36. Calon Nyonya

31.2K 2.3K 11
                                    

Kayuh sepeda Nayra ringan menuju rumah Guntur siang Minggu itu. Seperti biasa, dia parkirkan sepedanya di bawah pohon rindang depan laman rumah. Dengan langkah semangat dia memasuki rumah. Bak pemilik rumah, Nayra tanpa permisi memasukinya lewat pintu samping, karena ruang koleksi kristal Bu Hanin berada di dekat pintu samping rumah.

"Jadi masak apa besok, Bu?" tanya Nayra ke Bu Sari ketika dirinya ingin mengambil peralatan kebersihan kristal di dapur.

"Rawon lagi, Nay. Kayaknya nggak perlu bantuan kamu. Kamu bersiin kristal-kristalnya bu Hanin saja, sama liatin Mina kerja. Dia sedang bersihin ruang belakang. Paling nanti bantu ibu siapin bumbu saja. Racikan kamu itu dulu uenak banget loh. Trus kasih tau ibu berapa lama tumisnya ya?" tanggap Bu Sari yang sedang membersihkan dapur. "Masaknya juga besok pagi..., yang penting yaa itu kristal-kristalnya...,"

Nayra mengangguk setuju. Setelah itu, dia bergegas melangkah menuju lemari-lemari koleksi kristal-kristal Bu Hanin.

Wajah Nayra berbinar saat melihat koleksi kristal Bu Hanin yang lucu-lucu, terutama yang mungil-mungil. Apalagi yang warna warni. Tapi wajahnya langsung cemberut begitu melihat benda-benda itu seperti tidak pernah disentuh sama sekali, alias tidak dibersihkan. Dasar Mbok Min. Dia pasti malas membersihkannya. Sekilas terlihat bersih sih, tapi sepertinya perlu dibersihkan lagi supaya lebih berkilau.

Kata Bu Sar, yang dilihat Bu Hanin pertama kali ketika memasuki rumahnya ya koleksi kristal-kristalnya. Kilau kristal adalah mood baiknya Bu Hanin. Semakin kilau kristal, semakin baik moodnya.

Saat membersihkan, sempat pula Nayra melirik pintu kamar Guntur yang tertutup, yang berada di depan lemari-lemari koleksi kristal. Kata Mbok Min dia pergi siang ini. Ke mana? Nayra tidak bisa berandai-andai. Dia juga tidak ingin tahu urusan Guntur.

______

Minggu siang itu, Guntur ternyata pergi ke kantornya. Wajahnya serius menghadap komputer besarnya.

"Neil. Coba cek peserta beasiswa Isdb yang lulus tahun ini. Tujuan Normandy," ujar Guntur lewat ponselnya. Dia menghubungi seseorang yang bernama Neil.

"Farid Malik Adam...," lanjutnya.

Tak lama wajahnya berubah cerah.

"Ok..., makasih, Neil. Aku tau ini rahasia. Iya... lusa pengumumannya? Hahaha..., iya, aman..., makasih,"

Guntur lalu mengambil berbagai kertas dokumen penting yang berada di laci meja kerjanya. Dokumen keberangkatan tujuan Leiden.

***

Monday Morning...

Bu Sari dan Mbok Min puas melihat rumah majikan mereka yang kini bersih dan rapi. Mereka menyadari bahwa sentuhan Nayra memang sangat diperlukan di saat-saat genting seperti ini. Tampak Mbok Min menghela lega ketika melihat kilau-kilau kristal dari lemari kaca besar di ruang tengah. Itulah pekerjaan yang sangat tidak dia suka. Dia sampai-sampai menitikkan air mata haru mengenang Nayra yang mau membantunya.

Bu Sari dan Mbok Min saling pandang ketika mendengar deru mesin mobil yang berhenti di depan rumah. Mereka yang berada di dapur langsung bersiap-siap menata meja makan agar rapi dan cantik.

Bu Hanin yang baru saja turun dari mobil tersenyum lebar melihat pekarangan rumah yang bersih. Tidak ada lagi daun-daun kering, juga rumput-rumput liar. Apalagi lengannya terus digamit sang calon menantu yang cantik, senyumnya pun semakin lebar. Terdengar suara manja dari Sheren. Tampaknya Sheren sudah sangat akrab sekali dengan calon mertuanya itu. Langkahnya pun sangat berbeda sekarang, karena merasa tidak lama lagi dia akan menjadi nyonya di rumah mewah nan megah itu.

Begitu masuk rumah, Bu Hanin langsung mengajak Sheren makan-makan. Lagi-lagi Bu Hanin tersenyum puas. Rumahnya sangat rapi dan bersih. Sebelumnya dia juga sempat memandang-mandang koleksi kristalnya. Wajahnya menunjukkan senang luar biasa, begitu kilau-kilau kristal beradu dengan kilau matanya.

_________

"Nggak diangkat, Bu. Mungkin Mas Gun sibuk," ujar Sheren setelah berusaha menghubungi ponsel Guntur. Bu Hanin menyuruhnya menghubungi Guntur agar segera pulang, karena kehadiran dirinya dan Sheren di rumah. Dan wajah Sheren berubah sedikit cemas.

"Gimana sih Guntur. Padahal kemarin sudah ibu bilang supaya hari ini pulang ngantornya dipercepat," sesal Bu Hanin. Dia turut memainkan ponselnya, mencoba mengubungi Guntur.

Sama saja. Tidak ada jawaban.

Bu Hanin menghela kecewa.

"Sabar ya, Ren. Guntur memang begitu. Kalo sudah ngajar, suka lupa segalanya. Tapi ibu senang kamu punya waktu mengunjungi rumah yang sebentar lagi akan kamu huni..., seneng kan?" tanya Bu Hanin dengan senyum manisnya. Dia berusaha membujuk Sheren yang tampak khawatir.

Sheren mengangguk.

"Iya, Bu. Aku suka rumah ini. Adem. Oh iya, kamar Mas Gun di mana ya, Bu?" tanya Sheren tiba-tiba.

"Waduh..., udah nanya kamar saja kamu. Itu pintunya yang dekat lemari kristal-krisal itu," tunjuk Bu Hanin. Binar wajahnya saat melihat sikap malu-malu Sheren. Sepertinya Sheren tidak sabar lagi segera tinggal di rumah itu. Bagaimana tidak sabar? Hidupnya pasti sangat istimewa. Tinggal di rumah mewah dengan segala fasilitas yang wah, memiliki lima pembantu yang tugasnya berbeda-beda dan semuanya pun loyal dan setia. Apalagi di belakang rumah ada kolam renang yang cukup luas serta taman yang indah.

Sheren menoleh ke arah pintu yang tertutup yang ditunjuk Bu Hanin.

"Selalu dikunci, Ren. Guntur nggak suka ada yang masuk ke kamarnya. Ibu saja nggak dibolehin sama dia. Nggak ngerti juga. Sampe-sampe dia pernah mecat salah satu pembantu yang berani masuk kamarnya. Padahal nggak ada yang hilang," ungkap Bu Hanin.

"Tapi kan ntar kalo kamu menikah, ya mau nggak mau kamu pasti diajak masuk ke kamarnya to?"

Sheren tersenyum mendengar tutur Bu Hanin. Diliriknya sekali lagi pintu kamar itu, membayangkan dirinya dan Guntur tidur berdua di dalamnya. Pasti indah sekali.

Namun, seketika wajahnya berubah agak murung. Sepertinya Bu Hanin tahu apa yang digelisahkan Sheren.

"Kalau mau menikah memang begitu, Ren. Gelisah, cemas..., kayak ibu dulu. Apa-apa dipikirin, padahal keluarga besar masing-masing sudah sepakat dan siap. Ibu terus dibujuk-bujuk sama orang tua ibu. Akhirnya gelisahnya pun hilang saat ijab kabul. Kamu tenang saja. Ntar juga kalo sudah hidup berdua, lama-lama juga saling sayang..., saling cinta...," Bu Hanin mengusap-ngusap bahu Sheren.

Sheren tersenyum melihat wajah Bu Hanin yang menenangkan dirinya.

Sheren lalu meletakkan kepalanya di bahu Bu Hanin. Dia sayang Bu Hanin. Karena sejak bertunangan dengan Guntur, Bu Haninlah yang selalu memperhatikan dirinya selama di Jakarta. Dia pun sebaliknya.

Bukan tidak ada alasan Bu Hanin menyukai Sheren, sehingga dirinya sampai memaksa Guntur untuk menerima Sheren, wanita pilihannya kali ini, sebagai calon istri. Di samping Sheren masih memiliki hubungan kekerabatan dengan keluarga mendiang suaminya, Sheren bersikap sangat baik terhadap dirinya selama ini. Sheren kerap menanyakan kabarnya, juga selalu menyempatkan dirinya untuk menemani Bu Hanin. Malah bagi Bu Hanin, Sheren bagai anak kandungnya sendiri.

Guntur saja tidak sebaik itu bagi Bu Hanin. Apalagi sejak bercerai, Guntur terkesan sangat tetutup.

***

NayraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang