"Gue cuman capek."
Perkataan Anfa membuat Sam yang sempat melamun panjang tersadar. Pemuda itu menatap Anfa yang sedang memangku kucing putih bernama Alu.
Sudah hampir dua minggu Anfa tinggal di rumah Algian. Pemuda itu sudah berteman dengan Algian sejak kecil di karenakan orangtua mereka dekat dan juga bersahabat.
Namun Anfa dan Algian tinggal di kota yang berbeda. Algian tinggal di Bandung dan Anfa tinggal di Jakarta. Sehingga mereka sudah mulai jarang berkomunikasi sejak memasuki masa sekolah menengah.
Suatu ketika, saat Algian sedang pergi ke sebuah acara balapan. Ia tidak sengaja bertemu lagi dengan Anfa. Pemuda itu menonton sendirian di sana.
Tentu saja Algian menghampirinya dan menanyakan apa yang sedang Anfa lakukan di Bandung sendirian. Padahal Algian tahu jika Anfa tinggal di Jakarta bersama kedua orangtuanya. Dan ternyata Anfa mengaku jika dia kabur dari rumah dan tidak tahu harus kemana.
Anfa juga bercerita mengenai masalah pribadinya kepada Algian, membuat Algian tidak tega jika harus menelantarkan Anfa sendirian.
Disanalah Algian memilih mengajak Anfa untuk pergi ke rumahnya dan tinggal di sana. Terhitung sudah dua minggu Anfa tinggal di rumah almarhumah ibu Algian.
"Jangan kelamaan, Anfa. Kasian orangtua lo pasti khawatir." Nasehat Algian.
"Emang itu tujuan gue," celetuk Anfa.
"Apa?" Sam bertanya.
"Bikin orangtua gue khawatir. Biarin aja mereka ngerasain enggak punya anak untuk beberapa minggu ke depan." Ujarnya tanpa beban.
"Gue gebuk juga lo!" Pelotot Algian kesal, "anak durhaka!"
"Kek lo kaga aja." Anfa membalas, "damai sana sama bapak lo." Lanjutnya.
"Males."
"Nah, kan! Lo aja males. Apalagi gue! Bapak gue sama bapak lo tuh sebelas duabelas, jadi please lah, lo pasti ngerti!"
Algian menatap Anfa dalam diam. Pemuda bermata runcing itu kemudian berdecak sambil menyandarkan punggungnya ke sandaran sofa.
Perkataan yang Anfa berikan memanglah kenyataan. Sejak kecil Algian tidak mempunyai hubungan yang baik dengan ayahnya sendiri. Dia lebih dekat dengan ibunya, sehingga ia jarang sekali berinteraksi dan berkomunikasi dengan sang ayah. Belum lagi ayahnya yang merupakan pemilik dari salah satu stasiun televisi itu merupakan orang yang sangat sibuk, membuat kedekatan Algian dengan ayahnya semakin berkurang.
Keadaan ruang tengah pun akhirnya kembali hening. Tiga orang pemuda itu sama-sama diam dan larut di dalam pikirannya masing-masing.
"Udah lah, enggak usah mikirin masalah hidup! Berat anjir, pusing gue mikirinya." Celetuk Anfa tiba-tiba, "mending lo bahas kronologi kenapa lo bisa di pukulin sampai pingsan?" Tanyanya kepada Algian.
Algian pun menghela napas panjang, masih dengan posisinya, pemuda bermata runcing itupun mulai menceritakan kejadian yang di alaminya kepada Anfa dan Sam.
"Harusnya lo telepon gue kalau lo mau pergi." Kata Sam setelah Algian selesai bercerita. Pemuda itu seakan menyesal dengan apa yang telah Algian alami.
"Gue enggak mau ganggu lo. Lagian gue masih hidup ini." Balas Algian santai.
"Masih hidup tapi gue yakin badan lo sakit semua. Hari ini lo udah dua kali baku hantam." Kata Anfa.
"Biasa aja." Balas Algian. Setelah mengatakan itu, pemuda tersebut bangkit berdiri secara perlahan. Nyatanya Algian meringis karena merasakan nyeri di kaki dan bahunya.
KAMU SEDANG MEMBACA
SOVEREIGN
Teen FictionIni adalah pertarungan antara si lemah dengan si kuat. Di sekolah ini terdapat persaingan yang sangat ketat. Mungkin untuk sebagian orang, menjadi pintar adalah kunci utama untuk meraih posisi pertama. Namun, hal itu tidak berlaku di SMA Yudistra...