Part 30.

879 53 3
                                    

Tau Diri

______

Masih di hari yang sama, tepat pukul delapan malam Rafli keluar untuk mencari makan, ia sebenarnya tak berniat menjadi anak durhaka dengan membeli makan diluar disaat Ibunya sudah menghidangkan makan malam, tapi keinginannya untuk makan ayam geprek yang berada di pertigaan jalan itu sudah tak bisa di tahan, bayang bayang crispy ayam bercampur pedasnya sambal merah, ditambah nasi uduknya yang tak kalah menggiurkan, apalagi minum teh manis di suasana ramai malam khas kota, sudah membuatnya meneguk ludah.

Jadi, disinilah ia berada, di gerai ayam geprek pertigaan yang tempatnya selalu ramai, bukan saja rasanya yang pasti tak mengecewakan, salah satu alasan selalu ramai juga letaknya yang strategis, di sebrang jalan terdapat gedung perkantoran yang di sisi gedung itu terdapat taman bermain, belum lagi tak jauh dari sini kampusnya berada jadi tak heran kenapa tempat ini selalu ramai di jam jam istirahat.

Sesudah pesan, ia duduk di kursi yang masih kosong, jam seperti ini memang ramai ada beberapa anak muda seumurannya, ada juga orang dewasa yang sepertinya baru pulang kerja menyempatkan waktu membeli hidangan ini untuk keluarga.

Asik dengan pikirannya, seseorang menepuk pundaknya pelan, saat ia menengok untuk melihat siapa, "Haii, aku boleh duduk disini?"

Rafli mengangguk, mempersilahkan Indri-- adik tingkatnya di kampus, duduk didepannya.

"Tumben kak sendirian?" Indri bertanya setelah menyimpan tas dan beberapa buku di meja, kemudian merapikan tatanan rambutnya yang dirasa kurang rapi.

"Iya, lagi pengen aja." Jawab Rafli, "Lo sendiri abis dari mana?" Tanyanya melihat barang bawaan adik tingkatnya ini yang menurutnya agak ribet.

"Ohh, aku baru pulang dari kampus, abis rapat."

Rafli ber-oh seraya mengangguk, selanjutnya mereka melanjutkan obrolan seputar kampus atau anak anak kampus mereka, lebih didominasi Indri yang bercerita pengalamannya sewaktu jadi maba dan pertama kali kepindahannya ke Jakarta --yang baru di ketahui Rafli, katanya Indri dan keluarga baru pindah ketika perempuan di depannya ini baru lulus sekolah menengah atas sedang kota asal mereka tinggal sebelumnya di Surabaya.

"Eh kapan kapan jalan yuk, keliling gitu kebetulan aku emang belum tau daerah sini, ya cuma deket deket rumah sama kampus doang, gimana mau gak?"

"Hah?- oh bisa nanti tinggal atur," Jawabnya santai, cuma jalan kan? Kebetulan juga minggu-minggu ini jadwalnya tak terlalu padat.

□□□

Terhitung sudah dua minggu Aqila tak melihat Rafli berkeliaran disekitarnya, sebenarnya mungkin karna ia juga yang lebih menghindari terjadinya pertemuan, misalnya, ketika sahabatnya Ajeng mengajak kekantin untuk bertemu pacarnya-- Zidan, ia selalu beralasan tak lapar atau tengah malas kekantin, atau ketika sepulangnya dari kampus Ajeng yang sering mengajaknya untuk ikut berkumpul dengan Zidan dkk pun ia selalu ada alasan untuk menolak.

Entah ada hal apa yang terlewat, kemarin Ajeng tiba-tiba ngomong kalau dia tau masalahnya dengan Rafli.

"Maksudnya?" Dahinya mengerut, tak mengerti saat itu, seingetnya ia tak punya masalah apapun dengan Rafli, terakhir perihal martabak, itupun sebenarnya bukan masalah.

"Alesan kenapa lo gak mau diajak ikut kumpul bareng pacar gue karna lo gak mau ketemu Rafli kan?" Kemarin, waktu Ajeng bertanya seperti itu Aqila tak menjawab, ia hanya mengalihkan pandangannya pada ponsel di tangannya.

"Gue emang gak tau pasti masalahnya si, tapi kemarin gue liat Rafli jalan sama cewek, tapi kalian emang gak ada apa-apa kan? Lo juga gak baper kan sama si Rafli?"

Aqila menggeleng seraya berkata pelan, "Enggak lah."

Kemarin ia tak terlalu penasaran perihal siapa cewek yang dimaksud Ajeng, bertanya pun tak memungkinkan, dan sekarang ia mungkin tahu itu siapa.

Tak jauh dari tempatnya duduk, Rafli tengah asik mengobrol dengan teman temannya, tapi bukan Zidan atau Fadlan, melainkan panji dkk, dan dari empat kumpulan lelaki itu, ada satu perempuan adik tingkatnya, kalo tak salah namanya Indri, yang duduk berhadapan dengan Rafli, jadi Indri.

Sebenarnya itu bukan masalahnya, yasudah mau Rafli dekat dengan siapapun, itu bukan urusannya. Tapi, maksudnya apa beberapa hari Rafli masih sering menghubunginya via chat, gak jelas.

"Eh iya aku bentar lagi ada kelas nih duluan ya," Ucap Indri ketika tersadar setelah melihat arloji di pergelangan tangannya, sebelum beranjak ia membereskan barangnya di meja. Baru beberapa langkah ia berjalan samar-samar ia masih bisa mendengar ucapan Panji, "Bukannya waktu itu lo sama yang pake kerudung itu?"

Rafli mengidikan bahunya acuh, "Gak jadi,"

Sebenarnya sampai saat ini, Rafli masih bingung. Aqila menjauhinya, jelas. Ia juga tak mau memaksa, ia hanya mencoba beberapa kali via chat tapi itupun tak mendapat respon apapun, jadi yasudah.

Mungkin bener yang dibilang Fadlan, katanya perempuan seperti Aqila tak sepantasnya di ajak menjalin hubungan tak jelas, jadi kalaupun serius harusnya langsung lamar saja. Tapi, yang benar saja, keduanya masih terlalu muda untuk menjalin komitmen se-serius itu.

Terlebih Rafli cukup tau diri.

■■■
25okt2021

Eh mau ingetin, aku sering aktif di ig : pluvi31

Di akun itu aku post rekomendasi2 cerita wp yang bagus baguss. Boleh di follow, buat temen ngobrol juga bolehh

Line Of Destiny [On Going]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang