SOVEREIGN 14

497 106 6
                                    

Keadaan SMA Yudistra ramai seperti biasa, tetapi kali ini di lapangan ada yang lebih ramai. Para siswa yang semula berjalan di koridor pun mulai berlarian ke tengah lapangan untuk melihat apa yang terjadi.

Ternyata di sana, ada sebuah perkelahian antara dua murid laki-laki. Pemuda yang satu memakai baju olahraga, sedangkan pemuda yang satunya memakai baju SMA biasa.

Bukannya dipisahkan, para murid hanya menonton aksi tonjok-tonjokan yang terjadi di lapangan. Bahkan sebagian dari anak murid laki-laki saling mendukung dua pemuda yang sedang berkelahi tersebut.

Sampai akhirnya seorang pria yang umurnya kira-kira dua puluh lima tahun dan memakai kemeja serta celana bahan rapi datang. Pria itu memasuki kerumunan membuat para murid mulai menyingkir secara perlahan-lahan.

Kini dua orang pemuda yang berkelahi di lantai lapangan itu terlihat sangat jelas, membuat pria yang sudah berada paling depan itu menatap mereka dalam diam.

Seruan dukungan dan berbagai percakapan di kerumunan pun hilang begitu pria itu datang. Sehingga keadaan lapangan kini hening, membuat dua pemuda yang berkelahi itu refleks berhenti dan menolehkan kepalanya ke arah seorang pria tinggi tegap yang mempunyai wajah garang.

"Sudah selesai, berkelahinya?" Tanya pria itu dengan suaranya yang terdengar berat dan dalam.

Dua pemuda yang berkelahi itu terdiam.

"Kalian berdua, ikut dengan bapak sekarang!" Perintah pria itu dengan suara yang menekan. Dia terlihat santai, namun suaranya benar-benar cukup menyeramkan.

•••

"Jadi, apa yang membuat kalian berkelahi di lapangan seperti tadi?" Tanya seorang pria berkemeja bernama pak Niki.

Dia adalah seorang guru honorer muda yang baru mengajar di SMA Yudistra selama satu bulan. Tetapi pria itu sudah menemukan banyak hal yang membuatnya merasa tidak habis pikir dengan sekolahan tempatnya mengajar ini.

Salah satunya sekarang, dia berada di ruang guru dan sedang berhadapan dengan dua pemuda yang beberapa menit yang lalu melakukan perkelahian di lapangan.

Kegiatan baku hantam itu meninggalkan luka-luka di wajah kedua pemuda yang saat ini berdiri di depannya.

"Di mulai dari Zito, berikan alasan kamu kenapa kamu berkelahi dengan Daniel?" Tanya pak Niki, mata tajamnya menatap murid yang memakai pakaian olahraga.

Niki bisa tahu nama mereka karena Zito yang memakai baju olahraga itu merupakan murid dari kelas asuhannya, sedangkan Daniel, pak Niki bisa membaca namanya dari nametag yang pemuda itu pakai.

"Dia cowok brengsek pak! Masa tadi dia ngintip anak-anak cewek yang lagi ganti baju. Abis itu dia ngumpetin rok anak-anak cewek! Ya, saya kesel dong pak, sebagai sesama cowok saya merasa ikut terdzolimi karena tingkahnya itu bisa memalukan kaum para cowok!" Jelas Zito menggebu-gebu.

"Heh! Lo iri bilang aja, anjing! Lo kalau mau gabung tinggal bilang! Anak monyet kayak lo enggak usah sok suci deh!" Seru Daniel tidak mau kalah.

"Dasar bocah sinting! Najis banget gue gabung sama lo! Lagian anak-anak cewek itu dari kelas gue! Gue sebagai ketua kelas harus ngelindungin mereka dari bocah mesum kayak lo!" Zito membalas dengan sengit.

"Udah, jangan berkelahi lagi." Kata pak Niki dengan suara dinginnya.

Zito dan Daniel langsung bungkam. Mereka  sama-sama kembali menegakan badannya dan menghadap ke arah pak Niki.

"Benar kamu melakukan itu, Daniel?" Tanya pak Niki.

Daniel tidak menjawab, dia seperti enggan untuk mengakuinya.

Belum sempat Daniel mengeluarkan suaranya, seorang guru perempuan paruh baya yang ada di ruang guru berseru, "sudah lah, pak. Paling Daniel cuman iseng melakukan itu. Lagipula—"

"Iseng yang dilakukan Daniel bisa disebut sebagai pelecehan. Jika terus dibiarkan, dia akan keterusan. Bagaimana kalau anak yang diintip itu adalah anak ibu sendiri? Bagaimana perasaan ibu?" Potong pak Niki membuat bu Elva—guru perempuan itu terkejut. "Lagipula Daniel sudah SMA, seharusnya dia mulai berpikir dewasa. Dan juga harus ada yang menegurnya, jika tidak, itu akan membawa dampak buruk bagi lingkungan sekitar dan juga dirinya sendiri." Lanjut pak Niki.

Bu Elva terdiam, dia menatap pak Niki dengan tatapan kesal dan juga marah. Dia ingin melawan tetapi dia seperti tidak tahu kalimat apa yang harus dikeluarkan. Akhirnya dia mengalihkan pandangan kepada seorang siswa dan siswi yang baru saja datang dan mulai sok sibuk berbicara dengan mereka.

Pak Niki menghela napasnya, dia pun kembali menatap Zito dan Daniel. "Daniel, jangan ulangi perbuatanmu. Sekarang sebagai hukumannya, kamu bersihkan toilet sekolah." Perintah pak Niki membuat Daniel yang mendengar itu melotot.

"Maksud bapak apa?! Kenapa saya harus membersihksn toilet?! Dan kenapa hanya saya yang di hukum?!" Protes Daniel tidak terima. Dia menatap pak Niki tidak suka.

"Kamu sudah melakukan hal yang tidak benar, oleh karena itu bapak menghukummu. Bapak tidak bilang hanya kamu yang di hukum, karena Zito akan membantu kamu." Putus pak Niki akhirnya. "Selain itu, kamu harus meminta maaf kepada murid perempuan yang ada di kelas 10 IPS 3, kelasnya Zito." Lanjutnya.

"Tapi pak—"

"Saya tidak menerima penolakan, lakukan sekarang atau saya akan memberikan hukuman tambahan." Kata pak Niki memotong ucapan Zito yang hendak protes.

Akhirnya dengan perasaan kesal dan dengan lengan mengepal, Daniel keluar dari ruang guru lebih dulu. Dia pergi begitu saja tanpa berpamitan, berbeda dengan Zito yang menundukan kepala dan meminta maaf kepada pak Niki sebelum dia pergi keluar.

"Pak Niki yakin menghukum nak Daniel? Dia anak dari pengusaha terkenal dan merupakan salah satu donatur terbesar di SMA Yudistra loh,  pak." Celetuk seorang guru pria paruh baya yang tempatnya tak jauh dari tempat pak Niki berada.

Pak Niki menghela nafasnya, "lalu apa hubugannya? Jika dia melakukan kesalahan, maka dia harus mendapatkan  hukuman. Hal itu dilakukan agar ada efek jera." Jelas pak Niki, "apa bapak tidak tahu hal seperti itu? Bapak juga seorang guru bukan? Tugas guru adalah mendidik anak muridnya agar menjadi lebih baik, bukan malah membiarkan sehingga mereka jadi tidak terdidik."

"Ekhem, maaf tapi ucapan anda kurang sopan pak Niki." Balas Pak Jaya yang terlihat tidak terima. "Tetapi saya hanya ingin memberitahu saja, jika orangtua anak itu cukup berpengaruh untuk sekolah ini. Sehingga, kita harus hati-hati. Bisa-bisa anaknya melapor dan orangtuanya memutuskan hubungan dengan sekolah ini. Bisa saja sekolah kita kekurangan dana karena adanya pemutusan hubungan tersebut." Jelas pak Jaya terdengar sok bijak.

Pak Niki hanya diam saja, tidak berniat untuk membalas ucapan pak Jaya. Guru muda itu memilih untuk menilai hasil ulangan harian anak-anak  muridnya.

Menurutnya, berbicara dengan seseorang yang mementingkan uang dan kekuasaan, tidak ada gunanya.


















•••





Heyooo, jangan lupa vomment ya!
Maaf kalau masih banyak typo yang bertebaran.




SOVEREIGNTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang