Jay mengantarkan Algian sampai ke rumahnya yang berada di dekat hutan. Awalnya Jay akan mengantarkan pemuda itu ke rumah ayahnya, tetapi Algian menolak. Pulang ke rumah utama, sama saja membawa masalah baru, dan Algian juga tidak mau berdebat dengan ayahnya itu.
Akhirnya Jay yang mengerti pun hanya bisa menuruti permintaan Algian.
"Sekali lagi gue ingetin. Kalau lo mau pergi, jangan sendirian. Musuh berkeliaran, Al." Peringat Jay sebelum akhirnya dia pamit untuk pulang.
Kini Algian ditinggal bersama dua sahabatnya, Anfa dan Sam. Dimas sudah pulang ke rumahnya. Pemuda itu diantarkan oleh Anfa karena motornya yang sedang di pakai Algian.
"Lo kenapa lagi sih, Al?! Bisa-bisanya lo dikeroyok ampe babak belur begini? Perasaan baru tadi sore lo baku hantam, sekarang kena lagi?" Tanya Anfa seraya memapah tubuhnya Algian untuk masuk ke dalam rumah. Pemuda bertopi itu seperti sudah jengah dengan keadaan Algian yang selalu membuatnya khawatir.
"Gue enggak inget," jawab Algian sekenanya.
Anfa yang mendengar itu lantas melotot kaget, "LO AMNESIA?!" Teriaknya.
Sam yang sedang membuat teh melongokan kepalanya, "lo amnesia, Al?" Tanya pemuda itu dengan tampang polosnya.
Algian tertawa kecil menanggapi respon kedua sahabatnya, "kalau gue amnesia, mana mungkin gue inget jalan pulang, dongo."
Anfa berdecak kesal, dia menoyor kepala Algian, "lo bukan amnesia, tapi bego." Ketusnya.
Algian balik menyentil kepalanya Anfa, membuat pemuda yang kini duduk di sampingnya itu meringis.
"Lo di tolongin sama siapa, Al?" Tanya Sam sambil meletakan teh ke atas meja. Karena apapun sakitnya, teh hangat adalah obatnya. Sam tahu itu sejak dia masuk ke ekskul PMR saat SMP dulu.
"Lo kenal Abiana 'kan?" Algian malah bertanya.
Sam mengangguk, "temen sekelas gue." Jawabnya.
"Sekuat apa sih dia?" Tanya Algian lagi.
"Maksud lo apaan?" Anfa menyahut.
"Diem, lo nggak di ajak." Kata Algian yang matanya menatap Sam untuk meminta jawaban.
Anfa yang diberi kalimat seperti itu menggerutu kesal, dia memilih untuk membuang muka dan mengabaikan percakapan antara Algian dan Sam.
"Biasa aja, sih. Cuman dia sering bawa tumpukan buku paket sendirian." Jawab Sam lagi.
Algian menatap Sam heran, dan Sam menatap Algian kebingungan. "Yang nolongin lo, Abiana?" Tanya Sam menebak.
Kepala Algian mengangguk, "iya. Takjub gue, dia bisa bawa badan gue ke rumah Lanta yang jaraknya enggak deket dari tempat dia nemu gue."
"Dia nyeret lo kali, cuman lo enggak sadar karena tepar." Lagi-lagi Anfa menyahut dan nimbrung di percakapan Algian dengan Sam.
"Kalau di seret kulit gue pada baret kali." Algian membalas.
"Jadi, siapa yang bikin lo kayak gini?" Tanya Sam mengalihkan percakapan.
"Anak buah si Santo." Algian berkata sembari menyeruput teh buatan Sam.
Sam menghela napas panjangnya, "besok lo enggak usah sekolah. Biar gue yang urus mereka." Katanya.
"Enggak usah. Biarin aja dulu, gue belum mau balas dendam."
"Tapi Al—"
"Dengerin aja apa kata gue." Potong Algian membuat Sam mau tidak mau mengangguk patuh.
Setelah itu tidak ada percakapan diantara ketiga pemuda yang duduk saling berdampingan itu. Mereka seolah sedang sibuk dengan pikirannya masing-masing.
Sampai tak berselang lama, ponsel yang saat ini sedang Anfa mainkan berdering, membuat Algian dan Sam menoleh dengan kompak.
Bukannya mengangkat panggilan tersebut, Anfa malah membiarkannya, dia memilih untuk mematikan ponsel miliknya dan menyimpannya ke atas meja.
"Siapa tuh?" Tanya Algian tiba-tiba.
Anfa menoleh, "bukan siapa-siapa." Jawabnya.
"Orangtua lo gimana?" Algian bertanya lagi.
"Enggak gimana-gimana." Jawab Anfa seadanya.
"Lo yakin mereka enggak nyariin lo?"
Anfa menatap Algian, "mereka pasti nyariin sih, tapi enggak mungkin ketemu. Gue 'kan ada di sini." Kata pemuda beralis tebal itu.
"Gue masih penasaran, kenapa lo kabur dari rumah? Padahal hidup lo enak, punya orangtua, hidup serba ada." Kata Sam yang saat ini sudah duduk di atas karpet untuk mengusap bulu Mumu dan Nium yang sedang tertidur.
Sam mengatakan hal itu karena kehidupan dirinya sendiri berbanding terbalik dengan Anfa. Sam mempunyai keluarga yang tidak harmonis. Sejak kecil kedua orangtuanya sering bertengkar tentang masalah ekonomi, bahkan Sam selalu menjadi korban pukulan, tamparan, atau bahkan tendangan dari kedua orangtuanya. Mereka selalu melampiaskan amarahnya kepada Sam, bahkan orangtua Sam pernah berniat ingin menjual Sam.
Sejak kecil Sam selalu menderita. Dia merasa jika dia tidak mempunyai orangtua yang sayang kepadanya. Dia selalu berusaha untuk menghindar agar tidak terkena siksaan, sehingga saat Sam berumur 11 tahun, dia memilih untuk kabur dari rumah dan menjadi anak jalanan.
Sam sering mengamen untuk mencari uang, tidur di tempat yang tidak menentu, seperti di mesjid, di depan toko-toko yang tutup, atau bahkan Sam bisa tidur di sebuah gang sepi dan hanya beralaskan kardus-kardus.
Pada saat itu hidupnya sangat menyedihkan. Sam tidak terurus dan terkadang dia menderita kelaparan.
Sampai akhirnya ada yang mengajak Sam untuk masuk ke panti asuhan. Di sana dia memulai kehidupan baru dan mulai mengenal banyak orang. Salah satunya Sam mengenal seorang donatur wanita muda. Wanita itu memberikan perhatian lebih kepada Sam, dan dia merupakan orang yang baik hati.
Wanita baik itu adalah ibunya Algian. Sam dan Algian sudah bertemu sejak umur mereka 12 tahun. Algian bertemu dengan Sam di panti asuhan, saat itu dia di ajak pergi untuk acara sosial. Awalnya Algian terlihat enggan untuk berinteraksi dengan Sam, namun lama-kelamaan mereka pun akhirnya menjadi teman.
Sejak saat itu, Sam pun di sekolahkan di sekolah berasrama oleh ibu Algian. Saat SMP Sam dan Algian sekolah di tempat yang berbeda, tetapi terkadang Algian dan ibunya selalu mengunjungi Sam ke asrama.
Sam benar-benar sudah dianggap sebagai anak sendiri oleh ibu Algian. Dibiayai, difasilitasi serta disayangi. Belum lagi Algian menganggap Sam sebagai saudaranya sendiri. Rasanya Sam benar-benar mempunyai hutang budi yang amat besar kepada mereka.
Tetapi ketika ibu Algian meninggal, Sam benar-benar merasakan kesedihan yang sangat dalam. Dia sedih dan marah kepada dirinya sendiri karena belum sempat membalas kebaikan yang ibunya Algian berikan.
Sejak kematian sang ibu, hubungan Sam dengan Algian semakin dekat. Algian bahkan lebih dekat dengan Sam daripada dengan adik kandung perempuannya sendiri, karena adiknya selalu dibawa dan diawasi langsung oleh sang ayah. Sam pun bertemu dengan adik perempuan Algian hanya satu atau dua kali saja.
Saat mereka mulai memasuki SMA, Sam memilih untuk berhenti sekolah dan ingin mencari pekerjaan saja. Tetapi Algian melarang, dia menyuruh Sam untuk tetap bersekolah dan tinggal di rumah peninggalan almarhum ibunya.
Awalnya Sam sempat menolak, karena dia sudah banyak sekali merepotkan Algian dan ibunya. Tetapi karena Algian memaksa, Sam tidak punya pilihan lain. Sehingga dia pun menurut dan mulai bersekolah di SMA yang sama dengan Algian.
Di kesempatan inilah Sam selalu berusaha untuk melindungi, menjaga, dan membantu Algian di segala keadaan. Karena Sam belum sempat membalas budi kepada ibunya, setidaknya Sam bisa membalas budi kepada anaknya.
•••
Mari kita kasih puk puk sayang buat Samuel🥲
Jangan lupa vomment ya!!!
KAMU SEDANG MEMBACA
SOVEREIGN
Teen FictionIni adalah pertarungan antara si lemah dengan si kuat. Di sekolah ini terdapat persaingan yang sangat ketat. Mungkin untuk sebagian orang, menjadi pintar adalah kunci utama untuk meraih posisi pertama. Namun, hal itu tidak berlaku di SMA Yudistra...