part 10.

1.2K 83 0
                                    

Rafli berjalan menjauh dari teman-temannya, dengan ponsel yang menempel ditelinganya.

"Iya mi." Tak sadar ia sampai di taman fakultasnya, dan duduk di kursi yang tersedia.

"...."

"Masih ada satu matkul lagi mi."

"..."

"Hm. udah ya ini abang ada urusan, assalamualaikum." Berdecak, setelah mengucap itu, ia langsung mematikan ponselnya.

Melihat kesamping saat baru sadar ada yang duduk disampingnya tengah membaca buku. "Heh!"

Dan lebih terkejut lagi saat orang itu melihatnya. "Elo?!" Matanya melotot ke arah Aqila yang tengah memandangnya dengan kening berkerut. "Ngintilin gue lo?"

"Aku udah ada disini sebelum kamu duduk." Aqila menjawab santai, kembali mengalihkan atensinya pada buku di pangkuannya.

"Jangan bilang lo nguping lagi." Kali ini Aqila memilih tak menghiraukan pertanyaan atau pernyataan itu, karna menurutnya tak penting. "Heh jawab!"

Aqila menghela nafas, menutup bukunya, memakai tas punggung, seraya berdiri, ia menjawab. "Nguping atau enggak, suara situ tetep kedengeran." Tanpa mau menanggapi wajah merah padam dan sumpah serapah yang siap meledak dari sang lawan bicara, Aqila pergi dari sana.

□□□


Setelah jam kuliah hari ini selesai, Aqila yang berniat pulang jadi tak terlaksana karna, sahabatnya Ajeng menyeretnya kekantin. Ketika ditanya mau ngapain jawabannya. "Cuma nongkrong biasa." Tapi ketika sampai di sana, Ajeng malah menyeretnya di kursi yang sudah ada dua cowok.

"Duduk kil." Ujar Ajeng karna aqila tak kunjung duduk. Aqila tak langsung duduk, ia malah menatap Ajeng dengan pandangan bertanya.

Ajeng mendekat untuk berbisik. "Ntar gue jelasin."

Dengan berat hati, Aqila akhirnya duduk, berhadapan dengan dua laki-laki yang salah satunya cuku dikenalnya.

"Udah pesen?" Tanya Ajeng pada dua pria didepannya.

"Udah tadi, disamain aja kan?." Jawab laki-laki didepannya dibalas anggukan oleh Ajeng.

"Oh iya, kenalin ini aqila sahabat aku."

Laki-laki didepannya mengulurkan tangan, tapi aqila menangkup tangan didepan dada. "Aqila."

Laki-laki didepannya kembali menurunkan tangannya dan mengangguk seraya ber-oh. "Gue zidan."

Aqila mengangguk, mengalihkan pandangan pada cowok di samping Zidan.

"Kita dah kenal kan?" Ucap Fadlan ketika mereka bersitatap.

Setelah itu mereka mulai mengobrol Aqila hanya diam dan memilih memainkan ponselnya, sedang Ajeng disampingnya sibuk bercengkrama dengan cowok bernama Zidan dihadapannya Fadlan sesekali menimpal.

Dari percakapan yang dibahas, raut wajah yang ditampakan dan gaya bahasa, Aqila bisa menyimpulkan cowok bernama Zidan itu ada sesuatu dengan sahabatnya.

Selang beberapa menit, pesanan datang bertepatan dengan munculnya satu cowok menghampiri meja mereka.

"Sorry telat."

"Telat banget." Fadlan bergumam menatap cowok dengan kemeja kotak-kotak yang baru datang.

"Tadi si madam manggil gue keruangannya." Ketika matanya menyapu orang-orang yang duduk disana. Lagi-lagi matanya melebar terkejut, kala netranya bersitatap dengan netra hitam legam milik Aqila.

Rafli, cowok yang baru saja datang itu mengalihkan atensinya pada temannya dengan pandangan bertanya. "Jangan bilang? .."

"Ya iya emang kenapa?" Jawab Zidan.

Rafli mendengus. "Gak." Kemudian duduk disamping Fadlan. "Lah, pesenan gua mana."

"Pesen sendiri."

Rafli mendengus, ia kemudian menitip pesanannya pada mas-mas yang baru saja selesa meletakan pesenan makanan mereka.

Tak lama pesanan Rafli datang, sambil makan mereka sesekali berbincang, mungkin hanya Aqila yang tak banyak bicara.

"Temen kamu emang pendiem ya?" Zidan bertanya sambil menunjuk Aqila dengan lirikan matanya.

"Iya emang jarang ngomong gitu." Ajeng menyenggol sedikit siku Aqila, Aqila yang mengerti itu hanya tersenyum canggung.

Setelah makanan Aqila habis ia menyibukan dengan ponselnya, saat melihat Ajeng juga selesai. "Kamu shalat kan?"

"Iya shalat, bentar masih kenyang." Jawab Ajeng. Lalu pandangannya beralih pada ketiga cowok didepannya. "Kalian juga shalat kan?"

"Iya lah kita mah pasti shalat, tapi gak tau ini mah." Fadlan menunjuk rafli dengan lirikan.

Sedangkan Rafli hanya menampilkan raut santai. "Kenapa?" Tanya Fadlan.

Rafli mendengus. "Iya nanti." Rafli beralih fokus pada makanan yang belum habis.

"Nanti kapan?"

"Ya kapan kapan." Jawab Rafli sekenanya.

"Sue lu, gue laporin mama lo tau rasa."

Ajeng beralih menatap Aqila, tau temannya itu tak akan diam saja saat melihat orang yang menyepelekan kewajiban.

"Jika surga tak dapat menjadi motivasi mu untuk melaksanakan kewajiban, lantas dengan cara apa kamu berterima kasih atas napas yang si berikan?" Nah kan.

Mereka terdiam sejenak, menatap Aqila. Begitu juga dengan Rafli yang mendengar itu langsung terdiam, dan beralih menatap Aqila yang juga tengah menatapnya. "Maksud lo apa?"

Rafli melepaskan garpu dan sendok yang dipegangnya dengan sedikit kasar, menimbulkan bunyi nyaring. Suasana seketika jadi tegang.

"Udah gerasa paling bener lo? Ngerasa paling suci lo heh?" Belum sempat Aqila mengeluarkan suara, Rafli kembali mencecarnya. Rafli terkekeh sinis. "Gue baru liat perempuan 'malam' masih bisa ngerasa suci."

"Raf!" Seakan dengan sengaja menulikan pendengarannya, Rafli masih saja memojokan Aqila. "Kenapa diem? Kaget topengnya bisa kebuka? Gue bisa loh sebarin aib lo keselur-"

"Cukup ya rafli!" Aqila berdiri dari duduknya menyela dengan suara rendah tapi penuh peringatan. "Kalo gak bisa nerima nasehat gak usah cari pembelaan sampe nyari nyari kesalahan."

■■■
22jan2021

Line Of Destiny [On Going]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang