1. Wonderful Morning

148K 4.6K 28
                                    

Nayra dengan cekatan mengatur letak botol-botol jamu di bakulnya selepas shubuh. Bunyi-bunyi denting botol pagi itu pun terdengar indah bagai nyanyian, membuat Nayra selalu semangat mengawali hari-harinya.

"Nay..., jangan lupa nagih hutang. Itu para ART pasti udah pada gajian sekarang," ujar Bu Ola, ibunya Nayra Friska Adam.

"Baik, Bu. Nanti aku tagih. Yang susah itu nagih hutang Mbok Min, ARTnya Pak Guntur. Yang rumahnya di dekat pos satpam. Suka buat alasan. Ini udah nunggak dua bulan. Belum lagi cicilan daster pelangi,"

"Ya udah. Pokoknya hari ini kamu tagih. Kalo dia nggak mau bayar, kamu minta sama Pak Gunturnya langsung,"

"Ih, Ibu. Mana berani. Jarang di rumah juga orangnya. Jutek, Bu, mana mau negur-negur kek kita-kita,"

"Lha. Kamu beraniin aja. Kan hak kita. Masa kamu nggak berani."

"Ibu aja yang nagih..., kalo ke Pak Guntur,"

"Emang kenapa? Kamu masih trauma?"

Nayra mengangguk.

Bagaimana dia tidak trauma dengan kejadian beberapa bulan lalu. Waktu itu Nayra sedang mengantar dagangannya di seputar komplek perumahan elit yang berada tidak jauh dari rumahnya. Ada sebuah mobil mewah menabrak sepedanya. Nayra terjatuh, botol-botol jamu dagangannya pecah berserakan. Bukannya menolong Nayra yang jatuh, orang yang mengendarai mobil itu malah berkata kasar ke Nayra yang kesakitan. Dia adalah Pak Guntur Haribawa, seorang duda satu anak yang bekerja sebagai dosen di salah satu perguruan swasta internasional di daerah Jakarta Selatan. Nah, salah satu asisten rumah tangganya bernama Mbok Min.

"Pokoknya kamu beraniin aja diri kamu. Masa kamu suruh ibu yang bodoh ini nagih. Ntar malah ibu yang gemetaran. Ibu takut ngadapin orang-orang seperti Pak Guntur."

Nayra tertawa kecil. Ibunya memang sedikit penakut, lebih tepatnya segan, menghadapi orang-orang yang asing atau belum dikenalnya. Apalagi berbicara dengan orang-orang yang berpenampilan rapi atau berpakaian kantoran. Ibu Nayra semakin terlihat minder.

Sudah dua tahun ini Nayra membantu ibunya menjual jamu di komplek perumahan yang berada tidak jauh dari lokasi rumahnya sejak menyelesaikan SMAnya.

Nayra sebenarnya ingin sekali melanjutkan sekolah. Ibunya sudah mengajukan beberapa program beasiswa. Entah kenapa, waktu awal mengurus, ibunya seperti dibohongi oleh salah satu oknum. Ibunya harus merelakan uang sebesar lima juta rupiah lenyap begitu saja. Jika oknum itu ditanya, selalu jwabannya sama, yaitu harus menunggu antrian. Akhirnya, Nayra tidak ingin berharap banyak lagi. Dia cepat memutuskan untuk membantu ibunya menjual jamu. Karena sebelumnya ibunya yang melakukannya setiap pagi. Akan tetapi, karena ibunya juga bekerja sebagai tukang cuci upahan, Nayra mengambil alih pekerjaan ibunya sebagai penjual jamu keliling.

Lebih dari sepuluh tahun Bu Ola, Nayra, dan adik Nayra yang bernama Farid, tinggal di sebuah rumah yang sederhana namun apik. Dan Bu Ola adalah seorang janda. Suaminya sudah wafat ketika Nayra berusia delapan tahun, adiknya, Farid berusia enam tahun waktu itu. Saat ini, Nayra dan ibunya berusaha sebaik mungkin bekerja memenuhi kebutuhan sehari-hari, sekaligus membiayai sekolah Farid yang saat ini duduk di bangku kelas dua belas di SMA negeri.

***

Nayra mengayuh sepeda bututnya dengan semangat di awal pagi. Percakapan dengan ibunya mengenai hutang piutang tidak begitu dia hiraukan. Yang penting masih ada rezeki yang bisa dia kais setiap harinya. Syukur-syukur mereka yang ditagih mau membayarnya.

Sebenarnya tidak banyak orang yang harus ditagih bulan ini. Hanya lima orang, itupun hanya nagih keuntungan penjualan baju daster pelangi yang dijual Nayra. Jadi Nayra tidak begitu mempersoalkan.

Dan ternyata, sudah tiga orang yang mau melunasi kreditan daster. Satunya, sedang pulang kampung. Satunya lagi Mbok Min, pembantu Pak Guntur yang belum dia tagih.

Namun, Nayra senang luar biasa. Karena jamu-jamunya juga sudah habis tidak bersisa.

Sekarang, Nayra sudah memarkirkan sepedanya tepat di depan rumah mewah bercat putih tanpa pagar.

Tanpa harus memencet bel pintu rumah mewah itu, tiba-tiba saja Mbok Min muncul dari pintu samping rumah Pak Guntur.

"Hei..., aku kira penyusup. Ngapain pake mau mencet bel segala?" teriakan Mbok Min sedikit menyentak Nayra.

Nayra menoleh sebentar.

"Aku lagi nggak kepingin beli jamumu, Nay."

"Aku bukan nawarin jamu ke Mbok Min. Aku mau nagih uang kreditan daster pelangi."

"Lho? Bukannya udah lunas? Masa masih ada?"

"Satu kali lagi, Mbok. Aku punya catatannya."

Mbok Min merapatkan mulutnya, sedikit terdorong ke dalam.

"Coba aku cek," katanya.

Nayra lalu menunjukkan catatannya.

"Nih. Mbok belum lunas bayar daster pelangi bulan ini. hutang Mbok yang dua bulan lalu bayar jamuku juga belum Mbok bayar. Sekarang aku nagih yang daster aja. Yang jamu nggak papa, Mbok. Aku gratisin deh."

Mbok Min seperti memikirkan sesuatu.

"Nay. Bulan depan aja lagi ya? Lagi bokek."

"Idih. Ini baru awal bulan. Ke mana aja tuh gaji? Katanya gajinya gedeee. Pak Guntur horang kayaaaaah..., ini duapuluh lima ribu doang."

Mbok Min sedikit cemberut.

"Beneran, Nay. Habis ketipu."

"Alesan, deh."

"Sumpah. Aku ketipu. Tujuh juta. Sama cowok. Kenalan lewat facebook."

Nayra menghela napasnya. Ditatapnya wajah melas Mbok Min.

"Jadi kapan?" tanyanya malas.

"Bulan depan..., aku janji." Janji Mbok Min.

Nayra lagi-lagi menghela napasnya.

"Ok. Mbok janji ya?"

Mbok Min mengangguk mantap.

Dan Nayra dengan perasaan gundah pulang dari rumah majikan Mbok Min.

Tapi tiba-tiba di tengah perjalanan pulang dia dicegah salah satu pembantu rumah tangga yang juga merupakan langganannya.

Nayra langsung menghentikan laju sepedanya.

"Eh, Mbak Rasti. Ada apa?"

Perempuan muda yang bernama Rasti itu lalu mengeluarkan uang kertas berwarna hijau dan coklat dari balik sakunya.

"Ini ada titipan dari Uli. Katanya kamu tagih di rumah majikannya. Dia masih di kampung. Sedang rawat ibunya yang sedang sakit keras."

Nayra tersenyum puas.

"Kamu baru dari si Mince?" tanya Rasti.

Nayra mengangguk. "Biasa. Nagih. Tapi nggak dibayar. Dia bilang bulan depan. Habis ketipu katanya, tujuh juta."

Rasti ternganga.

"Masa sih? Orang kemarin aku liat dia beli hape baru di toko koh Huan."

Nayra menoleh ke belakang, menatap rumah Pak Guntur dengan penuh rasa kesal.

"Ah. Dia mah emang gitu, Nay. Tapi ya udahlah. Lain kali kamu nggak usah utangin dia lagi."

Nayra mendengus kesal.

"Okay, Mbak Rasti. Bilang sama Uli makasih dari aku. Semoga ibunya cepat sembuh."

Rasti mengangguk.

"Hati-hati, Nayra!" serunya saat Nayra sudah melajukan sepedanya menjauh darinya.

***

NayraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang