Senin pagi cuaca terasa dingin dengan hujan mengguyur kawasannya, kontras dengan julukannya yang merupakan hari pertama di mualinya suatu kesibukan dengan semangat baru setelah menghabiskan akhir pekan, tapi senin kali ini sepertinya tak berlaku, dengan cuaca yang dingin ditemani hujan tanpa petir dan suara menggelegar guruh, sangat nikmat bila dihabiskan untuk tidur sepanjang hari atau dengan menonton tayangan netflix ditemani secangkir kopi hangat dan kudapan lainnya, aduhai andai waktu bisa dihentikan beberapa jam saja.
Dan andai saja wanita yang melahirkannya tak mengguyurnya dengan segelas air ketika ia tengah bermanja dengan kasur empuknya, mungkin saja hari ini ia rela melewatkan kelas -
"Aiihh ... "
Suara itu berhasil menyadarkan pikiran Rafli yang sedang berdiri di pinggir parkiran yang teduh dengan mata kantuknya dan sibuk merutuk kelakuan ibunya pagi tadi.
Saat ia menoleh kesumber suara, tepat beberapa langkah darinya berdiri terlihat perempuan yang sudah sekitar dua atau tiga minggu ini terasa menghilang, perempuan itu tengah mengambil beberapa barang yang terjatuh, ia memutuskan mendekat.
"Mau gue bantuin?" Tanyanya menawarkan.
Aqila mendongak. "Gak usah," Setelah mengambil satu buku lagi ia kembali berdiri.
Rafli berjalan dua langkah kebelakang Aqila mengambil sesuatu yang tergeletak dan menyodorkannya pada perempuan dihadapannya, "Nih, punya elo kan?"
Aqila mengangguk, mengambil botol tumbler itu tak lupa berucap terima kasih. Dirasa sudah tak ada urusan lagi, ia pun pamit dari hadapan Rafli, tapi baru melangkah dua langkah lelaki itu menyusul seraya memanggil.
"Kenapa?" Tanyanya.
"Engg ... apa kabar?" Rafli bertanya dengan masih terus berjalan.
Beberapa detik Aqila terheran, tapi tak ayal ia tetap menjawab, "Baik,"
Rafli terdiam lagi, perempuan ini sadar sesuatu gak si? Apa dia lupa kalo beberapa minggu lalu mereka cukup .. ehm deket? Ya walaupun tak ada interaksi khusus yang mengartikan mereka dekat. Atau mungkin selama ini Aqila hanya menganggapnya angin lalu? Atau bisa juga menganggapnya cowok freak yang tiba-tiba memberi martabak dengan embel-embel permintaan maaf, bisa jadi.
"Ehem ... kil,"
Aqila menoleh, "hm?"
"Lo kenapa ngilang?" Kali ini Rafli berhenti melangkah, diikuti Aqila yang juga menghentikan langkahnya, "Lo ngehindarin gue?" Lanjutnya.
"Ngehindarin gimana?"
"Jangan pura-pura gak ngerti,"
Aqila mengernyit tak paham, oke baiklah Aqila memang cukup paham arah pembicaraannya, tapi ia tak mengerti maksud dari pria di hadapannya ini, bukankah beberapa minggu ini Rafli tengah dekat dengan salah satu adik tingkat? Orang-orang yang mengenal mereka pun pasti tau jika cowok di depannya ini tengah menjalin kedekatan dengan salah satu mahasiswi baru, gimana enggak, hampir setiap hari mereka terlihat bersama, berjalan beriringan, di koridor, di parkiran, atau makan berdua di kantin.
Aqila tak menjawab, ia hanya menggeleng pelan. "Aku duluan," Memilih pamit, meneruskan langkah menuju kelasnya, meninggalkan Rafli yang mendengus menatap punggungnya.
_______
"Kak!"
Rafli tersadar, setelah Indri menepuk lengannya pelan, ia meringis tak enak. "Sorry, kenapa?"
"Mikirin apa si? Aku dari tadi ngomong loh,"
"Iya maaf, gue lagi gak fokus,"
Indri sebenarnya kesal karna diabaikan, tapi ia memilih untuk tidak memperpanjang.
Jadi sore itu, ketika Rafli hendak pulang di parkiran, ia bertemu Indri, cewek itu meminta tolong diantarkan pulang katanya kendaraannya sedang bermasalah, juga sekalian mengajaknya makan di pertigaan dekat lampu merah, Rafli yang kebetulan tak ada kegiatan apapun mengiyakan ajakan.
Selama makan, Indri banyak bercerita --yang lebih tepatnya mengeluh, perihal keorganisasian dan tugas yang menumpuk, ia hanya mendengarkan sesekali menimpal, tapi lama-lama ia malah tak fokus ketika melihat kehadiran laki laki tak asing berseragam SMA memasuki tempat makan yang sama, ia lantas mengedarkan pandangan keluar, dan benar saja ada Aqila disana, duduk diatas motor yang ia terka perempuan itu tengah menunggu adiknya memesan makanan.
Setelah beralasan jika ia tengah ada sedikit masalah dirumah-- yang tentu saja bohong, pada Indri, perempuan itu pun manut saja, juga bilang jika mau bercerita Indri siap mendengarkan.
"Jadi, mau langsung pulang sekarang?" Tanya Indri setelah mereka menghabiskan makanan.
Diam diam Rafli melirik kembali keluar, disana masih ada Aqila. "Bentar lagi deh, istirahat bentar, kenyang banget soalnya."
Indri mengangguk, "Yaudah."
Diam diam Indri mengikuti pandangan Rafli yang sesekali melihat keluar, dan saat itulah ia paham kenapa cowok didepannya ini menunda untuk pulang.
"Sekarang aja yuk," Seakan tak menerima protes, Indri memakai tasnya dan memanggil pelayan untuk membayar pesanan.
Rafli menghela napas, seraya mengeluarkan uang dari dompetnya diam diam ia kembali melirik keluar, untungnya bersamaan dengan itu adik Aqila muncul, terlihat Aqila menggerutu pada sang adik, barangkali kesal karna menunggu lebih lama dari perkiraan.
_______
To be continude!
KAMU SEDANG MEMBACA
Line Of Destiny [On Going]
Tiểu Thuyết ChungAqila hanya seorang mahasiswa semester lima, yang menjalani kehidupan perkuliahannya tanpa keluhan, hidupnya monoton, teman-teman menyebutnya mahasiswa kupu-kupu. Pergi kuliah dan pulang tidak mengikuti satupun organisasi di kampusnya, sesekali ber...