11

433 75 17
                                    


Mungkin buat beberapa chapter, atau sampe book ini selesai, aku mau pake pov Giselle.




















Tidak ada yang menghiraukan teriakan Jeno barusan. Semua sibuk dengan ketakutan dan pemikiran masing-masing. Termasuk aku.

Semua jendela sudah tertutup rapat, namun entah kenapa merasakan mobil yang mulai bergoyang ke kanan-kiri akibat dorongan para zombie itu, aku pikir tak ada yang aman sama sekali.

Dan kupikir, Ningning satu pemikiran denganku.

Aku menatap langit-langit mobil. Jika memang tak bisa keluar lewat pintu, tak apa mencoba melalui atap itu. Tapi, tak ada sunroof di mobil Jaemin. Jeno bahkan masih terjebak diluar sana.

Disaat-saat seperti ini, sangat penting keberadaan seorang pemimpin untuk mengorganisir semuanya. Tapi ya tuhan,... jiwa pemimpin mana yang mau diasah untuk kejadian penuh ketiba-tibaan seperti ini?

Aku memejam erat, pelukan Ningning pun malah semakin mengerat. Tak tau kalau aku benar-benar merasa sesak karenanya. Tak lama mata ini kembali terbuka, dengan sebuah ide setelah mengingat serentetan kalimat yang keluar dari mulut seseorang yang pernah banyak memberikan pengajaran gilanya padaku.

" Disaat-saat tertentu, kau harus bisa bertindak brutal demi kehidupan atau kau–bisa mati karena terlalu berbelas kasih."

Tidak bisa dipercaya tapi, saat ini kalimat itulah yang memotivasiku untuk bertindak. Ya, aku memang tak akan melakukan hal brutal dalam arti kata yang sebenarnya, toh keadaan juga sama buruknya dengan arti kalimat 'saat-saat tertentu'.

" Pisau....ada yang bawa pisau?" tiba-tiba sebilah pisau berada tepat diwajahku.

" Apa ini cukup?" Tanya Haechan yang entah dari mana dapat pisau itu. Kuanggukkan kepala, lalu dengan cepat mengambilnya dari pemuda itu.

" Hei darimana kau dapat itu??" Aku tak lagi mendengarkan mereka karena sibuk memikirkan rencanaku selanjutnya.

" Ningning,...apa kau mau selamat?" gadis ini mendongakkan kepalanya, lalu mengangguk sambil menyeka air matanya. Aku tersenyum, lalu meminta melepaskan pelukannya agar bisa bergerak leluasa.

" Aku janji, kau akan baik-baik saja." ujarku pelan lalu beranjak ke kursi tengah, dan dengan posisi berdiri, kuketukkan kepalan tangan beberapa kali ke atap mobil.

" Jeno!" panggilku hingga beberapa kali, sampai pemuda itu menjawab dari atas sana.

" Ya? Kenapa? Kalau mau bertanya aku baik-baik saja atau tidak, jawabannya tidak!!"

" Hei—aku...ah apa ada tempat atau mobil lain yang aman untuk kita lompati??" tanyaku namun lagi-lagi tak segera ada jawaban dari Jeno.

" Hmm, ada. Cukup jauh tapi, kemungkinan besar kita harus berlari. Sebuah supermarket arah jam sebelas." aku diam mendengarkan penjelasan Jeno. Yah, cukup jauh namun sepertinya tak buruk juga.

" Sebenarnya aku benar-benar ingin pergi dari sini."

Aku menoleh ke depan, dimana Renjun tengah memandang kosong dashboard mobil didepannya. Sorot mata yang hampa, namun juga lelah dan khawatir.

Aku tau, kami memang harus segera pergi. Tapi bagaimana?

" Hei Gi,"

" Ada apa Jeno?"

" Ada mobil terbengkalai arah jam lima. Tapi seperti namanya, aku tak tau apakah mobil itu baik–atau justru tak bisa dipakai sama sekali." aku mengalihkan pandangan pada arah yang disebutkan Jeno. Dan yah, mobilnya tak cukup bagus, namun tak buruk juga.

Virus of Zee[✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang