5

528 89 3
                                    


Giselle menghela nafas panjang. Ia yakin jika tadi seseorang menyoroti dirinya dengan sebuah senter. Cahayanya bahkan sempat menusuk retinanya dengan sangat menyakitkan.

Sementara Yangyang terlihat tak percaya dengan hal ini.

" Ayolah Giselle! Jangan main-main!" tukasnya kesal. Lalu ia berjalan lebih dulu menyusuri tembok bangunan itu, dan sampai dibagian depan bangunan sederhana itu.

" Ini cafe ya?" tanya Yangyang dan Giselle hanya membalasnya dengan anggukan.

" Aku pikir, mungkin saja yang tadi itu Renjun temanmu," Giselle menggaruk tengkuknya seraya menunduk. Tak terlalu percaya diri menjelaskannya. Toh Yangyang pasti mengerti maksudnya.

" Ayo cek kedalam." Yangyang berjalan lebih dulu setelah mengatakan itu, dan Giselle menyusulnya masuk. Keduanya menyusuri cafe kecil itu dengan hati-hati. Sesekali menyenter bagian-bagian gelap yang tak terlihat.

" Kosong," gumam Yangyang mulai putus asa. Ia sama sekali tak menemukan tanda-tanda kehidupan disana. Baik itu dari Renjun ataupun Ningning.

Namun Giselle nampak belum menyerah. Dia bahkan menyusuri lebih jauh dari apa yang dijangkau oleh kedua orang itu sebelumnya. Hingga berakhir di pintu bertuliskan ruang khusus staf yang kedapatan tidak terkunci.

Giselle berpendapat, jika seseorang bisa saja bersembunyi di ruangan ini jika mereka merasa terdesak. Jika pun bukan Renjun dan Ningning, setidaknya mereka bisa membantu menyelamatkannya.

Walau awalnya ragu, Giselle tetap nekat membuka pintu besi itu. Ia memutar kenop pintu perlahan.

Cklek

Knopnya mengeluarkan suara, sebagai tanda kalau pintu sudah bisa dibuka. Giselle mendorong pintu itu masuk perlahan dengan tangan kirinya, berusaha tidak terlalu berisik.

Namun, apa yang ada dibalik pintu ini justru membuatnya terkejut, sekaligus ngeri.

Giselle POV

Aku sempat tak yakin untuk membuka pintu ini, tapi mengingat mungkin saja seseorang tengah butuh pertolongan dan bersembunyi di dalam sana, membuatku akhirnya bertekad untuk tetap membukanya.

Aku mulai memegang kenop pintu, lalu memutarnya, membuatnya mengeluarkan suara 'klek' yang cukup nyaring. Tak lama, pintu terbuka, dan terdorong perlahan dengan kekuatanku.

Aku baru membuka setengah dari seluruh lebar pintu, dan terkejut ketika melihat di dalam ruangan yang nyatanya terang benderang itu.

Oh tuhan!

Aku menutup mulutku dengan telapak tangan kiri yang sudah melepas genggaman pada knop pintu, lalu menggeleng tak percaya.

Seorang pria berpakaian formal, tengah menangis meraung-raung ketika tubuhnya dirobek serta digigiti dengan ganas oleh sekumpulan zombie. Kira-kira, ada setidaknya 6 zombie yang mengerubungi tubuhnya yang ringkih.

Ternyata, ruangan ini kedap suara, sehingga jeritannya tak terdengar diluar sana.

Kemudian, mata pria itu bergulir, beradu dengan mataku. Membelalak sembari berucap 'tolong' tanpa suara. Namun, kami terlambat. Tangisnya mengisyaratkan kalau dia juga akan menjadi bagian dari makhluk-makhluk itu.

Bodoh! Seharusnya aku tidak nekat membuka pintu ini. Seharusnya aku mendengarkan Yangyang dan segera pergi dari sini.

Dengan tangan yang bergetar, kutarik perlahan knop pintu besinya, dan mencoba untuk tidak mengeluarkan suara sekecil apapun, lagi. Nafasku tertahan, mataku bergulir tak tenang, mengawasi pintu, dan gerombolan zombie itu.

Virus of Zee[✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang