biasanya.
"Kapan ya gue kaya gitu," Ajeng bergumam. Memandang iri pada pasangan itu. Sinta yang setahu mereka cukup bar-bar itu malah berubah jadi perempuan jaim nan malu-malu ketika berhadapan dengan pujaan hatinya.
Aqila menepuk pelan pundak sahabatnya untuk menyemangati."Nanti juga ada waktunya,"
Ajeng melirik sebelahnya, lantas mendesis, "Lo berdua beruntung di waktu kaya gini ada support sistemnya, lah gue malah jadi korban ghosting. Asem banget."
"Lagian aku juga gak di kasih surprise kaya gitu pas sidang kemarin," Aqila mengingatkan ketika Minggu lalu sidangnya selesai, tak ada kejutan apa-apa yang didapat seperti Sinta saat ini.
"Iya juga, kenapa ya? Padahal KKN nya udah beres kan?"
Aqila mengangguk, dengan mengidikan bahu ia menjawab dengan suara pelan, tapi masih bisa di dengar Ajeng di sebelahnya,"Sibuk kayanya."
Ajeng meringis prihatin melihat raut sahabatnya yang berubah murung.
******
Aqila tak se-naif itu untuk tak mengerti perasaan yang ia rasakan pada lawan jenis. Meskipun ia tak begitu berpengalaman dalam hal percintaan tapi bukan berarti Aqila tak pernah merasakannya.
Aqila pernah jatuh cinta sebelumnya, cinta pertamanya bahkan ketika dirinya masih di bangku kelas dua SMP walaupun tak sampai pacaran, saat itu ia hanya menyimpan perasaannya diam-diam atau istilahnya secret admirer. Lalu ketika di bangku SMA, ia menaruh perasaan pada salah satu kakak kelasnya, bahkan saat itu mereka sempat berpacaran tak lagi menjadi secret admirer seseorang. Tapi gaya berpacaran saat itu hanya begitu-begitu saja, maksudnya tidak seperti pacaran yang dilakukan kebanyakan. Hanya sebatas ngobrol lewat pesan saja tak pernah jalan berdua.
Lalu saat ini, perasaan berdebar, berbunga, excited, bahkan gelisah di saat-saat tertentu ketika berhubungan dengan cowok jangkung itu, ia tau bahwa dirinya kembali jatuh cinta lagi setelah sekian lama perasaannya kosong.
Rafli berhasil membangkitkan senyum dengan rona merah mudanya, tapi adakalanya cowok itu juga membuatnya gelisah, hanya karna mereka tak berkabar seharian, ketika Rafli aktif mengunggah beberapa postingan di media sosialnya, atau ketika cowok itu tak menghiraukan bahkan bersikap layaknya orang tak kenal seperti ketika kejadian kasus dengan Indri beberapa bulan lalu.
Astaga, apakah perasaannya terlalu berlebihan? Bagaimana jika cowok itu sejak awal tak ada niatan serius padanya? Bisa jadi, selama ini Rafli tak terlihat menunjukkan ketertarikan untuk menjalin hubungan serius padanya, beberapa kali memang bersikap manis, tapi sikap manisnya itu bisa saja dilakukan juga pada perempuan lain. Artinya, ia mungkin bukan satu-satunya orang yang dekat dengan cowok itu.
Aqila menghela nafas untuk kesekian kalinya, masih memandangi layar yang menampilkan room chat terakhirnya dengan Rafli dua minggu lalu. Tak mungkin ia menuntut atas perasaannya.
Tak ada yang bisa disalahkan atas perasaannya.
Jam menunjukkan pukul setengah dua belas malam. Status Rafli berubah online, Aqila merubah posisinya jadi tengkurap. Oh haruskah ia menghubunginya lebih dulu?
Chat
Nggak
Chat
Nggak
Chat
______
Rafli
Rafli?
______Aqila buru-buru menutup ponselnya ketika pesan itu berhasil terkirim. Ia bahkan tak sadar ketika pesan itu sampai hanya beberapa detik sampai pesannya langsung centang dua biru& alias langsung dilihat.
Drrrtt drrrtt drrrtt
Aqila terlonjak ketika ponselnya berdering, ia meringis melihat nama Rafli terpampang di layar panggilan masuk.
Kenapa gak bales chat aja si.
Ia berdehem sebentar menetralkan suaranya sebelum menggeser tombol hijau.
"Assalamualaikum,"
"Waalaikumsalam,"
"Kenapa la?"
"Ha- hah?" Aqila tergagap bingung hendak menjawab apa. Cowok itu mungkin bertanya kenapa Aqila menghubunginya malam-malam. "E-enggak."
Padahal Aqila tak pernah menanyakan ada apa atau kenapa ketika cowok itu mengirim pesan padanya. Cowok itu seolah-olah menganggap ketika ia mengirim pesan berarti ada hal penting, seakan tak sadar sebelumnya mereka sering bertukar pesan membahas hal-hal remeh yang tak begitu penting.
"Maaf ganggu, aku tutup-"
"Aqila.. "
Aqila mengerjep mendengar Rafli memanggilnya dengan lembut, hanya dengan hal kecil itu saja jantungnya sudah berdetak lebih cepat. "Iya.. "
"Kamu apa kabar?"
Aqila mengigit bibir bawahnya sebelum menjawab, "Baik." Hatinya sedikit ngilu ketika menjawab itu, ia tak tau perasaan tak nyaman yang mampir itu. Mungkin, mungkin saja karna itu artinya hubungan antara keduanya sampai kapanpun tak akan ada kejelasan. Rafli seperti sudah melupakan kehadirannya, dan menanyakan kabarnya mungkin karena baru menyadari kehadirannya di beberapa waktu lalu.
Aqila merasa cukup kesal, entah pada orang di sebrang telfon atau pada dirinya sendiri. Bukan tanpa alasan ia merasa kesal, Aqila mulai merasa cowok itu mentarik-ulurkan perasaannya. Beberapa hari ia dibuat berbunga-bunga, dilain hari di buat ragu dan gelisah.
"Aku cuma mau ngehapus kontak yang gak aktif, jadi cuma mau mastiin doang," Aqila memilih beralibi.
"Oh, iya iya gak papa,"
"Sekali lagi maaf ganggu, aku tutup ya assalamualaikum."
Tutt
Belum sempat Rafli memberi jawaban telfonnya sudah di tutup lebih dulu.
Rafli menatap layar hitam di genggamannya, lantas menghela nafas.
Sabar .. sabar.
Sebentar lagi. Sabar.
******
To be continued!Beberapa part menuju ending, mungkin ada kritik saran atau pesan kesannya sejauh ini?
KAMU SEDANG MEMBACA
Line Of Destiny [On Going]
General FictionAqila hanya seorang mahasiswa semester lima, yang menjalani kehidupan perkuliahannya tanpa keluhan, hidupnya monoton, teman-teman menyebutnya mahasiswa kupu-kupu. Pergi kuliah dan pulang tidak mengikuti satupun organisasi di kampusnya, sesekali ber...